Home » Opini » Seandainya Aku Menjadi Pemimpin

Seandainya Aku Menjadi Pemimpin

Bincang Perempuan

Opini

“Jika ada razia polisi hutan, dulu kami harus berlari. Dengan bermitra, kami tidak perlu,” kenang Meiliani, warga Desa Sumber Bening, Kecamatan Selupu Rejang,Kabupaten Rejang Lebong.

DISKUSI : Sharring bersama Meiliani dan rekan-rekan terkait pengajuan rencana kemitraan dalam pengelolaan hutan.

Matanya menatap jauh. Sejauh ia mengenang kejadian beberapa tahun lalu. Saat masih harus “kucing-kucingan” dengan polisi hutan. Meiliani hanya satu dari perempuan yang terpaksa menggarap lahan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Tak ada pilihan. Ia dan keluarganya harus tetap bertahan.

Hati ini meringis mendengarkan kisah Meiliani. Tambah teriris, saat salah satu dari rekannya mengatakan ia terpaksa berlari dalam kondisi hamil. Mereka tahu mereka salah. “Tapi kami tak punya lahan untuk berladang,” tuturnya.

Seandainya aku menjadi pemimpin, apa yang akan aku lakukan untuk Indonesia ? Aku akan mendorong pemerintah di tingkat daerah agar memberikan dukungan pada perempuan. Dukungan dalam bentuk kebijakan anggaran sebagai upaya mendukung pengelolaan hutan oleh perempuan.  Termasuk dukungan non anggaran.

Kenapa harus perempuan ? Agar kisah Meiliani dan teman-teman tak perlu terulang.

MADING : Berbagi informasi melalui mading Jendela Perempuan Desa bersama anggota KPPL Desa Sumber Bening.

Pandemi Covid-19 menjadi momen yang tepat bagi pemerintah untuk memperioritaskan anggaran pembangunan pelestarian hutan, khususnya TNKS. Termasuk pemenuhan hak serta pemberdayaan perempuan desa sekitar hutan untuk membangun kesiapan perempuan menghadapi dampak perubahan iklim di Indonesia, dan ancaman krisis pangan sebagai pendekatan Build Back Better.  

Tidak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 tidak lepas dari persoalan rusaknya hutan, yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia. Jumlah hutan tropis selalu berkurang. Ini mendorong  terjadinya perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Termasuk meningkatkan angka kemiskinan. 

Dikutip dari interfaithrainforest.org, hilangnya habitat karena deforestasi hutan tropis juga menyebabkan meningkatnya persinggungan antara manusia dan satwa liar. Persinggungan ini meningkatkan kejadian penyakit zoonotik, yakni penularan penyakit dari hewan kepada manusia. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah hutan tropis yang hilang, ancaman terhadap kesehatan masyarakat akibat dari deforestasi semakin bertambah buruk pula.

Pembangunan mengabaikan hutan menjadi salah satu penyebab deforestasi. Mulai dari pembalakan liar, penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan maupun masyarakat. Termasuk ketidaktepatan praktik pertanian untuk memenuhi permintaan pangan dengan mengkonversi hutan baik isu pangan skala besar maupun kecil turut andil dalam deforestasi.

Berdasarkan SK Menhut No.420/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, luas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang membantang di Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat ini sekitar 1.389.510 hektare. Ada 4 ribu spesies tumbuhan, 370 spesies burung, dan 85 spesies mamalia yang hidup di TNKS. Di Provinsi Bengkulu, luas TNKS mencapai sekitar 340.000 hektar yang tersebar di empat kabupaten, yakni Lebong, Rejang Lebong, Mukomuko, dan Bengkulu Utara.

Sejak tahun 1990-an, pengaturan perhutanan sosial mulai berevolusi. Hingga tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mulai memberlakukan Perhutanan Sosial sebagai perwujudan dari Program Nawacita. Yakni membangun Indonesia dari pinggiran, melalui program Perhutanan Sosial. Yakni sebuah program nasional yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar, yaitu: lahan, kesempatan usaha dan sumberdaya manusia. Perhutanan Sosial juga menjadi benda legal untuk masyarakat disekitar kawasan hutan untuk mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektar.

KENANGAN : Mengabadikan kenangan bersama Ketua KPPL Maju Bersama, Rita Wati di area lahan kerjasama kemitraan konservasi.

Sayangnya ada praktik ketidakadilan gender yang terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan Negara tersebut. Seperti contohnya di Bengkulu, pemerintah masih menganggap perempuan tidak layak dan tidak punya hak dalam mengelola kawasan hutan Negara. Serta perempuan masih dipandang sebagai pihak yang tidak perlu mengelola hutan dan tidak memiliki pengetahuan.

Padahal di Desa Pal VIII Kecamatan Bermani Ulu Raya (BUR) Kabupaten Rejang Lebong ada Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama. Kelompok yang terbentuk atas dasar kesadaran masing-masing akan pentingnya keberadaan TNKS sebagai sumber kehidupan, penghidupan dan pengetahuan bagi perempuan. Kelompok ini kenyataanya sejak tahun 2017 mampu mengelola hutan dikawasan TNKS tanpa merusak hutan. Sebaliknya perempuan-perempuan ini menjaga hutan tetap lestari sembari mencari sumber penghidupan dengan memanfaatkan kecombrang dan pakis.

Dalam pemanfaatannya, kecombrang dan pakis diolah menjadi minuman kesehatan yang dapat diminum sehari-hari serta dodol untuk menambah penghasilan rumah tangga. Memberikan dampak lapangan kerja yang baru yang rendah karbon bagi perempuan di kawasan TNKS, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga.   Kelompok perempuan ini layak menjadi role model dalam pengelolaan hutan pertanian ramah lingkungan dan harus mendapatkan dukungan. 

Lantas bagaimana dengan peran generasi muda?  Mengabarkan hal ini pada dunia, melalui tulisan ini. Bahwa perempuan layak untuk mendapatkan hak yang sama dalam pengelolaan hutan dunia. Memupus ketimpangan gender, menuju hidup yang lebih baik. (**)

*) Tulisan ini diikut sertakan dalam I Love Indonesia Blog Competition dengan Tema ” Seandainya aku menjadi pemimpin, apa yang akan aku lakukan untuk Indonesia” kerjasama Blogger Perempuan dan Golongan Hutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Tetap Menikmati Lezatnya Kuliner khas Negeri 

Rahim Perempuan Bukan Milik Negara

Catatan Akhir Tahun 2021

4 Comments

Leave a Comment