Home » News » Tanggap Gender dalam Bencana, Konflik Sosial, dan Radikalisasi

Tanggap Gender dalam Bencana, Konflik Sosial, dan Radikalisasi

Cindy Hiong

News

Tanggap Gender dalam Bencana, Konflik Sosial, dan Radikalisasi

Bincangperempuan.com- Tsunami Aceh 2004 merupakan salah satu contoh yang menunjukkan adanya risiko saling terkait antara bencana alam dan konflik sosial yang mengakibatkan kesenjangan dan konflik sosial. Dampaknya secara tidak proporsional dirasakan oleh kelompok yang paling rentan, terutama perempuan yang sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya dan proses pengambilan keputusan. 

Sehingga kesiapsiagaan pemerintah yang tanggap gender dalam penanggulangan bencana dalam konteks multidimensi tersebut harus ada. Seperti disampaikan Country Representative Officer-in-Charge UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati Faiz.

Ia mengatakan UN Women mendukung Pemerintah Indonesia dalam menghadirkan pendekatan terpadu dengan menciptakan praktik yang menjanjikan untuk menghubungkan pembangunan kemanusiaan dan perdamaian dari bawah ke atas, dari praktik terbaik masyarakat hingga kebijakan dengan menempatkan partisipasi perempuan yang bermakna di pusat.

“Melalui ini, perempuan dan anak perempuan mampu bertahan dari dampak buruk konflik dan bencana alam serta mampu berkontribusi pada ketahanan dan perdamaian berkelanjutan,” katanya.

Baca juga: Dayah Diniyah Darussalam: Naungan untuk Korban Kekerasan di Aceh 

Sementara itu, Analis Kemanusiaan UNFPA Indonesia, Elisabeth Adelina Sidabutar, mengatakan Penyediaan layanan kesehatan seksual dan reproduksi serta pencegahan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang hanya sekadar keinginan, tetapi sebagai pemenuhan hak asasi manusia yang fundamental yang berdampak langsung pada kelangsungan hidup dan kesejahteraan.

“Perbaikan yang signifikan masih sangat dibutuhkan untuk memastikan akses yang adil terhadap layanan penting ini. Oleh karena itu, kesiapsiagaan pemerintah yang responsif gender dalam penanggulangan bencana dalam konteks multidimensi seperti ini harus ada. UNFPA terus memperkuat peran koordinasi Sub-Klaster Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dan Pemberdayaan Perempuan (Sub-Klaster KBG) di Indonesia, di bawah kepemimpinan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” imbuhnya.

Klaster Penanggulangan Bencana (Klaster PB) merupakan mekanisme koordinasi multipihak yang dipimpin oleh Pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi koordinasi lintas siklus penanggulangan bencana: pencegahan, tanggap darurat, dan rehabilitasi. 

“Indonesia berada di garis depan dalam membangun koordinasi multipihak untuk memperkuat kesiapsiagaan dan tanggap darurat guna mendukung korban bencana dari berbagai ancaman,” kata Thandie Mwape, Kepala Kantor Penghubung OCHA di Indonesia/ASEAN.

“Klaster PB yang dipimpin oleh kementerian Pemerintah dengan anggota dari aktor nonpemerintah merupakan cerminan dari kemitraan yang kuat dan ‘gotong royong’, semangat kemanusiaan Indonesia yang sejati,” lanjutnya.

Baca juga: Pemenuhan Hak Perempuan dalam Situasi Bencana Masih Belum Ideal

UN Women dan UN OCHA mendukung KEMENKO PMK dan BNPB untuk memperkuat kapasitas, kerangka hukum dan peran Klaster Penanggulangan Bencana melalui dukungan proyek Perempuan Berdaya untuk Perdamaian Berkelanjutan yang didanai oleh Badan Kerjasama Internasional Korea.

Untuk diketahui, dalam rangka memperingati Bulan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Banda Aceh yang dipimpin oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), UN Women dan UN OCHA menyelenggarakan dialog kebijakan bertajuk, “Membangun Hubungan Kemanusiaan, Pembangunan, Perdamaian (HDP): Peran Sektoral dalam Penanggulangan Bencana pada Situasi Konflik Sosial” untuk membahas keterkaitan antara bencana, konflik sosial, dan ekstremisme kekerasan di Indonesia, serta peran integral yang dapat dimainkan oleh Klaster Penanggulangan Bencana (Klaster PB) dalam mengelola dan menanggapi bencana, konflik sosial, dan radikalisasi.

Perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KEMENKO PMK), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI), Kementerian Sosial (KEMENSOS), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta UN Women dan UN OCHA meninjau peran masing-masing kementerian dalam upaya penanggulangan bencana konflik sosial, menyadari urgensi pendekatan komprehensif – termasuk melalui kebijakan – untuk menanggapi dan mengelola isu tersebut secara efektif, dan memastikan partisipasi dan kepemimpinan perempuan yang bermakna dalam proses pengambilan keputusan untuk pengurangan risiko bencana yang efektif.(rls)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Kenapa Stretch Mark di Tubuh Perempuan Dianggap “Dosa Sosial”

Pontang-panting Generasi Sandwich di Yogyakarta

Perempuan di tengah pandemi

Perempuan di Tengah Pandemi Covid-19

Leave a Comment