Bincangperempuan.com- Feminisme adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang berfokus pada kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. Di Indonesia, gerakan feminisme memiliki sejarah panjang dan kaya, yang mencerminkan perjuangan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Sejarah ini dapat dibagi menjadi beberapa periode penting yang menunjukkan evolusi pemikiran feminis di Indonesia.
Periode Kolonial: Awal Kebangkitan Kesadaran Gender
Gerakan feminisme di Indonesia dapat ditelusuri kembali ke masa kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, perempuan Indonesia mulai menyadari perlunya pendidikan dan hak-hak yang setara. Di era kolonial diawali dengan hadirnya RA Kartini yang muncul diakhir abad ke 20 (tahun 1879-1904). Ikon feminisme Indonesia ini terkenal dengan surat-suratnya yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Kartini menyoroti berbagai isu, seperti pernikahan paksa, poligami, dan rendahnya akses pendidikan bagi perempuan. Gagasan-gagasannya menjadi inspirasi bagi generasi perempuan selanjutnya untuk terus berjuang.
Terlahir sebagai anak patih yang kemudian diangkat menjadi Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, Kartini tidak seberuntung saudara laki-lakinya yang mengenyam pendidikan di Universitas Leiden. Sebaliknya Kartini harus harus merelakan beasiswa untuk belajar kedokteran di Jepang karena pernikahan yang telah diatur oleh orang tuanya. Diusia 24 tahun Kartini harus merasakan getirnya poligami dengan menikahi Raden Adipati Joyodiningrat yang merupakan Bupati Rembang, sebagai istri keempat.
Pada tahun 1912, di tengah belenggu kolonialisme Belanda, sekelompok perempuan pribumi yang visioner mendirikan Poetri Mardika di Jakarta, diantaranya Kartini, Nyi Hajar Dewantara, dan para aktivis perempuan lainnya. Poetri Mardika menjadi organisasi perempuan pertama di Indonesia dengan tujuan memajukan pendidikan dan pemberdayaan perempuan pribumi.
Poetri Mardika mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan, seperti Sekolah Kartini dan Sekolah Putri Kesuma, dan mendorong perempuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu Poetri Mardika menyelenggarakan berbagai kegiatan, seperti seminar, diskusi, dan penerbitan majalah, untuk meningkatkan kesadaran perempuan tentang hak-hak mereka, kesehatan, dan berbagai isu sosial. Poetri Mardika membantu perempuan untuk mengembangkan keterampilan dan usaha ekonomi, seperti menjahit, membatik, dan berdagang, agar mereka dapat mandiri secara finansial.
Poetri Mardika memainkan peran penting dalam memicu gerakan perempuan di Indonesia. Organisasi ini menjadi inspirasi bagi berdirinya organisasi perempuan lainnya di berbagai daerah, seperti Aisyiyah di Yogyakarta yang berafiliasi dengan Muhammadyah dan Putri Sedar di Sumatera Barat.
Poetri Mardika juga aktif dalam berbagai kegiatan nasional, seperti Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta pada tahun 1928. Kongres ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan perempuan Indonesia, dan Poetri Mardika turut berkontribusi dalam merumuskan “Dasar-Dasar Pergerakan Perempuan Indonesia”, yang menuntut kesetaraan hak dalam berbagai bidang.
Di tahun yang sama, 1920 lahir juga Organisasi Sarekat Rakyat yang menyuarakan peningkatan upah dan kondisi kerja yang baik bagi kaum perempuan. Disusul kemudian oleh lahirnya organisai lainnya yang memperjuangkan perlunya pendidikan bagi kaum perempuan, menentang perkawinan anak-anak, permaduan serta perdagangan perempuan dan anak-anak.
Tahun 1928-1930 marak tumbuh berbagai organisasi perempuan. Pada tahun 1928 muncullah 30 organisasi, diantaranya Persatoean Perempuan Indonesea (PPI) yang menyuarakan reformasi pendidikan dan reformasi perkawinan. PPI kemudian Namanya diganti menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) yang menyuarakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Organisasi Istri Sedar (1930) masih tetap menyuarakan anti poligami dan perceraian. Organisasi perempuan berkembang pesat pada tahun 1930-an.
Selain Kartini, tokoh lain yang berperan penting adalah Dewi Sartika dan Maria Walanda Maramis. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan dengan tujuan memberikan akses pendidikan yang sama seperti laki-laki. Upaya ini merupakan langkah awal dalam membangun kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk mencapai kesetaraan gender.
