Home » News » Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media – Mendobrak Stigma, Mendorong Kuasa

Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media – Mendobrak Stigma, Mendorong Kuasa

Bincang Perempuan

News

“KETIKA jurnalis perempuan memimpin di newsroom, maka ego patriarki menempatkannya sebagai rival. Mengabaikan pentingnya kolaborasi, karena takut akan dikuasai perempuan. Tidak ada support sistem bagi jurnalis perempuan,” ungkap salah satu jurnalis perempuan di Bengkulu.

“Saya memilih untuk menarik diri (mundur,red). Mencari tempat lain untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan diri,” katanya.

Tak jauh berbeda disampaikan jurnalis perempuan lainnya. Meski masih tetap bertahan menjadi buruh disalah satu perusahaan media di Bengkulu, namun ia turut menyampaikan keprihatinannya.  

“Diawal proses perekrutan, diskriminasi sudah ada. Jangan merekrut wartawan perempuan, karena ketika hamil dianggap tidak produktif,” timpalnya.   

Begitulah potret nyata kondisi jurnalis perempuan di industri media yang masih didominasi maskulitas ini.

Kultur dalam sebuah ruang redaksi (newsroom)tidak bisa dipisahkan dengan kultur yang ada dalam masyarakat. Maka jika ingin mengubah kultur pada sebuah ruang redaksi, harus juga upaya untuk mengubah kultur dalam masyarakat.

Tangkapan layar peluncuran Hasil Riset dan Diskusi “Perjalanan Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media”

Ini disampaikan Profesor Emeritus Drew McDaniel dari Universitas Ohio, dalam acara “Peluncuran Hasil Riset dan Diskusi: Perjalanan Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media-Mendobrak Stigma, Mendorong Kuasa” yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Senin (25/10) secara daring.

“Di banyak organisasi, posisi manajer cenderung diberikan kepada laki-laki, dan bukan perempuan. Ini karena pengaruh kultur di luar organisasi tersebut,”

Profesor Emeritus Drew McDaniel

Penjelasan McDaniel tersebut menguatkan hasil riset yang dirilis oleh PPMN. Riset yang dilakukan PPMN dengan dukungan Kedutaan Besar Belanda ini  menemukan bahwa setidaknya ada enam hambatan kepemimpinan perempuan di media. Pertama, hambatan sosial budaya. Kedua, hambatan kondisi struktur organisasi. Ketiga, hambatan yang berkaitan dengan proses internal organisasi. Keempat, hambatan personal yang berkaitan dengan latar belakang individu. Kelima, hambatan personal yang berkaitan dengan soft skill yang dimiliki individu. Keenam, hambatan personal yang berkaitan dengan rencana karir individu. 

“Pola-pola hambatan pada kepemimpinan perempuan menempatkan hambatan di level organisasi sebagai hambatan utama, diikuti dengan hambatan individu, dan sosial budaya,” papar Ketua Tim Peneliti Associate Professor Ika Idris dari Monash University Indonesia.

Tangkapan layar peluncuran Hasil Riset dan Diskusi “Perjalanan Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media”

Selain McDaniel dan  Ika Idris, hadir dalam diskusi tersebut Redaktur Senior Harian Kompas Ninuk Pambudy; Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika; dan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani. Hadir juga Pemimpin Redaksi Radar Selatan Sunarti Sain dan Pemimpin Redaksi Solopos Media Group Rini Yustiningsih yang memberikan kesaksiannya terkait hambatan yang mereka hadapi sebagai pemimpin perempuan dalam ranah jurnalistik. Tampil sebagai moderator adalah Yulia Supadmo, pemimpin redaksi RTV.

Dalam acara tersebut, Direktur Eksekutif PPMN Eni Mulia secara resmi mengumumkan bahwa hasil riset bisa diakses melalui website PPMN: Perjalanan Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media

Lebih lanjut, dikatakan Eni Mulia program ini bertujuan untuk memperkuat peran dan suara perempuan di media di Indonesia, yang selama ini kerap mendapatkan kritik media yang diskriminatif terhadap perempuan, bias gender dan jauh dari kesetaraan gender.

“Padahal dalam demokrasi ini menjadi hal penting. Kami ingin mendorong lebih banyak studi tentang jurnalis perempuan. Mendorong kepemimpinan perempuan di media di Indonesia dan mencetak pemimpin perempuan agar dapat membuat kebijakan yang berperspektif gender,” ungkapnya.

