Menitipkan anak di Taman Penitipan Anak (TPA) bisa menjadi solusi sekaligus bencana bagi orang tua pekerja di wilayah Jabodetabek. Bencana saat harus menitipkan anak dengan biaya bulanan mendekati upah minimum kota.
Hania Latifa, Politeknik Negeri Media Kreatif, Jakarta
“Mengakses TPA? Kita nitip anak kan bayar, buat orang yang punya pekerjaan tetap mungkin mampu. Nah kalau kita nggak mungkin. Buat kebutuhan primer keluarga saja sulit,” cerita Endang Kurniawan (38).
Endang, pekerja infomal yang tinggal di Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur. Di rumah, istrinya yang menjadi kepala rumah tangga. Bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) membuat istrinya dominan menyokong kebutuhan primer keluarga. Istri Endang bekerja 6 hari dalam sepekan. Pergi selepas Subuh, dan pulang setelah azan Magrib.
Praktis, Endang yang menjaga dan menyiapkan kebutuhan 3 orang anaknya. Anak pertama dan kedua sudah sekolah. Si bungsu, baru umur 3 tahun Endang bawa bekerja. Endang bekerja tidak tetap sebagai sopir elf jurusan Rawamangun- Cileungsi. Semenjak ada bis rute Cibubur, penumpangnya jadi sepi. Endang jadi kesulitan narik.
“Penghasilan utama dari istri, Rp2 juta per bulan, dipotong kontrakan Rp500 ribu, sisanya Rp1,5 juta, habis untuk beli susu si kecil dan perlengkapan sekolah anak. Itu aja kurang, buat memenuhi kebutuhan kita berlima. Ada tambahan dari mengumpulkan barang bekas, tapi kan itu untuk bayar cicilan motor,” imbuhnya.
Ia sadar, mengasuh anak sambil bekerja bukan keputusan yang bijak. Apalagi ia sopir elf. Setiap hari mengukur jalanan berdebu. Tapi, kondisi ekonomi keluarga membuat Endang tidak ada pilihan. Untungnya para penumpang tidak keberatan, ketika melihat Endang membawa anaknya.
Belakangan, Endang mendaftarkan anaknya ke PAUD dekat rumah. Seminggu tiga kali ke sekolah. Setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. Endang cukup membayar Rp50 ribu sebulan. Untuk seragam membeli sendiri. Namun, ini tidak menyelesaikan masalah Endang, jam belajar di PAUD hanya sampai pukul 12.00 WIB. Selepas sesi belajar, Endang membawa si bungsu kembali mencari penumpang.
Lain lagi dengan cerita Ramadhani Dwi Santoso (33), seorang pekerja yang tinggal di Sukaraja, Bogor.
“Setiap pagi saya antar anak dulu ke daycare, habis itu berangkat kerja, di Jakarta Selatan,” katanya.
Jam masuk kerja yang fleksibel, membuat Ramadhani bisa mengantar anaknya dulu ke daycare, di Perumahan Taman Yasmin Sektor IV, Bogor. Biasanya, Ramadhani tiba di daycare sekitar pukul 07.30 WIB. Setelah itu, dengan menggunakan KRL Commuter Line, ia menuju tempat kerjanya di Kuningan, Jakarta Selatan.
Sudah lima bulan, sejak Mei 2022 lalu, ia dan istri mengakses layanan daycare untuk menitipkan putra mereka yang berusia hampir 4 tahun. Menyesuaikan dengan ritme pekerjaan istri, sebagai fotografer lepas, 11-15 kali dalam sebulan, Ramadhani mengalokasikan Rp1,8 juta. Jumlah tersebut sekitar 15% dari total pendapatan bersih ia bersama istri. Ia merasa anaknya lebih berkembang dengan menitipkan di daycare.
Baginya, biaya mengakses daycare harian cukup mahal bila dibandingkan dengan biaya daycare bulanan. Tapi tidak ada pilihan lain.
Di beberapa daycare seperti yang di area Depok cukup membayar Rp1,4 juta untuk sebulan. Namun, bagi ia dan istri yang belum mampu untuk membayar uang pangkal dan lain-lainnya (biaya lain yang terdapat di beberapa daycare apabila mengakses secara bulanan), jumlah tersebut dapat dikatakan murah.
“Kalau kami membatasi Rp1,8 juta, di mana pada umumnya kalau di tempat lain harga segitu sudah bisa full day untuk satu bulan. Tapi, karena sistemnya harian, biasanya dari nominal segitu ada kelebihan dan kami bisa gunakan di bulan berikutnya,” tuturnya.
