Bincangperempuan.com– “Hampir setiap hari saya merasa cemas,” ungkap responden I yang berusia 21 tahun saat dijumpai Bincang Perempuan beberapa waktu lalu.
Ia mengaku mencemaskan pekerjaan dan studi yang saat ini sedang ia jalani. Ia ragu akan karir masa depannya nanti. Lantaran studi yang sedang dijalaninya saat ini tidak sesuai dengan passionnya, yakni tata rias dan busana.
Responden I mengatakan, memilih program studi perkuliahan saat ini karena mendengarkan arahan orang tuanya. Hal inilah yang membuatnya merasa cemas hampir setiap hari. Ia selalu berpikir jika waktu perkuliahan yang ia jalani saat ini hanya akan berakhir sia-sia nanti.
Meskipun mengalami kecemasan, Responden I mengaku belum pernah meminta bantuan tenaga khusus atas kecemasan yang dialaminya. Namun jika suatu hari nanti ia membutuhkan konseling khusus, ia sudah tahu harus kemana.
Ada juga responden II yang berusia 22 tahun. Responden ini mengalami frekuensi tingkat kecemasan lebih ringan bila dibandingkan responden I, tidak setiap hari namun beberapa kali dalam seminggu.
Lagi-lagi persoalan studi menjadi penyebab kecemasan yang dialami responden II. Selain menjalani rutinitas sebagai mahasiswa, ia juga menggeluti bisnis kuliner. Sehingga membagi waktu, pikiran dan tenaga kerap menjadi tantangan dan mendatangkan rasa stress dan cemas terlebih ia memasuki usia semester akhir.
“Tuntutan untuk segera menyelesaikan studi juga menjadi pemicu munculnya rasa cemas,” katanya.
Berbeda dengan rekannya (responden I), ia mengaku tidak tahu kemana harus mengadu (curhat,red) jika sewaktu-waktu tingkat kecemasannya sudah menjadi persoalan yang akut.
Lain pula dengan responden III seorang mahasiswa berusia 20. Pada Bincang Perempua, ia menuturkan mengalami kecemasan dan stres setidaknya beberapa kali dalam sebulan, tepatnya pada momen-momen tertentu saja semisal ketika uang kiriman belum sampai.
“Cemas karena masalah keuangan, sebagai mahasiswa perantau mengharuskan saya untuk cermat dalam mengelola keuangan yang dikirimkan orang tua. Sedangkan gaya hidup saya terbilang konsumtif, terbilang cukup boros,” paparnya.
Meskipun mengalami kecemasan, namun responden II cenderung berusaha santai dalam menghadapi kondisi tersebut. Namun bila kecemasan yang dialaminya suatu saat nanti menunjukan tingkat yang mengkhawatirkan, ia mengaku tidak tahu harus mengadu ke mana.
Baca juga: Konten Kreator, Rentan Jadi Korban, Mau Lapor Takut Percuma
Tertekan karena pekerjaan dan studi
Hasil survei sampel Persepsi Kesehatan Mental di Kalangan Generasi Z yang dilakukan yang dilakukan Bincang Perempuan periode September hingga Oktober 2024, menunjukan hasil yang cukup signifikan. Ada 103 orang responden mahasiswa di lingkungan FISIP Unib yang terlibat dalam survei ini.
Ada delapan indikator yang digunakan dalam survei ini, yakni Tingkat stres dan kecemasan, Keseimbangan kehidupan dan kerja, Akses ke dukungan kesehatan mental dan Stigma dan persepsi sosial. Selain itu ada juga Pengaruh media sosial, Kesejahteraan emosional, Dukungan dari lingkungan dan Penggunaan teknologi dan kesehatan mental
Data tersebut memperlihatkan, hampir setengah dari mahasiswa yakni 42,5% mengalami stres atau kecemasan dalam seminggu. Ini menunjukkan adanya masalah serius terkait kesehatan mental mahasiswa.
