Home » News » Selain Donatur dilarang Ngatur: Candaan Biasa atau Problematis?

Selain Donatur dilarang Ngatur: Candaan Biasa atau Problematis?

Ais Fahira

News

Selain Donatur dilarang Ngatur Candaan Biasa atau Problematis

Beberapa waktu lalu, seorang influencer terkenal, Michelle Halim (MH), menjadi perbincangan hangat. Dalam salah satu konten reels yang ia unggah, MH mengatakan: “cowok yang sinis dengan statement donatur dilarang ngatur, ya nganggur. Tercium bau kurang mampu dari 100 kilometer”. Konteks yang MH maksud dalam video tersebut adalah dirinya tidak ingin diatur oleh pasangan yang kurang secara materi.

Pernyataan ini pun langsung menuai beragam reaksi. Akun acjoo, salah satu kreator yang sering membahas isu-isu sosial di media, menyanggah pernyataan tersebut dan menyoroti bagaimana hubungan romantis seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek transaksional semata. Setelah itu, diskusi meluas: ada yang mendukung pernyataan MH, ada pula yang mengecamnya sebagai bentuk materialisme dan objektifikasi perempuan.

Lantas, apakah kalimat “selain donatur dilarang ngatur” hanya sebatas candaan atau justru mengandung masalah lebih dalam? Bagaimana kalimat ini berhubungan dengan kapitalisme, relasi kuasa, serta objektifikasi perempuan dalam hubungan romantis?

Baca juga: Pernikahan Bukan Sekadar Objek: Menyikapi Tren Unboxing Pengantin

Perempuan dan Saran yang Tak Diminta

Kalimat “selain donatur dilarang ngatur” sebenarnya bukan hal baru. Di luar konteks hubungan romantis, frasa ini sering digunakan untuk merespons orang-orang yang gemar memberikan saran tanpa diminta. Terutama perempuan, yang dalam masyarakat patriarkal kerap menjadi sasaran opini publik—mulai dari pilihan hidup, tubuh, hingga keputusan-keputusan personal lainnya.

Misalnya, Gitasav, seorang influencer yang sejak lama memilih untuk childfree, sering mendapatkan kritik dan saran yang tidak diminta. Keputusannya untuk tidak memiliki anak justru dianggap sebagai kampanye yang “menyesatkan”, padahal ia hanya menjawab pertanyaan dari pengikutnya. Kasus ini menunjukkan bagaimana masyarakat kerap merasa terganggu ketika perempuan mengambil otoritas atas tubuh dan hidupnya sendiri.

Tidak hanya dalam urusan reproduksi, keputusan perempuan dalam karier, gaya berpakaian, dan bahkan kebiasaan sehari-hari pun sering dipermasalahkan. Perempuan yang memilih untuk bekerja dianggap kurang peduli dengan keluarga, sementara yang menjadi ibu rumah tangga dianggap kurang produktif. Perempuan yang berpakaian tertutup dicap kolot, sedangkan yang berpakaian terbuka dianggap tidak bermoral. Standar ini terus direproduksi dalam budaya patriarkal yang menganggap perempuan sebagai objek yang harus selalu sesuai dengan ekspektasi sosial.

Namun, apakah kalimat “selain donatur dilarang ngatur” bisa dibenarkan dalam konteks ini?

Kapitalisme dalam Relasi Romantis

Jika kita melihat lebih dalam, konsep hubungan yang berbasis transaksi materi tidak muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh sistem ekonomi dan budaya populer yang kita anut hari ini.

Di era kapitalisme, banyak aspek kehidupan, termasuk hubungan romantis, semakin dikomodifikasi. Standar kebahagiaan dalam hubungan sering dikaitkan dengan kekayaan dan stabilitas finansial. Di media sosial, kita disuguhi gambaran bahwa pasangan ideal adalah yang bisa memberikan hadiah mahal, mengajak liburan ke luar negeri, atau memberikan “soft life” tanpa beban kerja.

Fenomena ini sebenarnya berakar dari konstruksi patriarki yang telah lama membentuk ekspektasi gender. Laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah utama, sementara perempuan diidentikkan dengan peran sebagai penerima dan pengelola sumber daya. Stereotip ini terus diperkuat oleh industri hiburan dan media, di mana perempuan “ideal” adalah yang bisa mendapatkan pasangan kaya, sementara laki-laki “ideal” adalah yang bisa memanjakan pasangannya dengan kemewahan.

