Home » News » Stigma Ungu: Warna Ibu Tunggal atau Kebebasan?

Stigma Ungu: Warna Ibu Tunggal atau Kebebasan?

Cindy Hiong

News

Stigma Ungu Warna Ibu Tunggal atau Kebebasan

Bincangperempuan.com-  Warna memiliki kekuatan untuk membangkitkan emosi dan mempengaruhi persepsi terhadap sesuatu. Setiap warna memiliki cerita dan makna yang erat kaitannya dengan sejarah dan budaya di berbagai belahan dunia.

Salah satu warna yang paling menarik perhatian adalah ungu atau purple. Kombinasi dari dua warna primer merah dan biru ini, sering kali dikaitkan dengan status perempuan di masyarakat, yakni ibu tunggal atau perempuan yang sudah tidak terikat pernikahan lagi.

Kenapa ini bisa terjadi? Mengapa ungu menjadi simbol bagi perempuan yang telah kehilangan pasangannya?

Nah, ada beberapa kemungkinan mengapa ungu disebut warna ibu tunggal atau single parents di Indonesia, BPer’s. Salah satunya pengaruh budaya. Di Thailand, warna ungu sering dikaitkan dengan kesedihan. Perempuan yang tengah berduka karena suaminya meninggal akan mengenakan pakaian berwarna ungu, sedangkan tamu undangan akan mengenakan pakaian berwarna hitam. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama dan masih dipraktikkan hingga saat ini.

Ada pula yang menggunakan warna ungu sebagai penanda. Untuk membedakan perempuan tanpa pasangan dengan perempuan yang masih menikah. Hal ini terjadi karena di masa lampau perempuan yang  tidak memiliki pasangan kerap dipandang sebagai kelompok yang berbeda dan terpinggirkan. Persepsi ini terus berkembang dan menjadi stereotip yang mengaitkan ungu dengan ibu tunggal.

Selain itu, beberapa film-film di televisi juga sering menggunakan ungu sebagai pilihan untuk menggambarkan karakter ibu tunggal atau perempuan yang sedang berduka. Contohnya adalah kostum ungu yang sering dikenakan oleh tokoh-tokoh seperti Violet dalam “Downton Abbey” atau karakter Miranda dalam “Sex and the City”. Pemilihan warna ini mungkin hanya sebagai pilihan artistik, namun memiliki dampak psikologis yang signifikan pada penonton.

Baca juga: Mengatasi Emotional Baggage: Menjadi Perempuan Bahagia

Sejarah dan simbolisme ungu

Warna ungu telah dikenal dan digunakan sejak zaman dahulu. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa ungu digunakan sebagai pewarna tekstil, kosmetik, dan seni rupa di berbagai budaya di seluruh dunia. Pewarna ungu sangat langka dan mahal sehingga hanya bisa diakses oleh golongan bangsawan dan spiritualis tertentu. Sehingga ungu pada zaman dahulu diasosiasikan dengan kekuasaan, kemewahan, dan kebangsawanan. Hanya orang-orang kaya dan berkuasa yang mampu membeli dan memakai pakaian berwarna ungu.

Salah satu sumber ungu tertua adalah dari siput laut Murex yang ditemukan di Laut Mediterania. Cairan dari siput ini diekstrak dan diolah menjadi pewarna ungu yang sangat mahal dan berharga.

Di Mesir Kuno, ungu adalah warna para firaun dan dewa-dewi. Cleopatra, ratu Mesir yang terkenal, sering digambarkan memakai pakaian berwarna ungu. Di Romawi Kuno, ungu juga merupakan warna kaisar dan bangsawan. Warna ini digunakan dalam upacara-upacara resmi dan keagamaan.

Selama abad pertengahan, ungu juga dikaitkan dengan Gereja Katolik dan digunakan dalam pakaian para uskup dan kardinal. Dalam Kekristenan, ungu sering dikaitkan dengan kebangsawanan dan spiritualitas yang tinggi.

Seiring berjalannya waktu, makna ungu mulai berevolusi. Ungu menjadi lebih mudah diakses dan tidak lagi hanya dipakai oleh orang kaya dan berkuasa. Warna ini mulai digunakan oleh orang-orang dari berbagai kelas sosial.

Hingga pada abad ke-19, ungu menjadi simbol gerakan feminis, terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Warna ini diadopsi sebagai lambang perjuangan untuk hak-hak perempuan, yang menandakan kebebasan dan kesetaraan. Gerakan ini mengeksplorasi kembali makna ungu dari simbol kebangsawanan menjadi simbol kebebasan individu.

Baca juga: BKKBN: 57% Ibu di Indonesia Alami Gejala Baby Blues

Persepsi psikologi

Psikologi warna menunjukkan bahwa warna ungu dapat menggambarkan kekuatan, misteri, dan keanggunan. Di sisi lain, ungu juga dapat dikaitkan dengan hal-hal yang lebih gelap seperti kesedihan atau kesendirian. Kombinasi dari makna-makna ini, ditambah dengan representasi yang sering kali di media, dapat membentuk asosiasi kuat di benak masyarakat.

Namun, perlu dicatat bahwa persepsi dan asosiasi warna dapat berubah seiring waktu. Apa yang dianggap sebagai stigma hari ini mungkin tidak lagi relevan di masa depan. Masyarakat dapat memilih untuk menafsirkan dan menggunakan warna dengan cara yang berbeda, sehingga ungu lepas dari stigma yang mungkin melekat padanya saat ini. Memahami konteks dan evolusi simbolisme warna, dapat mengubah persepsi yang ada.

Selain itu, merayakan keanekaragaman preferensi warna juga penting. Setiap individu memiliki hubungan pribadi dengan warna-warna tertentu berdasarkan pengalaman hidup mereka. Membiarkan setiap orang mengekspresikan diri mereka melalui warna favorit mereka adalah langkah pertama dalam mewujudkan inklusi dan penghargaan terhadap perbedaan.

Ingat, warna-warna tidak memiliki makna inheren, maknanya dibentuk oleh budaya, sejarah, dan pengalaman kolektif masyarakat. Sementara stigma mungkin bertahan untuk sementara waktu, Bper’s tentunya memiliki kekuatan untuk mengubahnya dengan pendekatan yang inklusif dan edukatif.

Mari melihat ungu bukan hanya sebagai warna, tetapi sebagai kanvas yang memungkinkan setiap diri BPer’s  dapat mengekspresikan keindahan dan kompleksitas hidup. Setiap kali BPer’s melihat ungu, mari mengingatnya sebagai warna kebebasan, kreativitas, dan penghormatan terhadap keanekaragaman manusia.

Sumber :

  • https://www.hunterlab.com/blog/color-measurement-history
  • https://www.colorpsychology.org/purple/ (Verywell Mind)
  • https://www.artsandcollections.com/a-history-of-the-colour-purple/ (Arts & Collections)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Cerdas Memilih dan Menggunakan Kosmetika Aman

Perempuan dan Beban Kontrasepsi

Bagaimana Perempuan Indonesia Menjalani Masa Menopause?

Leave a Comment