Dari jumlah tersebut diketahui 75,7% penyebab utama stres adalah masalah pekerjaan dan studi. Hal ini menunjukan sebagian besar stres dan kecemasan berasal dari tuntutan akademik dan pekerjaan sampingan. Ini mengindikasikan adanya beban yang terlalu berat bagi mahasiswa.
Selain itu, hampir 37% mahasiswa tidak tahu harus mengadu kemana ketika merasa stres atau cemas. Ini menunjukkan adanya kekurangan dalam sistem dukungan yang ada bagi mahasiswa.
Data ini menjadi semacam alarm bagi institusi pendidikan untuk mengevaluasi kembali sistem pembelajaran yang ada. Apakah beban tugas sudah terlalu berat? Apakah ada cukup waktu untuk istirahat dan bersosialisasi? Apakah ada program yang mendukung kesehatan mental mahasiswa?
Berdampak dengan produktivitas mahasiswa
Psikolog Yunda Natalia mengungkapkan bahwa ia beberapa kali menerima konsultasi dari mahasiswa terkait masalah perkuliahan, pekerjaan, hingga kehidupan pribadi.
Menurut Yunda, kehidupan perkuliahan sering kali menjadi salah satu sumber stres dan kecemasan bagi mahasiswa. Hal ini, jelasnya, disebabkan karena banyak mahasiswa yang tidak memiliki alasan yang jelas saat memilih jurusan, sehingga menjalani perkuliahan tanpa arah yang pasti.
“Selain itu, pemilihan jurusan juga kerap ditentukan oleh orang tua, membuat mahasiswa merasa terpaksa dan kurang berminat terhadap jurusan yang dipilih, bahkan dalam beberapa kasus, ada yang memang tidak ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi,” terangnya.
Yunda mengatakan kondisi kecemasan dan stres yang dialami mahasiswa perlu dipantau melalui skrining agar dapat diketahui tingkat keparahannya, apakah tergolong ringan, sedang, atau berat. Karena stres dan kecemasan dapat mengganggu konsentrasi, mengganggu pola tidur, dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Jika kecemasan dan stres ini tidak ditangani dengan baik, produktivitas mahasiswa bisa menurun. Sebagai contoh, mahasiswa yang kurang motivasi mungkin datang terlambat ke kelas atau tidak serius dalam menjalani kuliah.
“Kondisi ini tidak bisa terus dibiarkan, karena kecemasan dan stres dapat berkembang menjadi masalah yang lebih serius seperti depresi,” lanjutnya.
Yunda menambahkan, penting bagi mahasiswa untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi, perkuliahan, dan aspek lain dalam hidup, agar tidak menjadi “generasi stroberi” (istilah yang menggambarkan generasi yang mudah rapuh,red).
Ia mengingatkan bahwa paparan media sosial yang berlebihan dapat membuat mental mahasiswa menjadi lemah. Oleh karena itu, mahasiswa perlu bijak dalam menggunakan media sosial dan memiliki tujuan hidup yang jelas.
Sebagai upaya untuk mengurangi kecemasan dan stres, Yunda menyarankan perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan mengurangi stigma terkait masalah kesehatan mental.
“Adanya program edukasi di kalangan mahasiswa, termasuk mahasiswa juga bisa memilih untuk melakukan skrining jika merasa perlu,” katanya.
Baca juga: Tiga Periode Pemilihan, Afirmasi Politik Perempuan di Bengkulu Tak Kunjung Terpenuhi
Dukungan institusi pendidikan
Sementara itu, terpisah Wakil Dekan III, FISIP Unib, Mas Agus Firmansyah menyampaikan dukungan institusi pendidikan terhadap kesehatan mental mahasiswa saat ini jauh lebih kondusif.
Menurutnya, kebijakan dari pusat terkait kondisi psikologis mahasiswa sudah cukup memadai. Salah satu buktinya adalah pembentukan satgas khusus yang menangani kekerasan dan gangguan mental di lingkungan kampus.
“Hal ini tentu berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang belum memiliki satgas keamanan seperti sekarang. Selain itu, satgas ini juga didukung dengan berbagai peraturan dan kebijakan yang berpihak pada perlindungan kesehatan mental mahasiswa,” pungkasnya.