Bincangperempuan.com– Slut shaming merupakan salah satu bentuk kekerasan verbal yang seringkali diterima oleh perempuan. Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga sering terlihat di media, baik itu dalam film, sinetron, maupun di platform digital seperti media sosial. Tindakan ini tidak hanya berdampak pada harga diri korban, tetapi juga pada persepsi masyarakat terhadap perempuan secara keseluruhan.
Hal ini terjadi ketika seseorang, umumnya perempuan, dihakimi dan diberi label negatif karena dianggap berperilaku sensual, berpakaian terbuka, atau diduga memiliki kehidupan seksual yang “tidak pantas”.
Menurut Oxford Dictionaries, slut shaming adalah stigma atau label yang diberikan kepada seseorang karena dianggap memiliki perilaku yang sensual atau seksual, dengan tujuan untuk mempermalukan dan merendahkannya.
Fenomena ini umumnya diarahkan pada penampilan perempuan, mulai dari cara berpakaian hingga dugaan aktivitas seksual mereka. Tak jarang, perempuan yang menjadi korban merasa tidak berharga, malu, bahkan tertekan akibat tindakan ini. Slut shaming juga merupakan fenomena yang hampir terjadi di seluruh dunia, tidak terbatas pada budaya atau negara tertentu.
Baca juga: Obsesi Sensual pada Bra dan Payudara
Penyebab Terjadinya Slut Shaming
Slut shaming adalah fenomena yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari budaya hingga pengaruh media. Ada beberapa penyebab utama yang perlu dipahami agar bisa diatasi dengan tepat.
Salah satu faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya slut shaming adalah budaya patriarki yang masih kuat di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam sistem patriarki, perempuan sering kali dianggap sebagai makhluk yang harus menjaga moralitasnya, terutama dalam hal seksualitas. Mereka diharapkan menjaga kesucian, berpakaian “sopan”, dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tradisional.
Sebaliknya, perempuan yang mengekspresikan diri secara lebih bebas, terutama dalam hal penampilan atau kehidupan seksual, sering kali dianggap melanggar norma dan menjadi target slut shaming.
Selain itu masyarakat yang masih menganut norma-norma sosial yang kaku dan seksis juga menjadi faktor utama. Banyak kasus menunjukkan, perempuan yang berpakaian lebih terbuka atau berani dianggap “tidak bermoral” dan sering kali dihakimi secara negatif. Norma-norma ini mengikat perempuan pada standar tertentu yang menghalangi mereka untuk berekspresi secara bebas. Mereka yang melanggar norma ini langsung menjadi sasaran hinaan dan cemoohan, terutama dari lingkungan sosialnya.
Faktor lainnya adalah media, yang memiliki peran besar dalam memperkuat stereotip dan norma tentang perempuan. Di sinetron atau film, sering kali ada adegan di mana sesama perempuan saling menghina dengan kata-kata kasar, termasuk menghina penampilan fisik atau perilaku sensual. Adegan-adegan semacam ini dapat menormalisasi tindakan slut shaming di mata penonton, terutama remaja yang belum sepenuhnya mampu membedakan antara hiburan dan kenyataan. Selain itu, media sosial juga menjadi platform di mana tindakan slut shaming sering terjadi, dengan komentar-komentar negatif tentang penampilan atau perilaku perempuan yang dianggap “tidak pantas”.
Menjadi ironi dalam fenomena slut shaming adalah bahwa tindakan ini sering kali dilakukan oleh sesama perempuan. Hal ini terjadi karena internalisasi seksisme, di mana perempuan tanpa sadar mengadopsi nilai-nilai patriarki dan seksis yang sebenarnya merugikan mereka sendiri. Perempuan yang merendahkan sesama perempuan karena pilihan pakaian atau perilaku mereka sebenarnya hanya memperkuat sistem yang menindas mereka.
Baca juga: Sentimen Negatif, Ketika Ibu Tunggal Menikah Lagi
Dampak Slut Shaming pada Korban
Slut shaming tidak hanya menyakiti secara verbal, tetapi juga memiliki dampak psikologis dan emosional yang mendalam bagi korban. Beberapa dampak yang dirasakan oleh korban slut shaming antara lain
1. Merasa tidak berharga dan meragukan diri sendiri
Salah satu dampak paling umum dari slut shaming adalah hilangnya rasa percaya diri pada korban. Kritik terus-menerus terhadap penampilan atau perilaku mereka membuat korban merasa tidak berharga dan meragukan diri mereka sendiri. Mereka mulai mempertanyakan pilihan-pilihan mereka, bahkan yang sebenarnya adalah hak pribadi mereka. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menyebabkan masalah kepercayaan diri yang serius.
