“SAYA nggak mau ikut-ikutan bohongin rakyat. Saya hanya ingin fokus penelitian saja, penguatan perempuan. Kalau membantu di ranah politiknya belum deh,” ungkap Wahyu Widiastuti, S.Sos.,M.Sc pada bincangperempuan.com beberapa waktu lalu.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bengkulu (Unib) ini sudah 15 tahun fokus pada isu perempuan dan politik. Meski demikian ia tidak tertarik untuk terjun langsung sebagai politisi maupun konsultan politik untuk kader partai politik (Parpol). Ia justru bersemangat untuk mendorong pendidikan berperspektif gender menuju arah yang lebih baik.
“Belum sampai ke situ aku. Lebih fokus di riset saja,” katanya.
Menurut wanita yang akrab disapa Widi ini, pendidikan dengan perspektif gender perlu dibenahi. Mengingat kemunculan perempuan dalam ranah politik saat ini masih di tingkat kuantitas. Diakuinya, sejak reformasi digulirkan di Indonesia, partisipasi politik perempuan khususnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi agenda penting. Berbagai terobosan kebijakan afirmasi dan penguatan peran perempuan dalam politik terus diupayakan.
“Affirmative action. Nggak banyak yang mendorong itu. Parpol juga nggak mengoptimalkan peran perempuan. Pokoknya ada deh (memenuhi kuota 30 persen, red). Tapi kualitas nggak diperhatikan,” nilainya.
Dalam Undang-undang Pemilu memang mensyaratkan keterlibatan minimal 30 persen perempuan sebagai Calon Legislatif (Caleg) yang diusung oleh partai politik. Kebijakan tersebut pun diterjemahkan secara tegas oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa Parpol yang tidak dapat memenuhi ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar calon pada daerah pemilihan bersangkutan.
Peraturan KPU ini mendorong partai politik untuk memenuhi syarat administratif pendaftaran tersebut, meski dalam praktiknya masih terkesan setengah hati.
“Hanya untuk memenuhi kuota. Munculnya pun last minute. Bahkan nggak dipersiapkan oleh Parpol. Kadang kandidat sendiri tidak mempersiapkan diri,” ungkap Widi.
Keterwakilan perempuan di parlemen sangat penting dalam pengambilan keputusan publik, karena akan berimplikasi pada kualitas legislasi yang dihasilkan lembaga negara dan publik. Namun lagi-lagi, pemenuhan prasyarat keterwakilan perempuan 30 persen ternyata masih di tingkat kuantitas.
Minat perempuan untuk menjadi Caleg tampaknya juga masih sangat rendah. Akibatnya, partai politik cenderung mengutamakan kuantitas, bukan kualitas untuk memenuhi prasyarat tersebut. Dampak yang lebih mengkhawatirkan adalah menurunnya kualitas parlemen akibat menurunnya kualitas wakil rakyat yang dipilih.
“Susah cari kandidat. Ini menjadi PR juga bagi kita. Kebanyakan kandidat yang terpilih itu karena ada duit dan support system,” bebernya.
Padahal secara ideal, partai politik diharapkan mampu menghasilkan kader perempuan yang sensitif gender. Sosok perempuan yang mengerti kiprahnya ketika terjun di kancah politik dan bukan hanya sebatas memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya saja.
“Saya mengamati fenomena artis (perempuan, red) jadi politisi. Kebanyakan mereka belum menguasai isu. Ini terlihat dari postingan mereka di media sosial, ya cuma mengatakan aktivitasnya saja. Belum bisa menanggapi isu. Potretnya begitu,” ujarnya.
Perempuan Harus Memberikan Perubahan
Menurut Widi, politisi perempuan harus mampu memainkan peran yang lebih luas, yaitu kesetaran dan keadilan gender. Kebijakan afirmatif keterlibatan perempuan dalam politik selain dapat dijadikan peluang untuk mempromosikan kader-kader perempuan yang handal dan progresif, seharusnya juga dapat mendorong perluasan pendidikan politik.
“Sehingga perlu dilakukan upaya mendorong perempuan untuk maju. Perlu dilatih dan dikuatkan,” imbuhnya.
Pendidikan politik terhadap perempuan dinilai penting sebagai upaya mengembangkan nilai-nilai fundamental masyarakat yang relevan dengan dinamika perubahan sosial. Sehingga tidak hanya proses transformasi ilmu saja yang bisa dilakukan, namun juga transformasi sosial.
“Tingkatkan kapasitas. Tapi ini nggak bisa sendiri. Pemilih juga harus diedukasi. Belajar juga track record-nya dia (kandidat, red). Harus jadi pemilih yang smart. Parpol juga harus mengedukasi. Tugas Parpol itu juga melakukan pendidikan politik. Sayangnya Parpol belum melakukan peran itu. Media juga loh harus berperan dalam pendidikan politik. Mendorong menjadi smart voter,” pesan Widi.
Meski kini terlihat vokal dalam menyuarakan peran perempuan dalam politik, namun siapa sangka saat kuliah Widi termasuk mahasiswi yang tidak terlalu aktif.
“Aku ini termasuk orang yang nggak ngapa-ngapain selama kuliah. Nggak organisasi. Nah saat aku kerja (menjadi dosen, red) mulai diajak bergiat di isu-isu perempuan,” cerita alumni Universitas Diponegoro 1998 ini.
Widi pun kemudian makin tertarik untuk mengoptimalkan peran perempuan, terutama di ranah politik. “Tertarik di situ, nggak sekedar bicara perempaun dari sisi yang sempit. Tapi bagaimana mengoptimalkan peran perempuan. Perempuan sedikit sekali yang duduk di parlemen,” katanya.
Diakui Widi, perempuan sering dianggap sebagai warga kelas dua dalam politik. Ini lantaran perempuan masih dibebani urusan rumah tangga. Padahal sebenarnya hal itu juga merupakan tanggung jawab laki-laki.
“Perempuan juga sering dianggap emosional. Ada juga kepentingan-kepentingan dengan membawa-bawa agama. Bahwa perempuan nggak bisa menjadi pemimpin,” tandasnya.
Perempuan juga memiliki peran sebagaimana laki-laki di bidang pemerintahan. Untuk itulah kesetaraan gender perlu diupayakan ke berbagai kalangan. Agar ruang kesempatan bagi perempuan semakin luas. Kesetaraan gender perlu diupayakan ke berbagai pihak mulai dari kaum perempuan itu sendiri. Para perempuan harus semakin diberikan pemahaman mengenai kesetaran gender.
Baca juga : Uli Artha Siagian : Perjuangan Adalah Cara Bersyukur Serta Menghidupkan Hidup
Politik berperspektif gender yang mengakomodir kepentingan perempuan juga diperlukan. Bukan hanya tentang bagaimana perempuan bisa duduk di legislatif maupun eksekutif.
“Tapi bagaimana kebijakan yang dikeluarkan memiliki perspektif gender. Perempuan duduk di politik bukan hanya untuk punya status. Perempuan harus memberikan perubahan. Harusnya tunjukkan politik dengan wajah feminisme,” pungkasnya. (betty herlina)
*) Produksi tulisan ini didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.