Home » News » Pontang-panting Generasi Sandwich di Yogyakarta

Pontang-panting Generasi Sandwich di Yogyakarta

Delima Purnamasari

News

Populasi Yogyakarta semakin menua. Sedangkan generasi muda, ada dalam posisi terjepit untuk bisa memiliki kemerdekaan finansial. Perlu peran pemerintah dalam memberantas kemiskinan struktural di Kota Istimewa ini.

***

“Gusti Allah, Pak. Iki simbok keneng apa (ini ibu kenapa), Pak?” Suara Ratna memecah keheningan.

Perempuan 44 tahun tersebut terperanjat kala melihat mertuanya, Sri, ada di bawah dipan. Ia panik karena mengira Sri terjatuh kala tidur. Suami yang dipanggil sigap membantu dan segera memanggil saudara-saudara yang lain.

Sri muntah dan BAB di tempat. Perempuan yang dipanggil simbok oleh keluarganya itu ternyata sengaja turun dari dipan karena takut akan mengotori kasur.

“Lha kaya medeni kae, Mbak. Le omongan celat-celat (mengerikan itu, Mba. Bicaranya cadel), ujar Ratna mengenang kejadian tahun lalu pukul satu pagi.

Esoknya sakit Sri kembali kambuh hingga mesti dibawa ke rumah sakit. Ia menjalani rawat inap tujuh hari lamanya. Usianya sudah 70 tahun dan sekarang mengidap komplikasi. Mulai dari diabetes, strok, hingga sakit jantung.

Menurut Ratna, selain sakit, orang tua juga perlahan-lahan kembali menjadi anak-anak. “Kadang nek ngising jlepret-njlepret neng ngendi-ngendi kae (kadang kalau BAB sampai kemana-mana).” Kalaupun menggunakan pampers, Ratna mengaku bisa langsung mual ketika diminta menggantinya.

Mertuanya juga kerap menyepelekan dan mengadukan pada saudara-saudara lain seakan anak yang di rumah tidak cakap mengurus mereka. Kalau sudah demikian, Ratna memilih diam.

Suami Ratna adalah anak keempat dari enam bersaudara. Mertuanya memang sempat tinggal di rumah anaknya yang lain, tetapi tidak lama. “Aku ra kuat amor simbok, Yu. Simbok mbok ben melu kowe (aku tidak kuat bareng ibu, Mba. Ibu biar ikut kamu),Ratna menirukan ucapan adik iparnya.

Sri sendiri sudah tak bekerja. Untuk makan dan minum saja tangannya gemetar. Anaknya yang lain terkadang memberi uang, tetapi untuk makan sehari-hari bergantung pada Ratna dan suami. Sri sebagai lansia memang mendapat bantuan dari pemerintah, seperti beras atau uang. Menurut Ratna, Sri pernah memperoleh Rp400.000 yang disimpan untuk kebutuhan mendesak. Apabila Sri tak lagi memegang uang, anak-anaknya akan kembali iuran.

“Jangan sakcemplungan kuwi ra sedeng 20 ewu, Mbak. Bumbu ya banter (sekali masak sayur itu Rp20 ribu tidak cukup, Mba. Bumbu juga boros),” tutur Ratna.

Ratna juga ibu dari dua anak. Anak sulungnya putus sekolah kala SMP dan sempat belajar di pondok pesantren selama tiga tahun. Pondok tersebut bukanlah sekolah formal, melainkan hanya tempat untuk belajar mengaji. Sedangkan si bungsu, masih berada di kelas 3 SD. Meski sekolah gratis, Ratna harus membayar buku LKS. Belum lagi uang saku Rp7.000 tiap harinya.

Anak-anaknya kerap bertengkar meski karena persoalan sepele sehingga menambah keriuhan. Keduanya juga belum bisa diandalkan untuk membantu pekerjaan rumah. “Aku ngapa-ngapa ijen. Cah saiki kon nyapu wae kadang ra gelem (aku apa-apa sendiri. Anak sekarang suruh menyapu aja kadang engga mau),” keluh Ratna.

