Home » News » Perempuan Pekerja Seni, dan Beban Ganda yang Kerap Diabaikan 

Perempuan Pekerja Seni, dan Beban Ganda yang Kerap Diabaikan 

Yuni Camelia Putri

News

Beban ganda perempuan pekerja seni

Bincangperempuan.com- Perempuan yang bekerja di sektor seni rentan mengalami tantangan dan beban emosional berlapis karena kelas sosial dan gendernya. Risiko yang lebih tinggi dialami apabila perempuan tersebut bekerja di balik layar. 

Survei yang dilakukan oleh Koalisi Seni pada Juli 2021 menemukan bahwa perempuan pekerja seni rentan mengalami eksploitasi, upah yang rendah, diskriminasi dalam setahun terakhir karena tidak mendapatkan perlindungan dan pembekalan untuk meningkatkan kapasitas selama bekerja.

Kondisi ini justru berbanding terbalik dengan tingginya motivasi kerja perempuan di sektor seni dan kreatif. Motivasi kerja yang tinggi dan kondisi kerja yang tidak memadai dapat meningkatkan potensi eksploitasi dan pensiun dini bagi pekerja seni perempuan. 

Belum lagi mereka harus menghadapi kondisi kerja emosional yang lebih mengedepankan maskulinitas yang membuat mereka harus memikul beban emosional seperti perudungan, menjaga reputasi, dan menciptakan suasana kondusif selama bekerja.  

Baca juga : Jasa Rasminah Abadi Melampaui Zaman

Dampaknya, perempuan mengalami depresi, kelelahan fisik, dan paranoia dalam jangka panjang. Sayangnya, perusahaan atau tempat penyedia kerja tidak menyediakan asuransi kesehatan atau bentuk dukungan kesehatan lainnya sehingga mereka cenderung mengalami gangguan kesehatan ekstrem secara fisik dan mental.

Hal ini sejalan dengan eksploitasi para pekerja seni karena tiadanya ruang lingkup khusus atau kebijakan yang melindungi hak pekerja. Undang-undang ekonomi kreatif justru memaksa pekerja seni untuk menjelma menjadi pihak lain dan tak sepenuhnya mengakomodasi cara kerja dari pekerja seniman.

Perempuan pekerja seni hanya sebagai penunjang yang rentan mengalami kekerasan. Dalam lingkungan kerja, pekerja seni hanya dilindungi ketenagakerjaan umum tetapi kerap luput dari praktek perlindungan. Ironinya, perempuan pekerja seni justru mengalami dampak yang lebih serius seperti kekerasan dan diskriminasi.

Kartika Jahja, musisi dan aktivis seni, mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja yang muncul hanya sebagian kecil saja. Kekerasan yang diterima oleh perempuan yang bekerja di sektor seni justru dinormalisasikan oleh kalangan seni dan aparat hukum yang menyebabkan perempuan mengalami trauma jangka panjang. Kondisi ini seakan mengurung perempuan untuk tidak mendapatkan kebebasan untuk berkarya di ruang seni.

Di Indonesia, perempuan mengambil peran di balik layar untuk melestarikan seni budaya untuk terus bergerak dan berkembang. Perempuan ditempatkan sebagai kurator hingga manager di sektor seni dan kreatif. Sayangnya, perempuan kerap dimaknai sebagai penunjang dalam sektor seni. Hal ini membuat perempuan pekerja seni tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pengembangan seni di depan layar sehingga mereka rentan secara ekonomi. Faktor ini juga menjadi penyebab lain dari kekerasan gender yang diterima perempuan pekerja seni.

Sering dilupakan dalam kebijakan

Pekerja seni sering kali tidak dianggap dalam pembuatan kebijakan di Indonesia. Perempuan pekerja seni justru lebih diabaikan dalam kebijakan ketenangakerjaan yang berkaitan dengan manufaktur atau kerja formal. UU tentang pemajuan kebudayaan dan UU tentang ekonomi kreatif tidak mengatur hak-hak pekerja seni dan kreatif secara spesifik. Kondisi perempuan pekerja seni semakin memburuk karena bias gender, diskriminasi dan kekaburan relasi kerja yang terus meningkat.

Baca juga: Lazy Girl Job, Semestinya Bukanlah Kemewahan

Kebanyakan perempuan terjun langsung ke pekerjaan tanpa dibekali kemampuan khusus yang dapat meningkatkan kapasitasnya di tempat kerja. Selain itu, mereka tidak memiliki ruang khusus untuk menyampaikan aspirasi atau beban yang dimiliki selama bekerja. Belum lagi minimnya dukungan yang diterima oleh perempuan pekerja seni menjadikan mereka semakin terpuruk.

