Sebuah Catatan Kuratorial oleh Project Multatuli
Sering kali, musuh terbesar organisasi pers adalah pemiliknya sendiri. Di tengah kebingungan mencari model bisnis berkelanjutan di era digital, banyak media terpaksa berkompromi dengan pemilik modal yang menuntut laba tanpa peduli kualitas berita atau pelaku oligarki yang ingin mengamankan kepentingan bisnis dan politiknya sendiri.
Kerja-kerja jurnalisme pun kena imbasnya, dan kebebasan pers jadi seperti diskon di toko baju: syarat dan ketentuan berlaku. Tren ini tak hanya terjadi pada media arus utama nasional, tapi juga berbagai media daerah yang menggantungkan hidupnya pada pengusaha lokal ataupun kepala daerah yang sedang berkuasa. Demi keberlangsungan operasi, mereka kerap bersandar pada pemodal yang mengobok-obok ruang redaksi, yang ujungnya bikin mereka lupa bersetia pada publik.
Disrupsi digital pun mengobrak-abrik model bisnis dari iklan. Uang iklan untuk media telah jauh berkurang. Firewall, yang mestinya menjaga independensi redaksi, kini makin compang-camping. Alhasil, pengiklan besar bisa saja titip pesan ke redaksi untuk menyensor artikel. Bukan berarti tak ada harapan. Di tengah situasi pelik ini, muncul sejumlah media alternatif independen yang berani melawan tren itu. Mereka bukan bagian dari konglomerasi media nasional atau jaringan penyuplai berita untuk media mogul di Jakarta, serta berusaha keras tak terseret menjadi penyembah algoritma.
Mereka digerakkan tim mungil, dengan sumber pendanaan terbatas dan umumnya kolektif, tapi punya semangat menjalankan jurnalisme publik yang bebas dan kritis. Pembaca mereka relatif kecil, tapi loyal dan bahkan, pada tahap tertentu, bersedia terlibat dalam gerakan mengawasi kekuasaan dan menjaga demokrasi.
Project Multatuli ingin merayakan semangat itu; semangat gotong royong untuk memperjuangkan independensi pers, menjalankan jurnalisme publik, dan menjaga demokrasi. Karenanya, kami berkolaborasi dengan 11 media alternatif independen untuk mengadakan pameran “Small Newsrooms Do Big Work” di Erasmus Huis, Jakarta, pada 21 Mei 2022.
Dalam pameran ini, para kolaborator menampilkan karya-karya terpilih yang kami rasa penting untuk mendapat tempat dalam wacana publik dan menjangkau audiens lebih besar. Ada kisah bandar sabu asal Pidie, Aceh, yang tak jua kena ciduk polisi, ada cerita soal Tragedi Rabu Berdarah yang mengambil nyawa enam warga Manggarai, Nusa Tenggara Timur, ada kisah ibu yang berproses menerima anaknya yang gay, ada juga riset soal hak-hak pekerja rumah tangga.
Pameran ini mencoba menunjukkan, media kecil pun bisa mengambil langkah besar serta menerbitkan karyakarya yang berdampak nyata, khususnya bagi komunitas dan lingkungan hidup mereka. Pameran ini adalah bagian dari serangkaian acara perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2022 yang diinisiasi Project Multatuli dan didukung Kedutaan Besar Belanda dan Kanada dengan tema besar Dead Press Society: Small Newsrooms in Quest of Allies to Keep Democracy Alive.
Bila film Dead Poets Society (1989) mengajak penonton untuk “menghisap sumsum kehidupan” dan merayakan hidup sepenuhnya, Dead Press Society adalah satir untuk mereka yang mengira bahwa pers telah mati di tangan penguasa atau oligarki. Ia adalah pengingat bahwa kebebasan pers adalah mimpi yang belum dan harus selesai, dan ia ada di tangan kita sendiri untuk mewujudkannya.
Kolaborasi bincangperempuan.com, Betahita, Ekuatorial, Project Multatuli, Remotivi, Serat.id, BaleBengong.id, BandungBergerak.id, Floresa, Konde.co, Sinarpidie.co, SuaraKita. (**)