Posisinya yang terjepit dua generasi, yakni orang tua sekaligus anak sendiri diibaratkan daging isi di roti lapis. Beban tersebut membuat harinya hanya seperti siklus yang seragam. Bangun pagi dan segera melakukan pekerjaan rumah. Pukul setengah delapan hingga menjelang asar bekerja. Sorenya, kembali mengurus rumah.

“Bali kae nek lawuhe entek ya gawe meneh. Terus ngumbahi bar kuwi ya istirahat (pulang itu kalau lauknya habis ya buat lagi. Setelahnya mencuci lalu beristirahat),” ujar Ratna. Untuk mencuci baju, ia masih manual dengan tangan.

Ratna adalah salah satu pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan. Di sana ia bekerja membantu suaminya menopang ekonomi keluarga.

Menanggung risiko kerja demi memenuhi kebutuhan keluarga

Mandeg kene sek ya (berhenti di sini dulu), Mba,” ujar Ratna. Setelah mengendarai motor melewati jalan terjal, ia berhenti pada sebuah toko kelontong.

Mboten tumbas napa-napa (tidak beli apa-apa), Bu? tanya saya kala melihatnya kembali dengan tangan kosong.

“Tuku nggo masak sesuk. Ngko nek bali lagi dijupuk (beli untuk masak besuk. Nanti kalau pulang baru diambil).” Setidaknya ia harus tiga kali mempompa engkol motor agar kendaraan dengan lampu rusak itu bisa hidup kembali.

Rumah Ratna hanya berada di balik luapan sampah ini. Karena itu, tak butuh lama untuk sampai di lokasi. Ia segera mengambil kain lebar berwarna hijau untuk menutup motornya ketika sampai.

“Mung kepepe sedino. Jok motor kuwi sok dikrokoti sapi, lak asin-asin piye. Dadi nggonaku penting ngglinding (hanya dijemur seharian. Jok motor itu suka digigiti sapi karena asin-asin. Jadi, punyaku yang penting bisa jalan),” jelas Ratna.

Ratna telah menjadi pemulung 19 tahun lamanya. Ia merasa harus membantu sang suami karena penghasilan dari satu orang saja tak cukup. Ketika ditanya soal omzet, ia menyodorkan kertas hasil timbangan minggu lalu, tertulis Rp672.800. Ia mengaku pernah hanya mendapat Rp500 ribu. Mereka rutin menjual barang rongsok tiap lima hingga tujuh hari sekali.

Ratna mengatakan penghasilannya itu pas-pasan untuk keperluan hidup, seperti makan, arisan, nyumbang, hingga jajan anaknya. Karena itu, libur tak bisa dilakukan lama.

“Aku meteng gede ya tetep golek, tur gur pilih-pilih. Kacek sedino njuk lahiran. Wetenge abot kaya arep kecer-kecer dadi nek mlaku tak goceki tenan. Neng alhamdulilah bayine sehat, metune normal (aku hamil besar ya tetap cari, tapi memilah saja. Selang satu hari lalu melahirkan. Perutnya berat seperti mau jatuh jadi kalau jalan aku pegangi. Tapi alhamdulillah bayinya sehat, keluarnya normal), jelasnya.

Ratna bahkan membawa bayinya ke TPST Piyungan. Ia menyusui anak bungsunya di sana. Kala putranya tidur, ia diletakan pada gubuk kecil yang Ratna buat agar tak kepanasan. “Nek wes dadi wong tua ki yo piye carane cukup, Mbak. Nek wes mlakui lakyo wes biasa (kalau jadi orang tua itu gimana caranya cukup, Mba. Kalau sudah dijalani nanti biasa).”

Ia justru libur kala mertuanya sakit. Hal ini lantaran Ratna mesti bergantian berjaga di rumah sakit.

