Bincangperempuan.com- PPHAM, dikenal dengan Perempuan Pembela HAM. Yakni perempuan yang mendedikasikan hidupnya pada pembelaan Hak asasi Manusia. Perempuan Pembela HAM dapat bekerja secara mandiri, bekerja di komunitas atau di bawah naungan lembaga atau institusi.
Durasi pekerjaan Perempuan Pembela Ham bekerja tidak mengenal waktu. Ritme pekerjaannya dengan beban dan tekanan yang cukup tinggi, karena berhubungan dengan persoalan struktural dan penegakan Hak Asasi Manusia. Tidak sedikit menyebabkan Perempuan Pembela HAM sangat rentan terhadap ancaman dan kekerasan, terganggu sistem reproduksinya, terpapar kanker dan covid 19.
Direktur Yayasan PUPA, Susi Handayani mengatakan dari hasil needs assement Indonesia Protection for WHRD Network mayoritas Perempuan Pembela HAM belum memiliki perlindungan atas Hak-hak sipil dan politik serta Hak ekonomi, dan sosial dan budaya. Sistem perlindungan bagi pembela hak asasi manusia yang dikembangkan oleh institusi hak asasi manusia dan jaringan NGO masih berorientasi pada hak-hak sipil dan politik, khususnya hak keamanan atas insiden ancaman dan penyerangan kekerasan belum mencakup pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Perempuan Pembela HAM, lanjut Susi, tidak memiliki akses atas jaminan kesehatan, jaminan perlindungan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, beasiswa pndidikan atau perumahan bahkan mereka tidak memiliki skema penggajian yang jelas. Situasi ini memperlihatkan kepada kita bahwa Perempuan Pembela HAM mayoritas berada pada kondisi yang tidak sejahtera, banyak Perempuan pembela Ham di masa tuanya mengalami kemiskinan dan menderita penyakit yang akut tanpa adanya jamianan perlindungan dari manapun.
Di satu sisi, lanjut Susi, organisasi atau lembaga tempat PPHAM bernaung memiliki kesulitan untuk menyediakan kebijakan, program dan pembiayaan khusus untuk melindungi hak-hak PPHAM terkait jaminan sosial, kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pendidikan dan perumahan karena keterbatasan anggaran organisasi karena tidak memiliki sumber atau dukungan pendanaan yang tetap.
“Maka itu IPROTECTNOW berinisiatif menyusun protokol keamanan dan perlindungan Hak Ekosobud bagi PPHAM. Protokol perlindungan atas hak ekosob ini dimaksudkan sebagai panduan bagi Negara, Lembaga HAM Nasional serta Organiasasi tempat PPHAM bernaung untuk menjamin Hak Ekosob PPHAM dengan melalui integrasi kebijakan di Lembaga,” kata Susi di sela-sela Workshop Penyusunan SOP Mekanisme Perlindungan Hak Ekosob bagi Perempuan Pembela HAM pada Lembaga Penyedia Layanan.
Catatan Komnas Perempuan, kurun waktu 2015-2021 angka kekerasan terhadap Perempuan PPHAM terus meningkat. Tercatat ada 87 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan dengan sebaran provinsi tertinggi pengaduan berasal dari DKI Jakarta (33 Kasus), Jawa Timur (9 kasus), Maluku (7 kasus) dan Aceh (7 kasus). Isu-isu yang diadvokasi mayoritas adalah isu-isu perempuan atau advokasi kasus KtP, konflik sumber daya alam/agraria dan isu buruh dan buruh migran.
Sementara, beberapa konteks yang melatarbelakangi kekerasan terhadap PPHAM diantaranya kekerasan dan ancaman juga dialami oleh mereka yang mengadvokasi isu keragaman gender dan seksual karena dianggap melawan nilai agama dan budaya. Kuatnya budaya patriarki, khususnya budaya menyalahkan korban, posisi subordinat perempuan dalam masyarakat, serta meningkatnya pembangunan yang minim perspektif hak asasi.
Ada pula munculnya bermacam kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mendorong eksploitasi sumber daya alam, kepemilikan lahan yang semakin terkonsentrasi dan akumulasi kepemilikkan lahan pada sekelompok orang, serta kuatnya penyelesaian konflik sumber daya alam melalui pendekatan keamanan (militer, penggunaan instrumen hukum yang represif) yang berujung pada kriminalisasi PPHAM.
Susi mengatakan, tantangan dalam upaya pemenuhan hak ekosob PPHAM dari sisi organisasi/lembaga tempat PPHAM berkarya ialah kesulitan untuk menyediakan kebijakan, program, dan pembiayaan khusus untuk melindungi hak-hak PPHAM terkait jaminan sosial, kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pendidikan, dan perumahan karena keterbatasan anggaran organisasi karena tidak memiliki sumber atau dukungan pendanaan yang tetap.
“Sedangkan dari sisi pemerintah, belum adanya pengakuan PPHAM sebagai sebuah profesi membuat sulitnya mendapatkan pemenuhan haknya, terutama terkait kebijakan bagi perlindungan hak-hak ekosob,” pungkas Susi.
Saat ini di Provinsi Bengkulu diketahui ada 15 orang PPHAM yang bekerja pada sejumlah lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan, diantaranya Biro Konsultasi Psikologi Hijau, Cahaya Perempuan WCC, Generasi Inklusi (Genik), Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk). Ada juga LBH Bintang Keadilan, LBH Naredradhipa, LBH Wawan Adil Bengkulu Utara, LBK Harapan Perempuan, PKBHB, Sahabat Psikologi, Sakti Peksos Dinsos Kota Bengkulu/Koordinator Koalisi PPHAM, LKSA Payung Besurek, UPTD PPA Kota Bengkulu, UPTD PPA Provinsi Bengkulu dan Jaringan Perempuan Peduli Bengkulu. (**)