Wabilia Husnah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Angga Sisca Rahadian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Pemberian ASI memberikan banyak manfaat, tidak hanya pada aspek kesehatan, tetapi juga aspek ekonomi. Studi yang dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu poin persentase dalam tingkat pemberian ASI eksklusif, Sistem Kesehatan Nasional Spanyol dapat menghemat sebesar 5,6 juta euro atau setara Rp95 miliar.
Sayangnya, angka cakupan ASI eksklusif baik secara global maupun nasional belum cukup menggembirakan. Di Indonesia, hanya satu dari dua bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Ada sejumlah faktor penyebab belum maksimalnya angka cakupan ASI. Di Indonesia, salah satu faktor yang selama ini kurang mendapat perhatian adalah keterbatasan ruang menyusui di fasilitas publik maupun ruang-ruang perkantoran.
Kegiatan menyusui di ruang publik juga masih kerap menuai perdebatan. Hak perempuan untuk menyusui dan hak anak untuk mendapatkan ASI kemudian dibenturkan dengan norma-norma sosial seperti kesopanan dan ketabuan.
Memang, di satu sisi, perdebatan ini menandakan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya pemberian ASI untuk anak. Namun, di sisi lain, perdebatan semacam ini dapat membenturkan para perempuan atas pilihannya masing-masing. Ini kemudian memaksa perempuan memenuhi ekspektasi masyarakat.
Apa yang dapat dilakukan agar anak-anak tetap mendapatkan haknya, dan perempuan dapat menjalani pilihannya dengan leluasa?
Perbanyak ruang menyusui
Hasil studi terkait keberadaan ruang menyusui di perkantoran di Jakarta menunjukkan sangat kurangnya ruang menyusui di tempat bekerja. Bahkan, memerah ASI pun dilakukan di toilet, yang sudah pasti tidak higienis.
Studi tersebut juga menemukan bagaimana ibu menyusui diolok-olok ketika sedang memerah ASI di meja kerjanya. Alih-alih memperoleh dukungan, ibu menyusui justru lebih sering mendapat komentar negatif dari rekan kerja. Padahal ia tak punya pilihan lain karena kantornya tidak menyediakan fasilitas ruang menyusui.
Menyusui maupun memerah ASI di ruang publik, belum sepenuhnya dianggap sebagai sesuatu yang positif, bahkan sebaliknya. Meskipun sang ibu menggunakan apron (kain penutup bagian leher sampai perut) untuk menutupi payudaranya, ibu tetap mendapatkan pandangan negatif.
Keterbatasan ruang menyusui yang ada di fasilitas publik serta anggapan negatif dalam menyusui di ruang publik sudah tentu berdampak pada pemberian ASI. Bagaimana cakupan ASI akan melampaui target yang telah ditetapkan, apabila ibu menyusui dihadapkan pada situasi serba salah seperti itu?
Hilangkan stigma menyusui di ruang publik
Secara kultural, menyusui menjadi hal yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Visualisasi ini misalnya diperlihatkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) pada tahun 1980-an. KMS tersebut menampilkan foto seorang ibu yang tengah menyusui bayinya, tanpa sensor.
Berbagai penemuan benda prasejarah di Nusantara juga menunjukkan hal serupa. Misalnya, patung asli Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), berusia 14 abad bernama Sang Penenun. Patung tersebut berbentuk seorang ibu yang sedang menyusui anaknya.
Selain itu, ada juga beberapa arca ibu menyusui, seperti yang ditemukan di situs Megalitik Pasemah, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan dan di Pura Merantin, Nusa Penida, Bali. Ini artinya, nenek moyang orang Indonesia sudah menganggap menyusui sebagai sebuah pengalaman reproduksi yang lumrah dibawa ke ruang publik.
Namun belakangan, opini khalayak terpecah mengenai etis tidaknya menyusui di ruang publik. Pada November 2023 misalnya, konten menyusui di kanal YouTube influencer Denise Chariesta dicibir karena dianggap tidak senonoh.
Pada Desember 2023, perdebatan juga sempat mewarnai media sosial X (dulunya Twitter), setelah seorang ibu dengan akun @Denald mengunggah pandangannya tentang keharusan masyarakat untuk menormalisasi menyusui di tempat umum.
Pro-kontra seputar menyusui di ruang publik tidak hanya terjadi di Indonesia. Seorang ibu di Irlandia Utara, misalnya, sempat dipersekusi saat menyusui anaknya di sebuah restoran. Selain itu, sebuah foto Aliya Shagieva, anak perempuan Presiden Kyrgyztan, yang sedang menyusui anaknya sempat memicu polemik di media sosial di negaranya.
Perdebatan mengenai menyusui di ruang publik tidak terlepas dari faktor sosial. Dalam norma sosial, tubuh perempuan ditempatkan sebagai objek seksual. Payudara hanya dilihat dalam kerangka fungsi seksualnya. Hal ini semakin kuat dengan adanya norma agama dan budaya, sehingga proses menyusui di ruang publik makin tidak bisa diterima.
Pandangan ini jelas berbenturan dengan anggapan bahwa menyusui merupakan proses alamiah untuk memberi makan pada bayi.
Terlepas dari perselisihan yang ada, bagaimana pun perempuan yang sedang menyusui hendaknya tidak mendapatkan stigma buruk. Reaksi-reaksi negatif dari sekitar yang diterima ibu ketika menyusui di ruang publik membuat ibu kapok menyusui di ruang publik, sehingga memilih untuk memberikan susu formula untuk bayinya. Bahkan lebih ekstremnya lagi, sampai memutuskan untuk berhenti menyusui.
Pentingnya pembenahan
Setiap ibu memiliki preferensi masing-masing terkait di mana dan bagaimana ia akan menyusui, tanpa dibenturkan dengan pro-kontra dari lingkungannya.
Bagi ibu yang lebih nyaman menyusui di tempat tertutup, ruang laktasi bisa menjadi pilihan. Untuk memastikan kebutuhan mereka terpenuhi, pemerintah serta swasta harus turun tangan memastikan ketersediaan ruang laktasi yang mudah diakses.
Di lain pihak, ibu yang memilih untuk menyusui di ruang publik secara terbuka pun tidak boleh mendapatkan sentimen negatif.
Membuat masyarakat sadar untuk tidak menyerang ibu menyusui, misalnya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan kampanye mengenai pentingnya ASI, atau kampanye yang mendukung pemberian ASI di ruang publik.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan pendidikan seksualitas sedini mungkin. Pendidikan seksualitas akan membuat masyarakat di masa depan sadar untuk tidak memandang tubuh perempuan sebagai objek seksual.
Menyusui erat kaitannya dengan kondisi psikologis sang ibu. Yang terpenting adalah menciptakan ruang aman dan nyaman bagi ibu, agar proses menyusui dapat berjalan optimal.
Wabilia Husnah, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Angga Sisca Rahadian, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.