Bincangperempuan.com– Puluhan perempuan berkumpul dan membaca doa di rumah Ketua Serikat Tani, Bahusni di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi. Mereka merupakan anggota Serikat Tani Kumpeh yang membentuk kelompok Perempuan Padek (Pepa).
Padek dalam bahasa lokal artinya, cerdas dan berani. Semangat ini yang ingin dibawa para perempuan Desa Sumber Jaya melawan ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam di desa mereka.
Kelompok ini menjadi ujung tombak perjuangan perempuan di Desa Sumber Jaya dalam penanganan konflik lahan berpuluh tahun dengan perusahaan sawit PT. Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL).
Setelah setahun menjalani proses persidangan, petani Kumpeh, Bahusni akhirnya harus mendekam dipenjara setelah Hakim PN Sengeti-Jambi menghukum korban selama 18 bulan. Bahusni sudah seminggu ini ditahan di LP Kelas 2A Jambi, seseuai putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor putusan: 1/PID.SUS/2024/PT JMB (14/3/2024). Bahusni dihukum selama 1 tahun 6 bulan di Lapas Kelas II A Jambi.
Mata Arlina (42), istri Bahusni bengkak.Sudah seminggu dia mengurung diri di rumah. Semenjak Bahusni ditahan, Arlina sakit dan mengalami trauma. Sejak dia dan anggota Serikat Tani Kumpeh mengantarkan Bahusni ke pengadilan tinggi untuk menghormati putusan banding yang sudah dilakukan. Arlina tidak berhenti menangis.
Baca juga: Dayah Diniyah Darussalam: Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh
Dua anaknya pun tertekan, ditambah semenjak penahanan Bahusni, mobil kepolisian dari Polsek Kumpeh dan polres Muaro Jambi mondar-mandir di Desa Sumber Jaya.
Solidaritas perempuan Padek ini secara begilir, menemani dan mengunjungi kediaman Bahusni untuk menghibur istri dan anaknya Bahusni. Mereka juga bergotong royong untuk membantu ekonomi keluarga Bahusni selama ditahan.
Nur Jannah, Ketua Perempuan Padek mengatakan, kecewa dengan putusan yang diberikan pada Bahusni.
“Perusahaan ini tamu yang datang ke desa kami, dan ingin menguasai semuanya. Ini adalah bentuk penjajahan di era modern,” katanya.
Desa mereka yang dulu subur, dengan hutan, sawah dan airnya yang bersih serta beragam ikan. Kini menjadi gersang, dan lahan itu dirampas dan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar.
“Harusnya kami yang menghukum perusahaan, atas perampasan tanah dan juga penghilangan sumber daya alam kami yang subur. Tapi sekarang, mereka yang memenjarakan kami, warga lokal yang punya ikatan dengan tanah di sini. Keadilan seperti apa ini namanya?” ucapnya bergetar menahan amarah.
Nur Jannah juga merasakan berbagai kejanggalan intimidasi selama sidang Bahusni berlangsung. Selama persidangan, Nur Jannah menilai Hakim tidak mendengarkan keterangan saksi-saksi dalam persidangan yang bersaksi Bahusni pada saat kejadian tidak sedang berada di lokasi perkara. Selain itu putusan yang diberikan tergesa-gera, bahkan putusan banding diterima kuasa hukum Bahusni sudah lewat dari batas waktu untuk mengajukan banding.
Kejanggalan lainnya, ruang sidang juga dipindah-pindahkan secara sepihak, dan mobil tahanan sudah dipersiapkan dari awal sebelum sidang dimulai. Atas penahanan Bahusni ini, Benni wijaya Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria menilai Kasus ini kembali menambah preseden buruk penanganan konflik agraria di Indonesia yang semakin tajam ke bawah
“Bahusni bukanlah penjahat atau pelaku kriminal, ia adalah korban kriminalisasi PT. Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) yang saat ini berkonflik dengan warga Desa Sumber Jaya. Perjuangan Bahusni bersama ratusan masyarakat Desa Sumber Jaya untuk memperjuangkan hak atas tanah harus berakhir di balik jeruji besi,” ujarnya dalam siaran remi KPA.
