Home » Perempuan Pesisir Melawan Kerusakan Lingkungan

Perempuan Pesisir Melawan Kerusakan Lingkungan

Yuni Camelia Putri

News

Bincangperempuan.com- Kerusakan ekosistem laut akibat pertambangan pasir laut turut merugikan perempuan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Hal ini memunculkan semangat perempuan untuk memperjuangkan kelestarian laut. Ironinya, upaya dan suara perempuan kerap diabaikan karena dipandang tidak dapat menciptakan perubahan terhadap kondisi lingkungan. Sebaliknya pemerintah seakan memilih untuk menutup mata atas kritik dari kelompok perempuan yang menjaga kelestarian laut.

Contohnya saja yang terjadi di Kepulauan Kodingareng misalnya, masyarakat setempat harus kehilangan mata pencaharian dan mengalami permasalahan ekonomi yang serius karena kehilangan mata pencaharian di laut.

Dituturkan Zakia, perwakilan perempuan Pulau Kodingareng dalam dialog publik “Cerita dari Laut: Daya Rusak Tambang Pasir Laut & Reklamasi terhadap lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM)” yang digelar secara kolaborasi bersama Walhi Sulawesi Selatan. Ia menceritakan bagaimana perjuangannya untuk meminta pertanggungan jawaban pemerintah atas kerugian yang diciptakan oleh penambangan pasir laut.

“Kami turun kelaut untuk berdemo menyuarakan (keresahan) para suami kami. Dari laut ke kota, melawan kepolisian hingga pemerintah yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. (Dampaknya) dari mulai mata pencaharian suami kami yang rusak hingga anak-anak harus putus sekolah,” ungkap Zakia sembari menahan tangisnya.

Baca juga: Sindrom Menyalahkan Perempuan: Menyoroti Beban Tidak Adil

“Dampak lain dari penambangan laut di pulau kami yaitu terjadinya abrasi yang parah, sampai air laut itu naik ke permukaan. Dan banyak juga warga pulau yang merantau keluar daerah karena penghasilan di pulang Kondingareng sudah tidak menentu,” tambahnya.

Cerita lain datang dari Asmania, perempuan Pulau Pari yang menanti keadilan sejak 2014 atas kerusakan yang diciptakan oleh pihak swasta yang tak bertanggung jawab. Ia menceritakan bagaimana pihak swasta melakukan klaim hak milik atas pulau mereka secara sepihak tanpa meminta persetujuan dari masyarakat setempat. Dilain sisi, upaya mereka untuk memperjuangkan tanahnya justru mendapatkan intimidasi dan kurungan penjara dari pihak swasta terkait.

“Konfliknya hingga saat ini belum terselesaikan karena pemerintah mengabaikan sampai saat ini. Tiba-tiba ada perusahaan yang mengklaim sampai diterbitkannya sertifikat perusahaan,” kata Asmania.

Alih-alih bertanggung jawab, pihak swasta ini justru memberikan intimidasi dan tidak segan untuk memenjarakan masyarakat yang menentang mereka. Mirisnya, rintihan masyarakat Pulau Pari terus diabaikan oleh pemerintah setempat karena dirasa tidak memiliki hak atas penambangan yang dilakukan.

“Oknum-okum kelurahan, camat, dan bupati tidak pernah berpihak sampai saat ini. Kami warga Pulau Pari, kami berjuang sendiri. Lagi-lagi Pulau Pari dianak tirikan oleh pemerintah,” ungkap Asmania.

“Waktu 2017, kami bentrokan dengan 200 personel kepolisian yang didatangkan oleh perusahaan itu. Disitu banyak perempuan-perempuan yang menjadi korbannya,” tambahnya.

Pentingnya membangun kesadaran masyarakat

Selain perjuangan Zakia dan Asmania, masih banyak kisah perjuangan perempuan lainnya yang memperjuangkan keselamatan lingkungan di Indonesia. Perjuangan mereka untuk mengambil haknya yang dirampas untuk kepentingan pengusaha, teknokrat, dan birokrat menjadi perhatian khusus Komnas Perempuan sejak 2001.

Dewi Kanti selaku perwakilan dari Komnas Perempuan mengungkapkan jika terjadi peningkatan yang tajam terhadap pengaduan dan pelaporan kepada Komnas Perempuan terkait isu lingkungan di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika terjadi peningkatan kesadaran terhadap perempuan untuk menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan masa depan bangsa.

“Tanpa pergerakan perjuangan perempuan yang mengisi ruang-ruang ini, saya yakin perubahan-perubahan yang bisa menjadi perbaikan pada bangsa ini tidak akan terjadi,” ungkap Dewi beberapa waktu lalu.

Dewi meminta agar seluruh pihak terlibat dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang sudah rusak. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat mendesak pemerintah untuk bergerak dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan setempat.

“Kita tahu dari cerita-cerita yang disampaikan oleh kawan-kawan semua bahwa kita masih punya persoalan pada aparatur negara. Birokrat yang menutup mata dan telinga terkait suara-suara yang disampaikan. Kami sendiri di lembaga nasional HAM sudah banyak memberikan rekomendasi kebijakan,” kata Dewi.

Baca juga: Dr. Titiek Kartika Hendrastiti, Membangun Ilmu Pengetahuan dari Sudut Pandang Perempuan

“Salah satu cara yang penting yaitu kita upayakan bersama untuk menyadarkan publik gitu. Karena kesadaran solidaritas di masyarakat sudah terjadi, tanpa disertai dengan kebijakan yang sistemik, itu tentunya tidak akan ada perubahan yang signifikan,” tambahnya.

Dewi memaparkan bahwa keluhan dari masyarakat telah dibuat menjadi peta kohesi yang disampai kepada pemerintah untuk membangun Indonesia emas. Meskipun demikian, ia tetap mengharapkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan untuk kelangsungan sebuah bangsa.

Selain itu, ia berharap seluruh pihak tidak menyerah dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk belajar dan mengambil aksi dalam menjaga kelestarian lingkungan dalam membangun Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Diakhir sesi, ia menegaskan bahwa tindakan dan perubahan positif yang terjadi di Indonesia kedepannya dapat berdampak besar bagi dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Konflik HGU dan Suara Perempuan Petani di Bengkulu

Konflik HGU dan Suara Perempuan Petani di Bengkulu

Lima Media Perempuan Ikuti Advance Training for The Media Business Viability

Islamofobia dan Larangan Berjilbab

Leave a Comment