Periode Kemerdekaan: Kontribusi Perempuan dalam Pembentukan Bangsa
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, peran perempuan dalam pembangunan bangsa semakin terlihat. Pada masa ini, banyak perempuan terlibat dalam politik dan pemerintahan. Salah satu tokoh penting adalah S.K. Trimurti, yang menjadi Menteri Perburuhan perempuan pertama di Indonesia. Trimurti aktif dalam memperjuangkan hak-hak pekerja, termasuk pekerja perempuan.
Pada tahun 1950-an, organisasi-organisasi perempuan seperti Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mulai bermunculan. Kowani menjadi wadah bagi berbagai organisasi perempuan untuk bersatu dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, termasuk hak politik, pendidikan, dan kesehatan. Gerakan ini semakin kuat dengan adanya Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948, yang menginspirasi perjuangan hak-hak perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Baca juga: Sebelum Membuang Pembalut, Ingat Hal Berikut Ini
Periode Orde Baru: Represi dan Kebangkitan Kembali
Pada masa Orde Baru (1966-1998), gerakan feminisme mengalami tantangan besar. Pemerintah Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, menerapkan kebijakan-kebijakan yang membatasi peran perempuan dalam politik dan masyarakat. Ideologi negara yang dikenal sebagai “Ibuisme Negara” mengarahkan perempuan untuk fokus pada peran domestik sebagai ibu dan istri, dan menekan partisipasi mereka dalam ranah publik.
Namun, meskipun mengalami tekanan, gerakan feminisme tetap bertahan dan beradaptasi. Pada tahun 1980-an dan 1990-an, muncul organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) yang fokus pada isu-isu perempuan, seperti Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Jurnal Perempuan. LSM ini memainkan peran penting dalam advokasi hak-hak perempuan, termasuk kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan hak-hak buruh perempuan.
Reformasi dan Era Modern: Kebangkitan Gerakan Perempuan
Reformasi tahun 1998 menandai titik balik dalam sejarah gerakan feminisme di Indonesia. Jatuhnya rezim Orde Baru membuka ruang bagi kebebasan berekspresi dan berorganisasi. Gerakan feminisme pun mengalami kebangkitan kembali dengan munculnya berbagai organisasi dan jaringan perempuan yang lebih beragam dan inklusif.
Salah satu momen penting pada era Reformasi adalah disahkannya Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) pada tahun 2004. UU ini merupakan hasil dari perjuangan panjang aktivis perempuan yang mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan. Selain itu, gerakan feminisme di Indonesia juga berhasil mendorong pengesahan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pada tahun 2008, serta berbagai kebijakan yang mendukung kesetaraan gender di berbagai sektor.
Baca juga: Stalking Gebetan, Bentuk Cinta atau Obsesif
Feminisme Kontemporer: Tantangan dan Harapan
Saat ini, gerakan feminisme di Indonesia terus berkembang dengan menghadapi tantangan dan harapan baru. Isu-isu seperti kekerasan berbasis gender, kesenjangan ekonomi, dan representasi politik masih menjadi fokus utama. Media sosial telah menjadi alat penting bagi feminis Indonesia untuk menyebarkan kesadaran dan mobilisasi massa. Kampanye-kampanye seperti #MeToo dan #GerakBersama menunjukkan bagaimana feminis Indonesia menggunakan platform digital untuk melawan kekerasan dan diskriminasi.
Selain itu, gerakan feminisme di Indonesia semakin inklusif dengan melibatkan berbagai kelompok yang sebelumnya terpinggirkan, seperti perempuan pedesaan, pekerja migran, dan komunitas LGBT+. Organisasi-organisasi seperti Perempuan Mahardhika, Solidaritas Perempuan, dan Aliansi Laki-Laki Baru menunjukkan bagaimana gerakan feminisme berusaha menciptakan solidaritas lintas kelompok dan memperjuangkan kesetaraan yang lebih luas.
Sejarah gerakan feminisme di Indonesia adalah sejarah perjuangan panjang yang penuh dengan tantangan dan kemenangan. Dari masa kolonial hingga era modern, perempuan Indonesia telah berjuang untuk hak-hak mereka dan mencapai kemajuan yang signifikan. Meskipun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, gerakan feminisme di Indonesia terus berkembang dan menunjukkan bahwa kesetaraan gender adalah tujuan yang dapat dicapai melalui kerja keras dan solidaritas. Gerakan feminisme di Indonesia bukan hanya tentang kesetaraan gender, tetapi juga tentang keadilan sosial, hak asasi manusia, dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.