Home » News » Plat Jambi, Logo Tesla dan Roti: Mengapa Tubuh Perempuan Ditabukan?

Plat Jambi, Logo Tesla dan Roti: Mengapa Tubuh Perempuan Ditabukan?

Ais Fahira

News

Plat Jambi, Logo Tesla dan Roti Mengapa Tubuh Perempuan Ditabukan

Bincangperempuan.com- Pernah mendengar sebutan plat Jambi untuk bra? Atau roti lapis sebagai kode untuk pembalut? Belum lagi istilah logo Tesla yang kini jadi plesetan nyeleneh untuk menyebut celana dalam perempuan. Di balik kelucuan atau kreativitas berbahasa itu, sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam—kenapa benda-benda yang sangat fungsional dan berkaitan langsung dengan tubuh perempuan justru harus disamarkan?

Alih-alih menyebutnya secara langsung, masyarakat memilih jalan memutar. Padahal, menyebut bra atau BH, pembalut, atau celana dalam bukanlah sesuatu yang tabu—selama konteksnya tepat. Tapi kenyataannya, barang-barang yang lekat dengan tubuh perempuan sering dianggap “memalukan” atau “tidak pantas disebut di ruang publik”. Apakah ini soal sopan santun, atau justru bias budaya yang membuat tubuh perempuan terus-menerus diselubungi rasa malu?

Eufemisme Tubuh dan Seksualitas Perempuan 

Eufemisme adalah praktik mengganti kata yang dianggap kasar, tidak pantas, atau tabu dengan kata yang lebih halus atau “aman”. Tapi ketika eufemisme terlalu banyak digunakan untuk hal-hal yang sebetulnya sangat penting bagi tubuh dan kesehatan perempuan, kita perlu waspada. Mengapa untuk menyebut pembalut harus pakai istilah makanan, sementara kondom tetap disebut kondom? Sempak ya tetap sempak. Tapi bra harus plat Jambi, pembalut harus roti, dan celana dalam perempuan jadi logo Tesla?

Bahkan sejak kecil, kita sudah dikenalkan dengan istilah “datang bulan” atau “lagi halangan” alih-alih menstruasi. Yang lebih menyakitkan, ada juga yang menyebutnya “lagi kotor”, seolah-olah menstruasi adalah sesuatu yang jorok, bukan proses biologis yang sehat dan alami.

Alasan perbedaan ini dijabarkan dalam penelitian feminis klasik dari Robin Lakoff dalam Language and Woman’s Place (1973) yang menunjukkan bahwa bahasa perempuan kerap diarahkan untuk merendah, dan lembut. Perempuan diajarkan untuk memakai kalimat penuh keraguan, tidak langsung, dan menghindari kata-kata tegas. 

Tak hanya soal gaya bicara, tapi merupakan gambaran bagaimana norma sosial mendikte perempuan untuk tidak terlalu “terdengar”—termasuk dalam hal berbicara tentang tubuhnya sendiri. Oleh karena itu, banyak perempuan yang malu dan enggan menyebut secara langsung soal tubuh dan seksualitasnya sendiri.

Baca juga: Perempuan Pembela HAM: Kerja Pro Bono Hingga Dicemooh 

Seksualitas yang Ditabukan

Dan ternyata, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara, sejak era Victorian pun, seksualitas dianggap tabu. Bahasa menjadi senjata untuk membungkam tubuh. Meski kini beberapa negara sudah jauh lebih terbuka.

Sebuah studi dari aplikasi Clue dan Women’s Health Coalition yang dilansir oleh Cosmopolitan, melibatkan 90.000 responden dari 190 negara dan menemukan lebih dari 5.000 istilah untuk menyebut menstruasi. Beberapa terdengar biasa seperti time of the month, ada yang absurd seperti shark week atau Satan’s waterfall, dan tak sedikit yang terdengar lucu seperti strawberry week dari Jerman atau The rooster sang to you yesterday dari Puerto Rico.

Walaupun eufemisme bisa jadi bentuk coping atau bagian dari budaya lokal, apakah ini memudahkan atau justru memperkuat rasa malu? Apakah ini membuka percakapan, atau justru menutup ruang bicara?

Mengapa Kita Harus Mengkritik Penabuan Ini?

Penabuan tubuh dan seksualitas ini berdampak nyata. Banyak perempuan tumbuh dengan rasa malu terhadap tubuhnya sendiri. Anak perempuan enggan bertanya soal haid atau keputihan karena takut dianggap jorok. Akses informasi terbatas. Ini bisa berujung pada keputusan kesehatan reproduksi yang buruk.

Melansir wawancara BBC dengan Dr. Aziza Sesay menyebut bahwa “rasa malu untuk menyebut bagian tubuh perempuan bisa membahayakan kesehatan perempuan sendiri.” Banyak perempuan enggan memeriksakan diri, menunda pengobatan, bahkan tidak bisa menjelaskan gejala mereka dengan jelas karena terlalu malu menyebutkan kata “vagina”.

Dr. Aziza yang aktif membagikan konten edukasi seksual juga menyayangkan sensor dari pihak media sosial. 

“Saya kena sensor hanya karena menyebut vulva, vagina atau klitoris dengan jelas di caption, algoritma secara otomatis menganggap bahwa itu adalah sesuatu yang tidak pantas atau pornografi” ungkapnya.

Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika penggunaan eufemisme juga digunakan pada anak-anak, terutama saat mereka mengalami kekerasan atau pelecehan. Bayangkan jika seorang anak mengadu dengan mengatakan ‘roti’ atau ‘bunga’, sementara orang dewasa tidak memahami maksud sebenarnya.”

Baca juga: Perjuangan Menuju Kesetaraan di Bengkulu

Pendidikan Seks dan Menamai dengan Jelas

Negara-negara dengan pendidikan seks yang baik, seperti Belanda atau Swedia, sudah sejak dini mengajarkan pentingnya menyebut organ tubuh dengan tepat. Pendidikan seks di sana bukan tentang “seks bebas”, tapi pengenalan tubuh, kesehatan reproduksi, dan relasi yang sehat—dengan penuh rasa hormat. Sayangnya, di Indonesia, pendidikan seks masih setengah hati, bahkan sering dicampuradukkan dengan moralitas.

Menamai adalah langkah pertama untuk memahami. Serta jika kita tidak bisa menyebut “pembalut” atau “bra” tanpa rasa malu, bagaimana mungkin kita bisa membicarakan kesehatan, kenyamanan, dan kebutuhan perempuan secara terbuka? Oleh karena itu penting untuk mendorong edukasi tubuh dan seksualitas yang jujur dan berbasis rasa hormat. Termasuk kritik budaya populer yang menormalisasi tabu tanpa refleksi.

Menghapus tabu bukan berarti vulgar. Tapi justru—langkah awal untuk membebaskan tubuh dari rasa malu yang ditanamkan oleh budaya patriarki. Jadi mulai dari sekarang mari biasakan sebut nama benda atau bagian tubuh perempuan sebagaimana mestinya tanpa eufemisme.

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Pendidikan Membaik,Namun Kesenjangan Kerja Perempuan Tetap Nyata

7 Lagu tentang Women Empowerment Rayakan Perempuan dengan Nada dan Lirik (1)

Rayakan Perempuan dengan Nada dan Lirik

Candaan Seksis Ahmad Dani Potret Kentalnya Patriarki di Ruang Publik

Candaan Seksis Ahmad Dani: Potret Kentalnya Patriarki di Ruang Publik

Leave a Comment