Baca juga : Perempuan dan Anak Kelompok Paling Rentan Terdampak Buruknya Kualitas Udara
Puput Setia Palupi (36), ia dan suami sepakat menitipkan anak di daycare sejak usia 5 bulan. Hingga saat ini sudah berumur 5 tahun. Kurun waktu tersebut, Puput sudah berulang kali gonta-ganti daycare. Mulai dari daycare bulanan hingga harian.
Selama menggunakan layanan daycare, Puput tidak pernah mempersoalkan besaran biaya. Baginya persoalan biaya itu relatif, yang penting anaknya terjaga dengan aman. Saat anaknya masih berumur 5 bulan, biaya yang dikeluarkan Puput untuk membayar daycare bulanan Rp3 juta hingga Rp3,5 juta. Sekitar 20% dari total gaji bersih ia bersama suaminya.
Seiring bertambahnya usia anaknya, biaya yang Puput keluarkan menjadi lebih murah, kisaran Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Saat ini Puput mengakses daycare harian untuk anaknya. Setiap hari ia membayar Rp250 ribu untuk layanan daycare dari pukul 07.00 WIB sampai 17.00 WIB.
Endang, Ramadhani dan Puput, merupakan potret orang tua pekerja yang membutuhkan jasa Tempat Penitipan Anak (TPA). Memastikan anak terjaga saat orang tua tengah bekerja.
Membedah Biaya TPA Berbayar di Jabodetabek
Sebaran TPA milik pemerintah yang tidak merata di wilayah DKI Jakarta ini membuat sebagian orang tua memilih TPA swasta. Konsekuensinya, mereka harus membayar biaya bulanan yang besarannya hampir menyamai upah minimum di Jakarta, yakni Rp4,4 juta.
Besaran biaya itu belum termasuk komponen biaya sekali bayar (one-time payment), biaya bulanan (monthly), dan biaya tahunan (annually). Biaya sekali bayar meliputi administrasi pendaftaran dan uang pangkal yang dibayarkan sekali saat mendaftar awal.
Hasil penelusuran terbuka, diketahui Jakarta Utara menjadi daerah dengan rata-rata uang pangkal masuk daycare tertinggi di Jabodetabek, di atas Rp10 juta. Sementara Depok, daerah dengan uang pangkal terendah Rp2 juta. Daerah dengan rata-rata uang registrasi tertinggi adalah Jakarta Selatan Rp 3 juta, dan Bogor uang registrasinya paling murah Rp500 ribu.
Sementara untuk biaya bulanan atau SPP juga beragam nominalnya. Rata-rata SPP TPA swasta di wilayah Jabodetabek yang layanannya sembilan jam, 5 hari dalam sepekan itu berkisar antara Rp1.400.000 -Rp4.000.000 per bulan.
Jika semua komponen biaya tersebut diakumulasikan, maka total rata-rata biaya daycare untuk satu anak di Jabodetabek selama setahun bisa mencapai kisaran Rp62 juta, seperti di Jakarta Utara. Atau di Jakarta Selatan yang mencapai Rp58 juta. Untuk wilayah Depok nilainya Rp20,5 juta. Paling rendah di sekitaran DKI Jakarta.
Mampukah pekerja menjangkau TPA berbayar?
Bagi pekerja formal di wilayah Bekasi, Depok, dan Tangerang, rata-rata penghasilan bersih mereka berada di atas total biaya keseluruhan daycare untuk satu anak selama setahun. Seperti di Bekasi, rata-rata penghasilan setahun Rp51,8 juta, para orang tua yang bekerja di sektor formal Bekasi mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga mereka maupun mengakses TPA selama setahun, yang totalnya Rp48 juta.
Namun berkaca dari beragam komponen pembiayaan untuk menitipkan anak di TPA, dapat dipastikan kelas pekerja bakal dihadapkan pada pilihan sulit. Misalnya, ongkos TPA di kawasan Jakarta Utara yang mencapai Rp Rp61,8 juta setahun. Sementara total rata-rata gaji pekerja formal seperti buruh, karyawan, dan pegawai di Jakarta Utara Rp51,5 juta untuk setahun.
Kemudian, ditambah dengan pengeluaran per kapita atau biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama setahun, seperti salah satunya Jakarta Utara dengan nominal tertinggi mencapai Rp34,6 juta.