Bahusni dan ratusan masyarakat Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, merupakan korban perampasan tanah yang dilakukan oleh Perusahaan sejak tahun 1998 silam. Sejak saat itu hingga sekarang masyarakat terus mempertahankan tanahnya dari upaya perampasan yang dilakukan oleh perusahaan.
Yusnidar, anggota Perempuan Padek juga merasa penangkapan Bahusni terlalu dipaksakan untuk melemahkan perjuangan masyarkaat di Desa Sumber Jaya.
“Pengadilan itu harusnya jadi harapan terakhir dan keadilan. Pengadilan kok berat sebelah ke perusahaan. Padahal kalau penegak hukum dan pengadilan kumpulkan bukti-bukti hukum, sudah jelas tanah petani dan hak kami para petani. Ini tanah punya nenek moyang kami!” tegasnya.
Menurut Nukila Evanty, penasehat hukum Pepa menyebut bahwa Pasal 107 huruf a, dan huruf d UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang menjadi dasar hukum putusan hakim tersebut adalah pasal-pasal sambungan dari UU Perkebunan yang lama (UU No 18 tahun 2004, pasal 21 dan pasal 47). UU Perkebunan yang sebelumnya sudah bermasalah dan banyak diprotes petani dan masyarakat sipil tersebut berisi pasal yang mengatur mengenai penggunaan lahan secara tidak sah serta ketentuan mengenai sanksi pidananya.Padahal pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No 55/PUU-VIII/2010.
“Apakah hakim-hakim yang terhormat di PT di Jambi sudah membaca putusan MK tersebut ? MK adalah the Guardian of the Constitution, kalau ada UU yang salah seperti UU Perkebunan ini, tidak sesuai dengan Konstitusi1945, seharusnya tak dipakai lagi sebagai landasan hukum bagi hakim di PT Jambi . Bagaimana kita dapat mewujudkan kedaulatan pangan dan kemandirian petani ya kalau petani nya terus menerus dipidanakan?,” katanya.
Menurut Nukila Evanty, seharusnya penegak hukum dari mulai kepolisian, kejaksaan dam peradilan memahami fungsi mencari keadilan bagi masyarakat yang jelas dirugikan dari jerat hukum, terhadap Bahusni dan petani-petani lainnya di Jambi.
“Kami dari masyarakat sipil juga dilemahkan kalau penegak hukum bersikap seperti itu. Preseden hukum seperti ini juga nggak elok ya karena disaat kita ingin membantu program untuk memperkuat program pemerintah ketahanan pangan, malah petani-petani yang ingin menjaga lingkungan yang sehat dan bersih malah ditangkapi,” tambahnya.
Nur Jannah,menegaskan perlawan masyarakat Desa Sumber Jaya tidak akan berhenti dengan penangakapan Bahusni.
“Walaupun Bahusni ditahan ,Pepa tetap berjuang mempertahankan hak atas tanah adat Desa Sumber Jaya. Kami tidak akan takut dan mundur selangkahpun kami tidak akan menyerah walau sedetikpun”, ucapnya lantang.
Korwil KPA Jambi Fran Dodi menyebutkan, saat ini ada 4 petani di Desa Sumber Jaya yang sedang menghadapi proses hukum bermasalah dengan PT FPIL. Dia bilang Penangkapan Bahusni memperlihatkan ketidakmampuan negara menjamin hak-hak warganya dan kematian keadilan.
Meskipun intimidasi dan kriminalisasi terus datang bertubi-tubi, tidak menyurutkan perjuangan masyarakat mempertahankan hak atas tanah dan sumber kehidupan mereka. Nur Jannah mengatakan pasca penahanan, intimidasi setiap hari dilakukan perusahaan melalui oknum apparat kepolisian, desa dan preman. Tapi mereka tidak akan pernah menyerah, meski ke depan perusahaan akan semakin semena-mena.
“Tidak ada yang berpihak pada kami, petani, warga lokal yang lahannya diserobot kemudian sekarang satu per satu dipenjara. Kami minta keadilan kepada Bapak Presiden Jokowi untuk bisa melihat pelanggaran dan kejahatan yang sudah dilakukan kepada kami. Tolong kami, pak” mohonnya.