Home » News » Stigmatisasi dan Stereotip: Perempuan sebagai Penggosip

Stigmatisasi dan Stereotip: Perempuan sebagai Penggosip

Cindy Hiong

News

Bincangperempuan.com- Gosip telah menjadi bagian integral dari interaksi sosial manusia sepanjang sejarah. Gosip bisa dilihat sebagai alat untuk membangun ikatan sosial dan berbagi informasi, namun sering kali ada konotasi negatif yang melekat, terutama ketika dikaitkan dengan perempuan. Stigmatisasi dan stereotip perempuan sebagai penggosip tidak hanya mencerminkan pandangan patriarki yang kuno tetapi juga mempengaruhi persepsi dan perilaku masyarakat terhadap perempuan.

Gosip telah menjadi alat untuk bertahan hidup sejak zaman prasejarah.  Masyarakat Yunani Kuno mengandalkan omong kosong dan rumor untuk menentukan anggota masyarakat mana yang tidak dapat dipercaya. Demikian pula, pengadilan Athena mendasarkan keputusan mereka pada reputasi sosial terdakwa, bukan bukti nyata.

Namun, pada abad ke-21, kata “gosip” disertai dengan stigmatisasi yang berbahaya terhadap perempuan. Propaganda misoginis telah menambahkan konotasi yang salah pada suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi kepercayaan dan ikatan di antara teman-teman. Akibatnya, masyarakat akan terus percaya bahwa gosip hanyalah sekadar hiburan bagi perempuan yang suka bicara. 

Asal Muasal Gosip

Sejarah kata “gosip” lebih menarik daripada yang mungkin dipikirkan orang. Dilansir dari The Womens Network, menurut Word Histories, istilah tersebut berasal dari “godsibb”, yang menggabungkan kata benda “Tuhan” dan kata sifat “sib”. Arti aslinya mendefinisikan “godsibb” sebagai seseorang yang membentuk ikatan kedekatan spiritual dengan individu lain setelah bertindak sebagai sponsor pada saat pembaptisan mereka.

Oleh karena itu, apa yang dikenal sekarang sebagai wali baptis dulunya disebut sebagai godsibb dalam bahasa Inggris Kuno. Faktanya, gereja sering menggunakan kata tersebut karena dikaitkan dengan tindakan sakral pembaptisan. Misalnya, sumber-sumber seperti Glossophilia dan Medium melaporkan bahwa Santo Wulfstan, seorang uskup populer yang hidup dari sekitar tahun 1008 hingga 1905, memasukkan frasa tersebut ke dalam khotbah-khotbahnya. 

Definisi kata “gosip” telah mengalami beberapa perubahan selama berabad-abad terakhir. Word Histories menyatakan bahwa bertahun-tahun setelah pertama kali muncul, frasa tersebut digunakan untuk merujuk pada teman dan kenalan dekat. Kemudian, digunakan untuk merujuk pada teman-teman perempuan yang diundang untuk menyaksikan kelahiran anaknya. Shakespeare bahkan menggunakan kata tersebut dalam terbitannya tahun 1600, Midsummer Night’s Dream , di mana ia menulis, “Terkadang aku mengintai di tempat yang penuh gosip”. Tidak perlu dikatakan lagi, kata “gosip” telah ada lebih lama dari yang kita duga. 

Selain digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada wali baptis, kenalan, dan saksi kelahiran, gosip berfungsi sebagai tindakan yang digunakan individu untuk berkomunikasi secara pribadi satu sama lain. Seperti yang dijelaskan oleh Eat My News, orang-orang di zaman prasejarah menggunakan percakapan untuk mencari tahu lebih banyak tentang calon pasangan, bertemu dengan teman lama, dan mempelajari berita terbaru komunitas mereka.

Saat ini, gosip masih menghadirkan segudang manfaat. Menurut Health Shots, obrolan di antara teman-teman melepaskan hormon seperti serotonin dan oksitosin karena membantu menciptakan hubungan emosional. Melampiaskan kekesalan kepada orang-orang terkasih juga memungkinkan untuk meredakan perasaan cemas dan stres yang membebani. Selain itu, berbagi cerita pribadi tentang orang-orang yang telah menyakiti memancing perasaan empati dan pengertian dari orang lain. Gosip tidak pernah dimaksudkan untuk memiliki konotasi negatif, atau dilihat sebagai kebiasaan buruk wanita.

Menurut penelitian Dunbar (1996), gosip sebenarnya memiliki fungsi evolusioner yang penting dalam membangun ikatan kelompok dan menjaga kohesi sosial. Meskipun demikian, penelitian juga menunjukkan bahwa gosip sering kali lebih dikaitkan dengan perempuan daripada laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh norma sosial yang menganggap gosip sebagai perilaku yang tidak pantas bagi laki-laki, sedangkan perempuan dianggap lebih cenderung melakukannya karena stereotip yang mengakar.

Baca juga: Stigma Ungu: Warna Ibu Tunggal atau Kebebasan?