Pada beberapa kasus, mereka justru harus mengeluarkan uang pribadi untuk memenuhi perlengkapan selama bekerja. Hal ini karena mereka tidak mendapatkan bantuan dari perusahaan atau tempat penyedia kerja. Meskipun pekerja seni masuk kedalam undang-undang pasal 4 dan pasal 41 tentang pemajuan kebudayaan yang mendukung perlindungan hak-hak pekerja seni, perempuan pekerja seni kerap dilupakan selama kebijakan ini dilaksanakan. 

Padahal, perempuan pekerja seni merupakan bagian dari sumber daya manusia yang melestarikan kebudayaan. Meskipun perempuan berkontribusi besar dalam sektor seni, mereka masih belum sejahtera dan keberlangsungan pekerjaan masih sangat rentan.

Upaya pemerintah membantu perempuan pekerja seni

Perempuan pekerja seni bekerja secara emosional sehingga memiliki risiko fisik dan mental yang lebih besar dari pekerja lainnya. Untuk itu, pemerintah berkomitmen dalam memperkuat kesejahteraan perempuan pekerja seni dan kreatif dengan menciptakan kebijakan yang dapat menanggulangi risiko pekerja. Sebagai upaya pemerintah untuk membantu perempuan pekerja seni yang minim perlindungan, menghadapi ketimpangan upah hingga ketidakpastian selama berkarier.

Pemerintah terus berusaha untuk mengisi kebijakan dan hukum yang melindungi perempuan pekerja seni untuk menciptakan lingkungan kerja di sektor seni yang lebih aman. Selain itu, pemerintah telah menerapkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang industri kreatif untuk mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif di semua sektor.

Hal ini telah diterapkan oleh pemerintah melalui pasal 10 dalam UU tentang Ekonomi Kreatif yang melindungi pelaku ekonomi kreatif. Melalui undang-undang ini, pemerintah berharap pekerja seni dapat lebih berkompeten sehingga meningkatkan peluang kerja dan sumber ekonomi yang lebih baik.

Apa yang sebaiknya harus dilakukan?

Untuk mengedepankan hak perempuan pekerja seni, Koalisi Seni memberikan rekomendasi untuk mendukung lingkungan kerja yang mendukung dan aman. Pertama, pemerintah menciptakan perlindungan terhadap hak-hak pekerja seni sebagai penguatan jaringan untuk melindungi hak-hak pekerja seni dan menanggulangi kekerasan berbasis gender melalui pengesahan RUU penghapusan kekerasan seksual. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pemantuan berkala tentang kebebasan dalam seni untuk mencegah kekerasan gender.

Kedua, pemberi kerja dapat menciptakan kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan gender di tempat kerja yang berpedoman dalam Surat Edaran Menteri SE.03/MEN/IV/2011 yang mencakup prosedur penanganan, pemantuan, dan pengaduan terhadap kekerasan. Selain itu pemberi kerja harus menciptakan lingkungan kerja yang demokratis, memberikan waktu istirahat yang cukup dan memberikan jaminan kesehatan mental dapat meningkatkan kesejahteraan perempuan pekerja seni.

Terakhir, pekerja seni dan serikat pekerja seni dapat bergabung dalam komunitas untuk memperkuat dan memperluas perlindungan perempuan pekerja seni.(**)

Sumber :

  • Ichwan Prasetyo, 2022. “Minim Perlindungan, Perempuan Pekerja Seni Tanggung Beban Lebih Berat”, dalam Koalisi Seni
  • Tim Koalisi Seni, 2021. “Pekerja Seni dan Kreatif Perempuan Dikepung Kerentanan”, dalam Koalisi Seni
  • Tim Koalisi Seni, 2021. “Pekerja Seni Perempuan Lebih Terbebani Kerja Emosional”, dalam Koalisi Seni

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

gerakan perempuan, koalisi seni, perempuan pekerja seni

Artikel Lainnya

Apa Itu Penyusunan Anggaran yang Responsif Gender?

Perempuan Generasi Z: Antara Dorongan dan Beban Ganda

Buka Akses Informasi Antisipasi Dampak Covid 19 Bagi Perempuan di 10 Desa Penyangga Situs Warisan Dunia

Leave a Comment