Baca juga : Mengandung dan Melahirkan: Dua Gambaran Kekuatan Perempuan
Total gaji pekerja, yang hanya mengandalkan satu orang bekerja, bisa habis hanya untuk menutupi biaya TPA setahun. Tidak ada lagi dana untuk kebutuhan sehari-hari, seperti cicilan atau uang sewa tempat tinggal, biaya makan, biaya transportasi, biaya kedaruratan, dan bayar asuransi maupun pajak.
Pun, jika pada akhirnya memilih untuk menitipkan anak di TPA, para orang tua yang bekerja di sektor formal juga harus memutar otak supaya mereka bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka tercukupi selagi dana mereka dipakai untuk menitipkan satu anak di TPA.
Lain di sektor formal, lain pula di sektor informal yang berstatus berusaha sendiri atau pekerja bebas. Rata-rata pendapatan bersih pekerja informal yang berada di wilayah Jabodetabek berada di bawah total biaya daycare untuk satu anak selama setahun.
Para orang tua pekerja di sektor informal sangat kesulitan, baik untuk mengakses TPA maupun memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Termasuk juga mereka yang terlihat mampu membayar biaya TPA selama setahun seperti Depok.
Merujuk pada data di atas, gaji pekerja informal setahun di Depok menyentuh angka Rp30,4 juta, terlihat masih sanggup memenuhi biaya TPA di Depok yang nominalnya Rp20,5 juta. Namun, setelah membayar TPA sisa gaji mereka selama setahun hanya Rp9,9 juta. Jumlah tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang mencapai Rp27,7 juta.
Seperti kasus Endang, dengan penghasilan utama dari istri sebesar Rp2 juta, maka dalam setahun total pendapatan keluarga Endang hanya Rp24 juta. Berdasarkan data di atas, pengeluaran per kapita konsumsi rumah tangga di Jakarta Timur mencapai Rp24,6 juta per tahun. Maka, seperti penuturan Endang sebelumnya, “Buat kebutuhan primer keluarga sendiri aja sulit, gimana mau akses TPA?”
Sama halnya dengan keterjangkauan gaji pekerja informal di Jabodetabek pada 2021. Mayoritas orang tua yang bekerja selain di Depok berkemungkinan besar mengalami kesulitan untuk menitipkan anak mereka di TPA berbayar.
Penitipan anak bebas biaya hanya ada di Jakarta
Bagi para pekerja yang memiliki anak keberadaan TPA merupakan kebutuhan penting. Namun, ketersediaan TPA yang layak dengan lokasi dan biaya terjangkau masih belum memadai. Ini menjadi tantangan besar buat para pekerja di wilayah Jabodetabek. Karena yang bebas biaya hanya di Jakarta, sementara mayoritas pekerja datang dari wilayah sekitarnya.
Berbekal pencarian dengan dengan menggunakan Google Maps dan membaca review-review yang ada, menjadi jalan ninja bagi Ramadhani dan Puput untuk memilih tempat penitipan anak. Cukup dengan mengetik kata kunci “daycare di Jakarta Selatan” di Google Maps, hitungan detik beragam pilihan bermunculan.
“Aku sih nyarinya gitu. Jadi nggak tahu kalau ada daycare atau TPA negeri. Bagi aku daycare yang menjadi prioritas adalah daycare yang jaraknya dekat dengan rumah atau kantor,” katanya.
Hasil penelusuran redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ketik Politeknik Negeri Media Kreatif, Jakarta, ada 197 daycare di wilayah Jabodetabek. Paling banyak berada di Bekasi dan Tangerang. Sementara di Jakarta Barat hanya ada 10 daycare. Dari jumlah tersebut ada 22 daycare dengan menggunakan nama TPA atau Taman Penitipan Anak. Sisanya 175 daycare milik swasta.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan, TPA sebagai bentuk layanan pendidikan anak usia dini (PAUD) non formal yang sudah dikembangkan sejak tahun 1963 oleh Departemen Sosial. Keberadaannya guna memenuhi kebutuhan pengasuhan, pembinaan, bimbingan, sosial anak balita selama anak tidak bersama orangtua.
Pemerintah menempatkan peran PAUD, termasuk TPA di dalamnya, sebagai layanan yang menyeluruh dan terintegrasi. Menyeluruh maksudnya, memperhatikan unsur tumbuh kembang anak. Sementara terintegrasi, agar semua lembaga TPA bisa bekerjasama dengan lembaga mitra dan instansi terkait.
