Suryati kerap mengelus dada.
Perempuan pedagang sayur di salah satu pasar Kota Bengkulu ini sabar setia menanti pencairan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Entah sampai kapan ia harus sabar.
Sejatinya BLT diperuntukan bagi pelaku Usaha Kecil Menengah Mikro atau UMKM. Lalu kenapa Suryati tak kunjung kebagian?
Alkisah sejak pendaftaran bantuan dibuka, ia sudah melengkapi berkas pengusulan. Bahkan sempat merogoh kocek Rp 35.000,- untuk pengurusan administrasi yang dilakukan kolektif. Ia tak paham prosedur pendaftaran dan segala tetek bengeknya. Cukup memberikan photocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan nomor handphone. Selebihnya temannya yang mengurus. Tinggal terima beres.
Walau sudah keluar uang pelicin, apa daya dana yang dinanti tak beres beres juga urusannya.
“Belum cair sampai saat ini mbak. Katanya sih bakal cair. Kalau yang lain, tidak mengajukan malah ada yang cair,” kata Tati, sapaan akrabnya.
Tati mengaku tak tahu persis berapa jumlah yang benar benar akan sampai ditangannya. Iya, ia paham bahwa menurut ketentuan pelaku UMKM akan menerima Rp 2,4 juta. Namun dalam realisasinya nanti ia mengaku bukan sejumlah itu yang dijanjikan akan diterima.
“Kalau cair kami terimanya Rp 1,5 juta. Bisa cair segitu saja sudah syukur,”katanya pasrah.
Lain Tati, lain pula Lia.
Ibu muda satu anak yang terpaksa kembali ke rumah orang tua sejak kematian suaminya beberapa tahun lalu. Adanya program bantuan UMKM semasa pandemi Covid-19 dijadikan Lia untuk menambah modal usaha. Ia pun mulai melengkapi berkas. Secara kolektif bersama rekannya yang lain.
“Kami tidak diminta apa-apa. Semua uangnya masuk ke rekening. Namun saat sudah cair, kami ikhlas memberikan Rp 100.000,- karena sudah dibantu. Masih ada yang belum cair juga,” kata Lia.
Lalu, ada lagi cerita dari Rike.
Rike, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Indonesia. Ia bukan pelaku usaha. Perempuan muda ini mengaku bingung tapi sekaligus senang. Ia bercerita di satu siang, sebuah pesan pendek masuk ke gawainya. Pesan itu mengatasnamakan salah satu bank pemerintah besar. Isinya meminta Rike melakukan validasi dan konfirmasi bahwa dirinya adalah penerima Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM). Jika tidak segera melakukan, maka bantuan tersebut akan dikembalikan ke Negara.
Beberapa hari sebelum pesan masuk, kepala dusun tempat ia berdomisili juga mengabarkan bahwa namanya keluar sebagai salah satu penerima bantuan. Saat itu Rike bingung. Pasalnya ia tak pernah sekalipun mengajukan permohonan bantuan. Memang ia memiliki rekening di bank pemerintah terkait, tapi tidak aktif. Saldonya pun minim….tak sampai Rp 100 ribu.
“Sampai saat ini belum sempat ke bank untuk mengurus. Masih sibuk kuliah online soalnya,” kata Rike.
Yani, adalah salah contoh cerita happy ending dari BLT.
Sehari hari ia berjualan Yakult keliling. Berbeda dengan Rike, ia memang mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan tunai. “Alhamdulilah terbantu dan digunakan untuk menambah modal jualan es tebu,”katanya riang.
Dalam proses pengajuan bantuan ia sama sekali tidak mengalami kesulitan. Pengajuan juga dilakukan bersama-sama rekannya. Yani sendiri adalah nasabah tetap dari lembaga keuangan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) Mekaar.
“Diajukan bersama. Dan tidak ada yang dipotong sama sekali. Malahan kami mau memberi “uang jajan” pada petugas yang membantu pengurusan, tapi mereka menolak.
**
Kisah kisah di atas adalah sekelumit potret penerima bantuan yang pemerintah gulirkan untuk UMKM semasa pandemi Covid-19. Bisa jadi kondisi diatas tidak hanya terjadi pada satu dua orang saja. Namun jamak terjadi di Provinsi Bengkulu. (**)
*) tulisan ini dibuat dalam rangkaian beasiswa Banking Editor Masterclass 2020 yang diselenggarakan Sekolah Jurnalisme AJI dan Commonwealth Bank.