Stigmatisasi dan Dampak Negatif

Stigmatisasi perempuan sebagai penggosip memiliki dampak yang luas dan merugikan. Salah satu dampak utama adalah pembentukan citra negatif terhadap perempuan yang aktif dalam berbicara dan berbagi informasi. Label sebagai penggosip dapat merusak reputasi dan mengurangi kredibilitas mereka dalam lingkungan sosial dan profesional.

Perempuan yang distigmatisasi sebagai penggosip sering kali menghadapi tekanan sosial yang besar. Mereka mungkin merasa terisolasi dan kurang dihargai dalam komunitas mereka. Tekanan ini bisa menyebabkan perempuan enggan untuk berpartisipasi dalam diskusi dan percakapan, yang pada akhirnya membatasi kontribusi mereka dalam masyarakat.

Selain itu, stereotip ini juga memperkuat ketidaksetaraan gender. Ketika perempuan dilabeli sebagai penggosip, mereka sering kali tidak dianggap serius dalam percakapan yang penting atau berbasis pengetahuan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa perempuan kurang kompeten dibandingkan laki-laki, yang pada akhirnya memperkuat ketidaksetaraan gender di berbagai aspek kehidupan.

Perbedaan Persepsi Antara Gender

Stereotip bahwa perempuan lebih cenderung menjadi penggosip daripada laki-laki didukung oleh persepsi masyarakat yang bias. Sebuah penelitian oleh  McAndrew dan Milenkovic (2002) menemukan bahwa baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam gosip dengan frekuensi yang sama, tetapi perempuan lebih sering dilabeli sebagai penggosip. Hal ini menunjukkan adanya bias gender dalam persepsi tentang gosip.

Bias ini juga tercermin dalam media dan budaya populer. Perempuan sering kali digambarkan sebagai penggosip dalam film, acara TV, dan literatur. Representasi ini tidak hanya memperkuat stereotip negatif tetapi juga memengaruhi bagaimana masyarakat memandang perempuan dalam kehidupan nyata. Akibatnya, perempuan harus berjuang lebih keras untuk membuktikan kredibilitas dan kompetensi mereka dalam berbagai situasi.

Baca juga: Hak Pilih Perempuan ODGJ ‘Mengalah’ pada Stigma

Dampak Psikologis dan Upaya Mengatasi

Dampak psikologis dari stigmatisasi sebagai penggosip juga tidak bisa diabaikan. Perempuan yang distigmatisasi mungkin mengalami stres, kecemasan, dan depresi akibat tekanan sosial yang terus-menerus. Mereka mungkin merasa tidak nyaman untuk berbicara atau berbagi informasi, khawatir akan label negatif yang melekat pada mereka.

Penelitian oleh Foster (2004) menunjukkan bahwa stigma sosial dapat berdampak buruk pada kesejahteraan mental individu. Ketika perempuan merasa bahwa mereka selalu diawasi dan dinilai berdasarkan perilaku mereka, mereka mungkin mengalami penurunan rasa percaya diri dan harga diri. Ini bisa menghambat perkembangan pribadi dan profesional mereka.

Untuk mengatasi stereotip dan stigmatisasi perempuan sebagai penggosip, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan adil. Pendidikan dan kesadaran adalah kunci untuk mengubah pandangan masyarakat tentang gosip dan gender. Kampanye edukatif yang menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan jujur dapat membantu mengurangi stigma negatif.

Selain itu, media juga memiliki peran penting dalam mengubah representasi perempuan sebagai penggosip. Menghadirkan perempuan dalam peran yang positif dan menginspirasi, serta mengurangi stereotip negatif dalam konten media, dapat membantu mengubah persepsi masyarakat.

Organisasi dan komunitas juga bisa memainkan peran dalam mendukung perempuan yang merasa distigmatisasi. Membangun lingkungan yang inklusif dan mendukung, di mana perempuan bisa berbicara tanpa takut akan label negatif, sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dukungan psikologis dan emosional bagi perempuan yang mengalami stigmatisasi juga sangat penting untuk membantu mereka pulih dari dampak negatifnya.

Referensi:

  • Dunbar, R. I. M. (1996). Gossip, Grooming, and the Evolution of Language. Harvard University Press.
  • McAndrew, F. T., & Milenkovic, M. A. (2002). Of Tabloids and Family Secrets: The Evolutionary Psychology of Gossip. Journal of Applied Social Psychology, 32(5), 1064-1082
  • Foster, E. K. (2004). Research on Gossip: Taxonomy, Methods, and Future Directions. Review of General Psychology, 8(2), 78-99.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Konflik HGU dan Suara Perempuan Petani di Bengkulu

Konflik HGU dan Suara Perempuan Petani di Bengkulu

Dini Mudrika, Inisiasi Bengkulu Begerak, Kumpulkan Donasi untuk Bantu Sesama

Pemenuhan Hak Perempuan dalam Bencana

Pemenuhan Hak Perempuan dalam Situasi Bencana Masih Belum Ideal

Leave a Comment