Home » Tokoh » “Selamat Malam Gaza”: Kematian Penyair Kesayangan Rakyat Palestina

“Selamat Malam Gaza”: Kematian Penyair Kesayangan Rakyat Palestina

Yuni Camelia Putri

Tokoh

Heba Abu Nada

Bincangperempuan.com-  Serangan Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu sudah menewaskan jutaan rakyat Palestina dan menciptakan kerusakan besar di wilayah tersebut. Serangan ini mendorong sebagian besar rakyat Palestina Utara memilih untuk mengungsi ke wilayah Selatan Palestina agar lebih aman dari serangan Israel. 

Sama halnya yang dilakukan penyair dan novelis Palestina Heba Abu Nada dan keluarganya, memilih untuk berlindung di rumah kerabatnya yang ada di Khan Yunis. Ironinya, wilayah Selatan Palestina juga turut mendapatkan serangan dari Israel dan menewaskan ribuan penduduk Palestina termasuk Heba Abu Nada.

Kehidupan Heba Abu Nada

Kematian Heba Abu Nada telah menjadi sorotan dunia. Banyak orang bertanya-tanya tentang kehidupan dan karyanya semasa hidup sehingga membuatnya selalu dikenang oleh rakyat Palestina dan dunia. Sebenarnya, siapa itu Heba Abu Nada? Heba Abu Nada merupakan novelis dan penyair perempuan asal Palestina yang lahir di Mekkah. Semasa hidupnya, ia dikenal sebagai perempuan tangguh dan kuat dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Dalam kesehariannya, Heba Abu Nada kerap menulis puisi dan kisah tentang perjuangan rakyat Palestina yang mengharapkan kehidupan yang damai di tanah mereka sendiri. Salah karyanya yang terkenal berjudul “Oxygen isn’t for the dead” yang menunjukkan pahitnya kehidupan rakyat Palestina dalam menjaga Al-Aqsa dan tanah mereka dari penjajahan Israel telah menerima penghargaan sharjah sebagai novel kedua terbaik di tahun 2017.

Baca juga : #MeToo, Dukungan untuk Penyintas Kekerasan Seksual

Selain berkecimpung di dunia seni, Heba Abu Nada dikenal seorang ahli gizi dan guru bagi anak-anak Palestina. Ia juga memimpin klub sains di Rasel Center for Gited Children dan sering membagikan kegiatannya dengan anak-anak yang diajarnya. Atas jasa dan dedikasinya terhadap rakyat Palestina, Heba Abu Nada dijuluki sebagai “putri Gaza”, “pejuang harapan”, dan “penulis istimewa” oleh dunia.

Kematian Heba Abu Nada bukti minimnya rasa kemanusiaan

Heba Abu Nada secara aktif membagikan tulisannya tentang kondisi Palestina melalui Platform X. Pada 8 Oktober 2023, ia sempat menuliskan tentang kondisi Palestina melalui cuitan yang berbunyi “Malam di Gaza gelap tanpa cahaya roket, sunyi tanpa suara bom, menakutkan selain kenyamanan sholat, hitam terlepas dari cahaya para syuhada. Selamat malam Gaza.”.

Anthony Anaxagorou selaku penyair, penulis, dan penerbit Siprus melaporkan bahwa kata-kata terakhir Abu Nada sebelum kematiannya berbunyi, “Kami menemukan diri kami dalam kondisi kebahagiaan yang tak terlukiskan di tengah-tengah kekacauan. Di tengah-tengah reruntuhan, sebuah kota baru muncul-sebuah bukti ketangguhan kami. Teriakan kesakitan bergema di udara, berbaur dengan pakaian dokter yang berlumuran darah. Para guru, terlepas dari keluhan mereka, memeluk murid-murid kecil mereka, sementara keluarga-keluarga menunjukkan kekuatan yang tak tergoyahkan dalam menghadapi kesulitan.”

Kematian Heba Abu Nada meninggalkan kesedihan mendalam bagi orang terdekatnya dan rakyat Palestina. Yasser Shahin selaku profesornya menyatakan duka terdalam atas kehilangan sosok “siswa yang hebat” dan penulis yang pernah berkolaborasi dengannya untuk film “Ayla”.

Selain itu, salah satu teman Heba Abu Nada membagikan tangkapan layar yang berisikan pesan dan harapan mendiang Heba Abu Nada yang mengungkapkan kebahagiannya karena pernikahan temannya dan akan segera meninggalkan Gaza. Heba mengatakan, “Saya berhadap saya bisa bepergian dan keluar dari penjara ini segera.”

Sehari sebelum kematiannya, Heba Abu Nada menuliskan kesedihan atas kematian teman-temannya dalam serangan Israel. “Daftar teman-temanku menyusut, dan berubah menjadi peti mati kecil, tersebar disini dan disana. Aku tidak bisa menangkap teman-temanku yang terbang mengejar misil…ini bukan sekadar nama, inilah kami, dengan wajah dan nama yang berbeda,” tulisnya.

Bagi rakyat Palestina, syair yang dirangkai oleh Heba Abu Nada semasa hidupnya merupakan penyemangat untuk memperjuangkan hak dan tanah mereka yang ingin dirampas oleh Israel. Kematiannya masih menyisakan kesedihan terdalam sekaligus bukti dari kekejaman Israel yang tidak pandang bulu. Rakyat Palestina seakan harus hidup dalam kenyataan bahwa mereka bisa saja tidak dapat membuka mata diesok hari atau kehilangan keluarga tanpa adanya peringatan terlebih dahulu. Korban-korban yang sebagian besar adalah anak-anak, perempuan, dan orang tua terus bertambah setiap harinya.

Baca juga: Perempuan Papua Merawat Tradisi Memakan Pinang

Kematian Heba Abu Nada menjadi pengingat dan tamparan keras bagi dunia untuk segera menghentikan serangan Israel di Palestina. Negara-negara yang memilih untuk bungkam dan tutup telinga harus menyadari betapa kecilnya harapan hidup rakyat Palestina ditanahnya sendiri. Konflik ini tidak lagi tentang agama, melainkan rasa kemanusiaan yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang.

Selain itu, kematian Heba Abu Nada dan rakyat Palestina lainnya menunjukkan kepada dunia bahwa konflik Israel-Palestina seharusnya menyoroti kebutuhan mendesak akan resolusi yang menghormati hak dan martabat semua pihak yang terlibat. Seluruh negara dituntut untuk memperbarui komitmennya terhadap keadilan dan perdamaian dunia sehingga tidak ada lagi bayang-bayang kekerasan dan penindasan.(**)

Sumber:

  • Abeer Ayyoub, 2023. “Israel-Palestine war: The beloved Gaza novelist killed after fleeing south”, dalam MIDDLE EAST EYE
  • Aqsa Younas Rana, 2023. “A Light Extinguished: Palestinian Poet Heba Abu Nada Killed in Israeli Airstrike”, dalam bnn
  • Online Desk, 2023. “’Good Night, Gaza’: Read the last words of poet Heba Kamal Abu Nada who was killed in Israeli airstrike”, dalam The New Indian Express

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan palestina, Heba Abu Nada

Artikel Lainnya

Sekolah Alam Mahira

Ummi Atik, Inisiator Sekolah Alam Mahira, Sekolah Ramah Disabilitas Pertama di Bengkulu

Enjellia: Keterbatasan Bukan Hambatan untuk Berjuang

Siti Syawaliyah, Wasit Perempuan Pertama di Aceh

Leave a Comment