Bincangperempuan.com- Masih banyak perempuan yang mengalami penindasan sebab budaya patriarki yang kuat dan kontekstual dalam setiap tatanan kehidupan. Seolah tak cukup jadi korban kekerasan struktural, perempuan timur mesti mengalami beban yang berlapis. Mereka menanggung beban rumitnya budaya patriarki sekaligus rasisme yang kerap terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Rasisme bukan hanya soal perlakuan orang kulit putih pada kulit hitam. Ini berbicara soal relasi kuasa dan dominasi. Masyarakat mayoritas menganggap diri lebih berbudaya, berpengetahuan, dan bermoral. Merasa lebih superior sehingga mengangkat diri sebagai juru selamat.
Praktik rasisme yang begitu panjang tidak pernah benar-benar diselesaikan. Karena itu, setiap orang timur memiliki pengalaman rasisme yang terbangun menjadi pengetahuan kolektif. Mereka muak dengan segala stigma dan lelah dituntut untuk diam demi keharmonisan. Pada titik inilah mereka mulai melakukan perlawanan.
Sayangnya, banyak orang timur yang menentang rasisme justru ditangkap dan diberi label makar. Sebut saja Arina Elopere. Ia adalah salah satu peserta demonstrasi menentang rasisme pada 28/8/2019 di depan Istana Negara. Ia dipanggil dengan sebutan orang utan kala ditangkap polisi di sebuah toserba dekat asramanya.
Mengingat kembali soal patriarki
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dialami perempuan tidak jarang mengatasnamakan agama dan tafsir-tafsir tertentu. Ulama KUPI, Nur Rofiah dalam forum Ngaji Feminis yang diselenggarakan oleh Solidaritas Perempuan mencoba membahas hal ini.
Praktik patriarki dapat dilihat sejak jauh di masa lalu. Kala ilmuan hanya laki-laki sehingga hal-hal yang disebut ilmiah dan objektif standarnya adalah mereka sendiri. Begitu pula dengan para filsuf sehingga rasional berarti berpikir berlandasan pengalaman dan pengetahuan laki-laki. Ketika penguasa negara dan tokoh masyarakat juga hanya laki-laki maka hal-hal yang disebut bijak, norma, dan kearifan sosial pun berasal dari perspektif laki-laki semata.
“Ketika perempuan berpikir ataupun laki-laki mendengarkan pemikiran perempuan, itu kerap disebut emosional,” ujar Rofiah.
Menurut Rofiah, pengalaman perempuan adalah hal yang valid. Ini bisa menjadi sumber pengetahuan untuk merumuskan keadilan, kebijakan, kemaslahatan. Ia sendiri menyebutnya dengan keadilan hakiki perempuan.
Salah satu pengalaman autentik yang hanya dialami perempuan adalah soal sistem reproduksi. Untuk memperoleh keturunan ada perjuangan yang berdarah-darah dan sakit berlipat-lipat. Perempuan melewati proses menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, sampai menyusui. Durasinya harian hingga tahunan. Sedangkan tubuh laki-laki, hanya mengeluarkan sperma. Lamanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Dampak yang dihasilkan juga sebuah kenikmatan.
“Sebenarnya pemikiran laki-laki bisa bias karena tidak mengalami. Itu bisa dipahami, tapi tidak bisa dibenarkan. Harus ada usaha juga untuk mereka tahu,” tambah Rofiah.
Pada agama Islam sendiri, menjadi subjek penuh dalam kehidupan adalah cita-cita kemanusiaan tertinggi. Laki-laki dan perempuan harus dilihat sebagai manusia yang utuh. Tidak satupun menjadi standar tunggal untuk pihak yang lain. Ini adalah kerja-kerja peradaban yang memerlukan waktu berabad-abad.
“Bias yang paling bermasalah untuk mewujudkan keadilan adalah rasa benci. Entah itu rasisme, apartheid, atau misoginis,” tutur Rofiah.
Salah satu yang kerap dipermasalahkan pada masyarakat yang melanggengkan budaya patriarki adalah perempuan yang bekerja. Sejarah mencatat jika status perempuan disamakan dengan harta sehingga harus disimpan di dalam rumah. Padahal, belum tentu penghasilan suami selalu bisa mencukupi keluarga. Belum tentu ia dapat setia atau umur suami istri bisa sama panjangnya. Peluang untuk perempuan menjadi pencari nafkah tunggal itu selalu ada.
Untuk itu, Rofiah turut menjelaskan alternatif-alternatif yang bisa digunakan untuk melawan patriarki. Salah satunya adalah dengan menceritakan pengalaman khas perempuan.
“Ceritakan menstruasi itu seperti apa? Sakitnya hamil itu bagaimana? Kalau dianggap tabu lalu tidak ada yang cerita, akhirnya tidak ada yang tahu. Lalu selamanya engga akan dipertimbangkan,” tambahnya.
Praktik rasisme yang sudah membadan
Hasrat untuk mengeruk dan merampas kekayaan di timur Indonesia adalah salah satu alasan utama di balik praktik rasisme. Pihak-pihak ini turut menciptakan jejaring politik birokrasi lokal yang melindungi perampasan tersebut. Setelah itu, timbulah kekerasan dan teror secara masif atas gerakan sosial yang dilakukan masyarakat lokal.