Akibatnya, muncul mentalitas bahwa dalam hubungan, materi menjadi alat ukur utama untuk validasi dan kekuasaan. Orang yang lebih banyak berkontribusi secara finansial merasa lebih berhak untuk mengatur pasangannya, sedangkan yang tidak berkontribusi dianggap tidak memiliki suara. Inilah akar dari pemikiran di balik kalimat “selain donatur dilarang ngatur”.

Namun, apakah benar hubungan yang sehat harus selalu diukur dengan uang?

Baca juga: Thirst Trap Ekspresi Diri, Bukan Undangan untuk Melecehkan!

Cinta atau Transaksi?

Hubungan, baik romantis maupun pertemanan, memang memiliki unsur transaksi. Namun, transaksi tidak harus dalam bentuk materi. Kasih sayang, perhatian, dan waktu yang diberikan dalam sebuah hubungan juga merupakan bentuk kontribusi yang bernilai.

Jika cinta hanya diukur dari aspek finansial, maka makna hubungan itu sendiri bisa kehilangan esensinya. Hubungan menjadi seperti kontrak bisnis, siapa yang membayar lebih, dia yang berhak mengatur. Dalam sistem ini, relasi menjadi timpang dan rentan terhadap eksploitasi.

Lebih jauh, ketika perempuan hanya dinilai dari siapa yang bisa “mem-provide” mereka, maka hal ini justru memperkuat objektifikasi perempuan. Seakan-akan nilai seorang perempuan bergantung pada seberapa besar materi yang bisa ia dapatkan dari pasangannya, bukan dari dirinya sendiri sebagai individu yang berhak menentukan pilihannya.

Di sisi lain, narasi ini juga merugikan laki-laki. Laki-laki dipaksa untuk selalu menjadi provider utama, dan jika tidak mampu memenuhi standar ekonomi yang ditetapkan oleh kapitalisme, mereka dianggap gagal. Dalam jangka panjang, tuntutan ini bisa menyebabkan tekanan mental yang besar dan memperkuat ketidaksetaraan dalam hubungan.

Objektifikasi Perempuan dalam Narasi ‘Selain Donatur Dilarang Ngatur’

Jika kita telaah lebih jauh, kalimat ini juga menormalisasi pandangan bahwa perempuan bisa “dibeli” dengan uang. Seakan-akan, selama seseorang memiliki finansial yang cukup, maka ia berhak mengontrol keputusan dan kehidupan pasangannya. Padahal, perempuan memiliki otoritas atas tubuh dan pilihannya sendiri—dengan atau tanpa “donatur”.

Selain itu, gagasan bahwa perempuan hanya boleh diatur setelah menerima “kontribusi” materi juga bermasalah. Ini mengesankan bahwa otoritas perempuan atas dirinya sendiri bersifat kondisional, bukan hak dasar.

Jika kita membiarkan pola pikir ini terus berkembang, maka kita tanpa sadar ikut mereproduksi sistem yang membatasi kebebasan perempuan dalam mengambil keputusan. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memperkuat budaya ketimpangan gender di mana perempuan hanya dihargai berdasarkan akses mereka terhadap kekayaan laki-laki.

Lebih dari Sekadar Candaan

“Selain donatur dilarang ngatur” bukanlah sekadar lelucon yang bisa diabaikan. Narasi ini mencerminkan masalah yang lebih dalam tentang bagaimana kita memandang hubungan, kekuasaan, dan gender dalam masyarakat.

Ketika hubungan dipandang hanya dari aspek materi, kita kehilangan makna sebenarnya dari cinta dan kebersamaan. Hubungan sehat bukanlah soal siapa yang membayar lebih dan siapa yang berhak mengatur, tetapi tentang saling menghargai, mendukung, dan berbagi dalam berbagai aspek—baik materi, emosional, maupun intelektual.

Jadi, mari berhenti membatasi hubungan hanya dalam logika transaksi kapitalisme. Jangan kotak-kotakkan manusia berdasarkan siapa yang membayar dan siapa yang harus menurut. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Politisi Dunia dan Kebijakan Pronatalis

Praktisi Media Perempuan Ikut Ramaikan Local Media Summit 2022

Menjadi Perempuan Ambis dan Sukses? Ini yang Dapat Kamu Lakukan!

Leave a Comment