Kepala Departemen Politik Kedutaan Belanda, Roel Van der Veen dalam sambutannya menyebutkan dukungannya  terhadap PPMN untuk melakukan kajian perempuan dan media.

“Jurnalis perempuan mengalami pandangan negatif terkait dengan pekerjaan di media. Kombinasi dari pengetahuan dari pengalaman bisa memastikan kepemimpinan perempuan dan reprentasi perempuan. Perubahan harus terjadi di masyarakat dan  media mempunyai kekuatan untuk mendorong perubahan itu,” sebutnya.

Roel Van der Veen

Riset berjudul  “Gambaran dan Tantangan Pemimpin Perempuan di Media di Indonesia” tersebut melibatkan 258 jurnalis perempuan dari 118 organisasi media di 30 provinsi sebagai responden.

Penelitian yang berlangsung sejak Maret-Mei 2021 ini menggabungkan metode penelitian kuantitatif (survei) dan kualitatif (autoetnografi dan focus group discussion/FGD). Metode autoetnografi melibatkan tujuh perempuan yang menjadi pimpinan media massa, di mana selama 5-12 minggu mereka terlibat menuliskan jurnal refleksi pengalaman mereka sebagai jurnalis.

Ika mengungkapkan bahwa semua riset di Indonesia dalam konteks kepemimpinan perempuan di media mengadopsi dua pendekatan glass ceiling dan labyrinth. Hasil riset ini menunjukkan bahwa kedua metafora tersebut kurang tepat dalam menggambarkan kondisi di Indonesia.

Tangkapan layar peluncuran Hasil Riset dan Diskusi “Perjalanan Rollercoaster Kepemimpinan Perempuan di Media”

Disebutnya, hasil riset ini menyebutkan perjalanan jurnalis perempuan di media massa Indonesia lebih tepat digambarkan dengan metafora rollercoaster atau kereta luncur. Di mana awalnya landai, dia banyak bergulat dengan hambatan personalnya di awal karir lalu posisi itu akan semakin tinggi dan memacu adrenalin.

“Kami melihat ternyata hambatan tertinggi adalah di level organisasi, ini misalnya kurangnya mentoring. Jurnalis masuk ke industri media, langsung diceburin, kalau memang jago pasti bisa. Kemudian ada queen bee syndrom, yakni pemimpin perempuan yang bisa lebih tega dari laki-laki. Serta jurnalis perempuan sering “terisolasi” akibat aktivitas-aktivitas yang tidak melibatkan perempuan. Seperti habis ngetik berita ada main futsal bareng. Padahal dimoment seperti itu kerap kali ada keputusan yang diambil,”

Ika Idris

Ninuk Pambudy mengapresiasi hasil riset tersebut dan menyebut bahwa ini adalah penelitian pertama di Indonesia tentang perempuan jurnalis yang melibatkan responden dalam jumlah besar.

Terkait tantangan kepemimpinan perempuan di media, Ninuk menyebut ada tantangan eksternal dan internal. “Tidak semua perempuan menyadari ada masalah di kesetaraan gender. Ada perasaan saya bisa, kenapa dia tidak bisa?” ujarnya.

Sementara Wahyu Dhyatmika menyebut bahwa kita harus melihat seluruh sistem untuk mengurai persoalan perempuan di media. “Kami di AMSI berusaha memberi ruang sensitive gender. Kami berusaha setiap kegiatan AMSI harus ada perempuan sebagai bicara. Namun dalam kebijakan kami sedang membuat media berpihak pada perempuan dan kelompok termarjinalkan,” katanya.

Sementara itu Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyebut bahwa riset ini sangat penting untuk memahami lapis demi lapis persoalan yang dihadapi perempuan bukan hanya di ruang media tapi juga lainnya.  

“Beberapa faktor yang dihadapi dalam kepemimpinan media juga dialami oleh para pembela HAM. Ini adalah kesempatan menguatkan kapasitas.  Pada saat bersamaan riset ini juga punya keterhubungan pada yang dihadapi oleh perempuan di sektor-sektor lain,” demikian Andy. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Media dan Gender

Artikel Lainnya

Bromance, Lelaki Juga Butuh Ruang Aman

Bromance, Lelaki Juga Butuh Ruang Aman

Perempuan Sungai Lemau Berjuang Melawan Krisis Iklim

Perempuan Sungai Lemau Berjuang Melawan Krisis Iklim

Google menyambut dua jurnalis asal Indonesia ke dalam program AAJA Executive Leadership Program

Leave a Comment