Hal tersebut dijelaskan oleh salah seorang antropolog, I Ngurah Suryawan dalam diskusi “Akar Rasisme dalam Pusaran Konflik Papua”. Acara ini diselenggarakan oleh Redaksi Jubi dan PapuaItuKita.
Rasisme telah dilakukan sejak berabad-abad lalu hingga berdampak pada alam bawah sadar masyarakat timur. Ini jadi semacam sistem pengetahuan.
“Saya melihat rasisme terstruktur dalam bingkai institusi negara. Ini melahirkan kebijakan yang kemudian diawasi dan dijaga oleh aparat keamanan,” ujar Ngurah.
Salah satu bentuk rasisme adalah dalam pembangunan dan transmigrasi. Masyarakat timur dimajukan dengan mengadirkan para pendatang. Hingga yang terjadi adalah masyarakat asli kehilangan akses atas tanah dan kekalahan bersaing dengan kelompok migran yang ada.
Praktik-praktik budaya mereka juga dihilangkan karena dianggap berkaitan dengan kuasa setan. Bertentangan dengan ajaran agama mayoritas. Pengetahuannya dianggap primitif. “Indonesia menyembunyikan wajah rasisme. Ini sejarah gelap dan jadi penderitaan yang tidak akan dilupakan,” tambah Ngurah.
Menurutnya, pembangunan di wilayah timur jangan hanya mempertimbangkan konteks kemajuan modernisme. Penting untuk melihat narasi masyarakat lokal dengan tanah, relasi mereka dengan kelompok lain, serta keterlibatannya dengan non-manusia. Ngurah menyebutnya sebagai kesadaran untuk menuju tanah leluhur.
Mendengar suara perempuan timur
Perempuan timur turut merasakan kerasnya kehidupan di ranah privat karena kultur yang berlaku. Sebagai contoh adalah pandangan mengenai menstruasi yang dianggap kotor. Di Maluku, perempuan yang pertama kali mengalami menstruasi mesti menjalani tradisi Pinamou. Ia akan diasingkan dalam Posune. Sebuah rumah mungil yang tertutup daun kelapa yang dipercaya bisa menahan kenajisan tubuh perempuan agar tidak sampai menyebar. Selama diasingkan, perempuan ini juga tidak diperkenankan mandi. Hal yang sama juga terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika menstuasi, perempuan dilarang masuk ke kebun. Ini mendiskriminasi mereka dari ruang publik.
Aktivis perempuan Papua, Rosa Moiwend dalam forum yang sama dengan Ngurah turut bercerita tentang pengalamannya. Ia mengaku sering mendapat pertanyaan-pertanyaan yang menjengkelkan “Apakah rambutnya bisa basah ketika keramas?”, “Bagaimana cara menyisir rambutnya?”, sampai “Bagaimana ia bisa lancar berbahasa Indonesia?”
“Membutuhkan mental tersendiri agar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan tidak emosi. Saya belajar tentang mereka, tapi mereka tidak belajar tentang saya,” tutur Rosa.
Ia sangat menyayangkan, sebagus apapun karir orang timur, ia tetap berada dalam penjara besar yang dinamakan rasisme. Baginya, kondisi ini ini justru dihasilkan dari kalangan terdidik yang seharusnya bisa melihat keberagaman. Dengan kata lain, ada dominasi pengetahuan yang berasal dari satu sumber, yakni mereka sebagai pemilik kekuasaan dan privilese.
“Apa hanya karena kami orang Papua? Jadi kami dianggap kotor,” Rosa tegas bertanya.
Mahasiswi asal Flores, Nur Aini Rizky juga memiliki pengalaman tersendiri. Ia ingat betul ketika dosennya yang sedang membahas soal Papua mengatakan jika anak-anak di sana tidak bisa paham ketika diajar.
“Mending saya ngajar sepuluh orang Jawa daripada satu orang Papua,” ujar Aini menirukan perkataan dosennya. Ia menyayangkan praktik rasisme justru hadir dalam lingkungan pendidikan.
Ia bercerita jika motivasinya untuk kuliah dan merantau di Yogyakarta karena orang tuanya yang putus sekolah. Bapaknya tidak tamat SD dan Ibunya hanya tamat SMP. Meski demikian, peluang ini juga menjadi tantangan baginya. Ia bercerita jika mereka yang bisa sampai kuliah harus bekerja, bahkan menanggung keluarga ataupun adiknya. Ini semacam praktik balas budi karena sudah dibiayai.
Kuliahnya juga bukan tanpa tantangan. Terlebih, ada perbedaan karakter dan budaya. Salah satu yang paling terasa adalah penggunaan bahasa. Mayoritas teman-temannya menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan. Satu hal yang tidak ia pahami. Sempat ia meminta mereka untuk berbahasa Indonesia. Namun, beberapa menit kemudian mereka kembali menggunakan bahasa Jawa.
“Awalnya daring dan ngontrak dengan teman-teman sedaerah. Belum terlalu bergaul. Tapi semakin ke sini ternyata agak kaget juga,” ujar Aini dalam sambungan telepon.
Ia berharap teman-temannya di Jawa bisa semakin membuka diri pada orang luar, khususnya mereka yang berasal dari timur. Di sisi lain, mereka yang dari timur juga perlu melakukan usaha penyesuaian. “Kami harus bisa beradaptasi juga dengan segala ketertinggalan,” pungkasnya. (Delima Purnamasari)