Tidak ada perbedaan antara TPA dan daycare. Setidaknya begitu menurut Yostiana Bella, staf Bidang PAUD dan Pendidikan Masyarakat dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.Istilah daycare dipakai untuk menyebut TPA dalam bahasa Inggris. Sementara TPA untuk penyebutan dalam bahasa Indonesia.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memungut biaya untuk layanan TPA, PAUD, kelompok bermain, hingga taman kanak-kanak. “Semuanya gratis. Kecuali, jika ada biaya untuk kebutuhan pribadi si anak. Maksudnya, orang tua tetap membeli sendiri kebutuhan seperti pampers, susu, bekal sekolah anak, dan lain-lainnya,” jelasnya.
Harus Ada TPA di Tempat Kerja
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka, mengatakan kehadiran TPA harus dipahami sebagai bagian dari langkah baik untuk memperkuat produktivitas kerja. Serta memastikan tumbuh kembang anak tetap terpenuhi sebagai haknya sementara orang tua bekerja. TPA menjadi kebutuhan dasar yang harus disediakan instansi pemerintah, BUMN, dan perusahaan, khususnya yang banyak mempekerjakan perempuan atau orang tua pekerja.
“Persoalannya, terkadang sektor terkait beralasan penyelenggaraan TPA akan berdampak pada alokasi anggaran. Jika ada sebuah studi yang komprehensif memberikan gambaran bahwa TPA dapat membawa dampak positif baik bagi perkembangan pertumbuhan anak dan juga penguatan ekonomi perempuan dan kesejahteraan keluarga mungkin ini akan menjadi sebuah rekomendasi yang kuat agar pemerintah di tingkat pusat dan daerah, dapat bergerak lebih optimal,” paparnya.
Mike juga menambahkan perlu adanya aturan teknis yang menjadi acuan penyelenggaraan TPA yang sesuai standar dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
“Sehingga, baik seorang buruh perempuan yang berupah pas-pas-an juga bisa mengakses daycare yang aman untuk pengasuhan anaknya,” katanya.
Senada disampaikan Program Manager Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Zelda Lupsita mengatakan perusahaan perlu membuat kebijakan yang turut menunjang pengasuhan anak untuk para pekerja. Salah satunya dengan menghadirkan TPA di tempat kerja.
“Daycare suatu opsi, tapi kita harus bisa memberikan lebih banyak opsi semisal daycare kurang bisa untuk diakses. Misalnya, waktu kerja yang fleksibel, bisa ganti shift atau enggak kalau misalnya kesusahan cari pengasuh sementara untuk anaknya. Jadi, kewajiban dia di kantor terpenuhi, pengasuhan terhadap anaknya juga bisa terpenuhi,” jelas Zelda.
Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Rohika Kurniadi Sari, mengatakan kehadiran TPA gratis di tempat kerja untuk mendukung orang tua pekerja belum menjadi keharusan, karena TPA merupakan pendidikan anak usia dini jalur nonformal. Namun, saat ini Kemen PPPA mendorong setiap perusahaan untuk memiliki TPA sebagai bagian dari perlindungan perempuan di tempat kerja.
“Kebutuhan TPA masih menjadi opsi, belum menjadi wajib. Bukan seperti PAUD, ya. Kalau PAUD itu wajib di dalam program Kemendikbud, Satu Desa Satu PAUD. Tapi, nanti lewat KLA kita dorong. Karena yang kita dorong sebenarnya yang di Kemnaker itu,” katanya.
Kemen PPPA saat ini tengah menggencarkan pelaksanaan standardisasi daycare ramah anak sebagai respons usulan dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), terkait pengadaan tempat penitipan anak bagi anak-anak buruh dalam bentuk Surat Edaran Menteri PPPA Nomor 61 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Taman Pengasuhan Anak berbasis hak anak/ Daycare Ramah Anak bagi Pekerja di daerah.
Andai Kemen PPPA bisa mewujudkan TPA sebagai kewajiban bagi pengusaha. Tentu cerita-cerita pekerja seperti Endang, Ramadhani dan Puput tidak bakal berulang ke pekerja-pekerja lainnya.(**)
Karya ini merupakan hasil “Pelatihan Jurnalisme Data Investigasi 80 Jam untuk Mahasiswa” yang diselenggarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dengan dukungan USAID dan Internews. Karya ini melalui tahapan mengumpulkan data base dan dituangkan dalam kerangka masterfile. Berikut link database dan masterfile tersebut.
Jakarta timur alamat nya di mana ya bpak/ibu.. terimakasih