2. Perasaan malu dan stres berlebihan
Slut shaming sering kali membuat korban merasa sangat malu. Mereka merasa bahwa apa yang dilakukan dianggap tidak pantas oleh masyarakat dan mereka akhirnya malu dengan diri mereka sendiri. Rasa malu ini bisa semakin parah jika tindakan slut shaming dilakukan di hadapan banyak orang atau di ruang publik, seperti di media sosial. Tekanan psikologis ini bisa berkembang menjadi stres berlebihan yang memengaruhi kesejahteraan mental korban.
3. Penurunan kualitas hidup dan isolasi sosial
Korban slut shaming sering kali merasa tertekan dan takut untuk berekspresi secara bebas. Mereka mungkin mulai menghindari interaksi sosial, merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitar, atau bahkan menarik diri dari pergaulan. Hal ini bisa berdampak negatif pada kualitas hidup mereka, termasuk dalam hubungan sosial dan profesional. Rasa takut akan dihakimi membuat korban merasa terisolasi dan enggan untuk terbuka dengan orang lain.
4. Gangguan kesehatan mental
Dalam kasus-kasus yang lebih ekstrem, korban slut shaming bisa mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi atau kecemasan. Tekanan sosial yang terus-menerus serta perasaan malu dan rendah diri bisa menyebabkan korban merasa putus asa dan tidak memiliki jalan keluar. Jika tidak ditangani dengan tepat, kondisi ini bisa berkembang menjadi masalah yang lebih serius dan memerlukan intervensi psikologis.
Tanda-tanda slut shaming
Dilansir dari Teen Vogue, ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa seseorang telah menjadi korban atau bahkan pelaku slut shaming. Beberapa tanda tersebut antara lain:
Merendahkan busana perempuan lain
Bentuk paling umum dari slut shaming adalah merendahkan busana perempuan lain. Misalnya, mengkritik perempuan yang mengenakan pakaian terbuka atau dianggap “terlalu seksi”. Kritik semacam ini sering kali datang tanpa mempertimbangkan alasan di balik pilihan pakaian tersebut dan hanya didasarkan pada anggapan pribadi yang seksis.
Asumsi perempuan berdandan hanya untuk menarik perhatian laki-laki
Banyak orang yang masih beranggapan bahwa perempuan berdandan atau mempercantik diri hanya untuk menarik perhatian laki-laki. Asumsi ini adalah bentuk lain dari slut shaming, karena mengabaikan hak perempuan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri sesuai dengan keinginan mereka, bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Menyalahkan perempuan dalam kasus revenge porn
Revenge porn adalah tindakan menyebarkan foto atau video pribadi seseorang tanpa izin mereka, sering kali dengan tujuan mempermalukan korban. Kerap dijumpai korban revenge porn justru disalahkan atas tindakan tersebut, dengan alasan bahwa mereka seharusnya tidak mengambil foto atau video tersebut sejak awal. Ini adalah bentuk lain dari slut shaming yang sangat merugikan perempuan, karena menyalahkan korban atas kejahatan yang dilakukan terhadap mereka.
Merendahkan perempuan yang terbuka tentang kehidupan seksual mereka
Perempuan yang secara terbuka membicarakan kehidupan seksual mereka sering kali menjadi sasaran kritik dan hinaan. Padahal, perempuan memiliki hak untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas, termasuk dalam hal kehidupan seksual mereka. Kritik semacam ini menunjukkan bahwa masyarakat masih belum bisa menerima perempuan yang memiliki kebebasan dalam hal seksualitas.
Mengajak perempuan berhubungan seksual secara tidak pantas
Salah satu bentuk kekerasan verbal yang sering terjadi di media sosial adalah mengajak perempuan berhubungan seksual secara tidak pantas, baik melalui chat pribadi maupun komentar di postingan mereka. Tindakan ini merendahkan perempuan dan memperlakukan mereka seolah-olah hanya bernilai dari sisi seksual mereka. Tanpa disadari, tindakan semacam ini termasuk dalam kategori slut shaming.
Cara mengatasi slut shaming
Untuk mengatasi fenomena slut shaming, dibutuhkan kesadaran kolektif dari masyarakat untuk menghormati hak perempuan dalam mengekspresikan diri mereka. Edukasi tentang pentingnya menghargai pilihan pribadi dan menghapus stigma negatif terhadap perempuan yang dianggap “berbeda” dari norma sosial sangat penting. Selain itu, media juga memiliki peran besar dalam mengubah cara perempuan direpresentasikan di layar, agar tidak lagi menjadi target objektifikasi dan hinaan.
Slut shaming adalah bentuk kekerasan verbal yang sangat merugikan perempuan. Tindakan ini tidak hanya melukai secara emosional, tetapi juga berdampak buruk pada kesehatan mental dan kesejahteraan sosial korban. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk bersama-sama mengakhiri budaya slut shaming dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif serta menghormati hak-hak perempuan dalam berekspresi sesuai dengan keinginan mereka.