TPST Piyungan sudah beroperasi sejak 1996 dan terus menampung sampah dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Meski Ratna mengaku tidak pernah terjangkit penyakit tertentu, pekerjaan ini tetap penuh risiko. Paku pernah menembus kakinya meski ia telah menggunakan sepatu bot. Ia segera suntik agar tak terkena tetanus. Di lain waktu, ia pernah diseruduk sapi. Itu bukan perkara sepele mengingat kawannya pernah terinjak hingga patah tulang. Para pemulung juga harus tangkas menghindari truk agar tak tertimbun sampah.

“Nek dipikir bahayane ya akeh. Neng wong karang kalah karo butuh (kalau dipikir bahayanya ya banyak. Tapi kalah sama kebutuhan),tutur Ratna.

Suaminya dulu bekerja sebagai penambang batu. Namun, lokasinya sudah habis sehingga pemulung jadi pilihan paling memungkinkan karena modalnya sedikit dan tak perlu syarat atau izin tertentu.

Tangan Ratna terus cekatan memilah sampah. Tanpa sarung tangan. Ia juga tak menggunakan masker. “Aku ra nduwe apa-apa, Pak. Lagek kon ra jajan iki (aku engga punya apa-apa, Pak. Baru disuruh engga jajan ini),” ucapnya pada laki-laki yang datang. Orang itu mencari baju bekas untuk dijual kembali.

Tak ada kamar mandi di tengah gundukan sampah. Ratna biasanya menyempatkan pulang kala azan dzuhur sekaligus untuk salat, makan, dan istirahat sejenak.

“Mepet kono wae. Cawik nganggo Aqua (mepet di sana aja. Basuh pakai Aqua),” jawabnya kalau para pemulung ini sudah tak tahan.

Ratna hanya berharap seluruh pengorbanannya membuahkan hasil. Ia ingin anak-anaknya memiliki pekerjaan yang lebih baik. Ia bahkan tak tega jika membayangkan jika mereka harus menjadi pemulung.

“Gusti Allah iki apa, Mbak? Letong. Wah, jan, ketutupan ra weruh (Ya Allah ini apa, Mba? Kotoran sapi. Wah, ketutup jadi engga lihat),pekiknya kala menginjak kotoran sapi.

Terbelenggu urusan rumah tangga

Kompor dua tungku itu sudah menyala sejak pukul enam pagi. Satu memasak sop dan sisi lainnya digunakan untuk menghangatkan sayur kemarin. Terlihat pintu dapur dibiarkan terbuka sebab tak ada jendela. Di sela-sela waktu, ia sempatkan untuk mencuci beberapa piring. Di ruangan dengan warna biru penuh noda hitam itulah Lala menghabiskan sebagian besar harinya.

Perempuan 35 tahun tersebut setidaknya harus memasak dua jenis makanan. Ia membedakan sajian antara tiga anaknya dengan Ayu, ibu kandungnya yang berusia 59 tahun. Bukan hanya soal selera, tetapi pantangan-pantangan karena diabetes yang diderita ibunya.

Lala sendiri menikah satu tahun setelah lulus SMK. Usianya masih 19 tahun. Sedangkan suaminya, berumur 21. Tiga bulan pernikahan mereka, Lala hamil anak pertama yang kini telah duduk dibangku SMP. Dua anak lainnya masing-masing berusia 4 dan 1,5 tahun. Dirinya mengaku pernikahan itu hanya bermodal nekat.

Perempuan yang tinggal di Gunungkidul ini kembali ke dapur pada pukul 10.00 dan 14.00 untuk menyiapkan makanan pendukung Ayu, yakni singkong rebus dan pepaya. Itu adalah menu dan waktu yang dianjurkan pihak rumah sakit.

Lala masih harus pergi ke dapur lagi saat lauk dan sayur habis untuk makan sore. Terkadang ia sengaja memasak dua kali karena tak semua sayuran bisa dipanaskan, seperti bayam dan kangkung.

Lala benar-benar harus menyiapkan makanan sampai dalam piring sebab Ayu yang kesulitan untuk bermobilisasi. Di sisi lain, ia juga harus menyuapi kedua anak balitanya.

Kebutuhan anaknya dan Ayu memang kerap berbarengan. Salah satunya kala Ayu dirawat di rumah sakit karena diabetesnya menimbulkan luka. Lala sempat berjaga dan mesti meninggalkan anaknya yang masih menyusu.

“Jiwaku ana neng omah. Wes mamak maido karo ngamuk kae, ternyata anakku ya rewel (jiwaku ada di rumah. Mamak sudah mencela dan mengamuk gitu, ternyata anakku ya rewel),” ceritanya.

Kegiatan pokok lain yang mesti dijalani adalah mempersiapkan anak nomor duanya untuk sekolah di PAUD. Mulai dari memandikan, memakaikan baju, sampai menemani. Lala juga turut membawa anak bungsunya karena khawatir akan rewel di rumah.

Kala di rumah, dua anak balita itu sering bertengkar dan baru berhenti kala salah satunya menangis. Bermain dengan air hingga membuat cucian menumpuk, mengganti pamper, menidurkan di siang hari, diminta menggendong, sampai menemani ke WC juga menyita banyak perhatian. Rumah juga selalu berantakan karena ulah mereka. Di sisi lain, ibunya kerap menghidupkan televisi atau radio dengan suara kencang. Ketenangan jarang ada di rumah itu. Lala baru bisa istirahat saat malam hari. Ia mengaku waktunya tidak pasti karena kedua anaknya terkadang masih sering bermain hingga larut malam.

“Nek lihat HP suka meri. Kok mereka penak banget kaya ra nduwe beban? Lha nek nduwe anak cilik terus metu ki butuh tenaga akeh. Durung nek rewel (kalau lihat HP suka iri. Kenapa mereka enak banget ya seperti tidak ada beban? Kalau punya anak kecil terus keluar itu butuh tenaga banyak. Belum lagi kalau rewel),” tutur Lala.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Lala bergantung pada suaminya yang berdagang roti bakar dan gorengan setiap hari. Libur adalah hal mewah yang sulit dilakukan. Di sini Lala juga bertugas untuk membantu menyiapkan bekal dan bahan dagangan yang dibawa untuk suaminya bekerja. Sedangkan untuk kebutuhan Ayu, ditopang oleh pemberian anak-anaknya, termasuk Lala sendiri.

Keuntungan yang didapat suaminya bisa mencapai Rp200.000 sehari, tetapi pernah juga sampai tidak balik modal. Ketika dalam kondisi terdesak, Lala biasanya akan meminjam uang pada saudara-saudaranya.

Lala menjelaskan jika sebenarnya ia ingin bisa memerankan kehidupan layaknya sinema. Mengunjungi orang tua kala rindu, memberi uang karena ingin sehingga timbul rasa bahagia tersendiri. Dengan kata lain, bukan karena kewajiban dan keharusan yang tidak memandang kondisi perekonomiannya.

Beratnya kehidupan beban ganda ini menjadi catatan tersendiri baginya. Ia ingin bisa hidup di panti jompo kala tua nanti agar tidak membebani anak-anaknya.

“Rutinitas ngono kuwi sebenere menjenuhkan. Marai stres. Nek mulai bunek yo mentoke nangis. Tapi meh sambat jenenge lak durhaka (rutinitas yang seperti itu sebenarnya menjenuhkan. Membuat stres. Kalau pusing maksimal ya nangis. Tapi mau ngeluh namanya durhaka),” keluhnya.

Mencari solusi kutukan demografi

Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM, Tauchid Komara Yuda menjelaskan jika generasi sandwich adalah mereka yang memiliki pendapatan pas-pasan, tetapi harus menanggung kebutuhan dari dua generasi. Mereka yang kondisinya tercukupi tidak bisa diberi label ini.

Menurutnya, kelas menengah juga dapat masuk dalam golongan ini. Mereka tidak kaya, tetapi dianggap tidak layak menerima bantuan sosial dari pemerintah. Meski gajinya 15 juta, bisa digolongkan kekurangan karena banyaknya beban yang ditanggung.

“Bagi mereka yang pas-pasan, kata bakti itu justru jadi masalah. Mereka juga engga punya strategi exit,” ujarnya melalui panggilan telepon.

Mahasiswa Doktoral di Lingnan University tersebut menjelaskan jika generasi produktif seharusnya memiliki tabungan yang memungkinkan mereka melakukan investasi dan memiliki aset. Namun, generasi sandwich memiliki uang yang terbatas dan mesti dibagi-bagi.

“Mereka butuh berdarah-darah kerjanya. Apalagi UMR Jogja, wah, itu gawat banget,” tutur laki-laki yang akrab disapa Yuda tersebut.

Yogyakarta sendiri jadi salah satu dari lima provinsi dengan proporsi penduduk berusia lanjut lebih banyak. Pada tahun 2035, menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, Yogyakarta sudah dapat digolongkan menjadi provinsi penduduk tua (aging population). Selama periode 2010-2035, posisi angka harapan hidup Yogyakarta juga konsisten pada peringkat satu di Indonesia. Nilainya selalu di atas 74 tahun.

Kondisi tersebut membuat raiso ketergantungan lansia Yogyakarta menjadi tinggi. Pada tahun 2021 saja tercatat sebesar 24,08. Angka tersebut menunjukan jika setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung beban sebanyak 24,08 penduduk usia lanjut (65 tahun ke atas). Yogyakarta berada diperingkat satu jika dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Ledakan generasi sandwich pascabonus demografi bukan tanpa jalan keluar. Yuda sendiri pernah membahasnya pada artikel bertajuk “Solusi untuk Generasi Sandwich”.

Pada Minggu (28/5/2023) lalu itu ia menjelaskan jika salah satu langkah krusial yang perlu dilakukan adalah memberi jaminan hari tua secara menyeluruh. Dengan kata lain, tidak hanya pada sektor formal. Yuda menyebutnya dengan formalisasi tenaga kerja. Iuran bulanan dilakukan dengan menyesuaikan kemampuan ataupun risiko dari masing-masing sektor. Misalnya, kekeringan pada petani.

Solusi kedua menurut Yuda adalah membuka pasar kerja yang inklusif, termasuk bagi lansia. Mereka bisa dipekerjakan sesuai dengan kondisi fisiknya. Dengan demikian, bisa terus memperoleh gaji.

Mereka yang menanggung beban ganda ini dapat pula didorong untuk memperoleh penghasilan lebih baik. Menurut Yuda, generasi sandwich biasanya berada pada pasar kerja yang tidak bagus mengingat riwayat pendidikan yang rendah. Untuk itu, diperlukan pelatihan dan pendampingan kemampuan.

“Kita punya skema yang bagus banget. Namanya Prakerja. Masalahnya, tidak ada yang menjamin seseorang bisa ditempatkan diperusahaan ketika lulus dari pelatihan itu. Perusahaan juga jarang yang percaya dengan sertifikasinya,” jelas Yuda.

Untuk ikut menangani masalah utang yang kerap dihadapi oleh generasi sandwich, Yuda mengatakan pemerintah juga dapat turut melakukan intervensi. Misalnya, mengurangi pungutan pajak mereka.

Untuk Yogyakarta, Yuda berharap pemerintah bisa memperbaiki kualitas transportasi publik. Sektor ini memboroskan pendapatan masyarakat karena mobilitas secara bebas hanya bisa dilakukan dengan kendaran pribadi. Yuda yakin jika kualitas transportasi umum baik, bisa turut mengurangi beban masyarakat.

“Ini bukan soal personal, tapi masalah besar dan rumit. Masalah ini harus diselesaikan kalau kita mau dapat generasi emas. Jangan sampai bonus demografi jadi kutukan demografi,” pungkas Yuda. (Delima Purnamasari)

*Demi kenyamanan narasumber, nama Ratna, Sri, Lala, dan Ayu bukan nama sebenarnya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Pemenuhan Hak Perempuan dalam Bencana

Pemenuhan Hak Perempuan dalam Situasi Bencana Masih Belum Ideal

Sterilisasi: Pilihan Kontrasepsi Paling Banyak Digunakan di Dunia

Saatnya Mengakhiri Stigma Menstruasi

Leave a Comment