MEDIA cenderung menyoroti fisik dan status perempuan dalam pemberitaan. Ini disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), Universitas Bengkulu (Unib), Wahyu Widyastuti, saat mengisi workshop “Peningkatan Kapasitas Jurnalis Perempuan Bengkulu”, Sabtu (18/1) lalu. Ia mencontohkan semisal penyematan kata cantik pada judul berita, perempuan cantik, CEO cantik, atau kata-kata lain. Ini menimbulkan persepsi perempuan sebagai objek untuk memenuhi hasrat lelaki semata. Belum lagi pandangan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan kerap disalahkan.
“Perempuan masih dianggap komoditas. Media di Bengkulu belum ramah gender. Untuk isu-isu perempuan termasuk porsi perempuan sebagai narasumber dan objek berita di sejumlah media menunjukkan ruang redaksi media yang belum sepenuhnya sensitif terhadap gender,”
Wahyu Widyastuti
Media lanjut Widi, memiliki peran penting untuk mengedukasi masyarakat. Newsroom diharapkan bisa memilih diksi yang tepat agar adil gender sehingga framing berita menggiring pembaca adil gender.
“Pentingnya ada kesadaran terhadap gender dari ruang redaksi dapat menghadirkan pemberitaan yang berimbang dari sudut pandang juga bisa menghindari hadirnya stereotip terhadap perempuan yang masih sering menjadi objek yang erat dengan konotasi negatif,” katanya.
Baca juga: Jurnalis Perempuan Harus Tingkatkan Kompetensi
Workshop Peningkatan Kapasitas Jurnalis Perempuan
Workshop Peningkatan Kapasitas Perempuan Jurnalis diikuti lima perempuan jurnalis dari berbagai platform media di Bengkulu. Kelimanya sepakat belajar bersama melalui program fellowship Citradaya Nita yang digagas Pusat Perhimpunan Media Nasional (PPMN). Yakni Yakni, Zalmi Herawati dari Harian Bengkulu Ekspress, Lisa Rosari dari Harian Radar Selatan, Jiafni Rismawarni dari Harian Rakyat Bengkulu, Ria Sofyan dari Bengkulu Ekspress Televisi dan Ilmyatun Awliya dari Bengkulu Ekspress.com.
Selain isu status perempuan dalam pemberitaan, di workshop ini Widi juga menyoroti penggunaan perempuan sebagai narasumber di media masih minim. Untuk menjadi newsroom yang adil gender, ruang menggunakan perempuan sebagai narasumber harus terbuka.
“Anggapan tokoh atau praktisi perempuan yang dipandang berkapasitas sebagai narasumber masih sedikit. Termasuk ketika merekrut perempuan untuk masuk dalam daftar pencalonan juga susah. Sehingga sedikitnya jumlah perempuan yang masuk daftar calon dan ketika mereka harus bersaing dengan laki-laki yang modalnya lebih banyak itu membuat jumlah perempuan yang duduk dalam parlemen juga kurang. Sebenarnya perempuan tidak kalah dengan laki-laki dalam kemampuan. Jadi tidak ada salahnya jika perempuan dipilih untuk menduduki posisi strategis,” lanjutnya.
Baca juga: Patriarki di Partai Politik, Sulitnya Perempuan Jadi Politisi
Widi menegaskan, untuk mendudukan isu perempuan agar adil gender tidak bisa dicapai dengan perempuan saja, namun juga harus disupport juga oleh laki-laki. Sehingga ia berharap workshop “Peningkatan Kapasitas Jurnalis Perempuan Bengkulu”, juga tidak hanya diikuti perempuan saja.
“Harapannya pesertanya tidak hanya perempuan, karena keadilan gender tidak bisa diraih oleh perempuan saja. Laki-laki, jurnalis laki-laki juga perlu paham dengan gender. Masih ada tulisan yang tidak berpihak pada perempuan terutama tentang kasus asusila, kebencanaan dan konflik seringkali tidak memperhatikan diksi pilihan katanya tidak menguntungkan perempuan,” pungkasnya.
Senada, Direktur Yayasan PUPA, Susi Handayani, mengatakan ia berharap tidak hanya jurnalis perempuan yang punya pemahaman utuh terhadap konsep gender dan kekerasan terhadap perempuan, maupun pemberitaan yang ramah pada perempuan dan anak.
“Kita berharap media bisa sesuai fungsinya, mendidik, tidak hanya memberikan informasi. Artinya ketika teman-teman paham konsepnya dapat membuat sebuah berita atau mempublikasikan sebuah pemberitaan, maka beritanya sesuai dengan konteks peristiwa. Bisa memberikan gambaran atau konstruksi kekerasan yang ia lakukan pelaku pada korban sehingga dampak-dampak pada korban juga dapat masyarakat paham bahwa sebuah kekerasan itu menimbulkan dampak, dan dampaknya itu luar biasa yang harus bisa didukung oleh masyarakat dengan jalan salah satunya adalah tidak menyalahkan korban,”
Susi Handayani
Sementara itu, jurnalis dari rakyatbengkulu.com, Betty Herlina mengatakan tujuan dilakukannya workshop peningkatan kapasitas perempuan jurnalis adalah untuk memberikan pemahaman gender dan pentingnya kesadaran gender serta memberikan pengetahuan terkait kondisi perempuan dalam berita saat ini.
Baca juga: Jalan Panjang Menuju Jurnalisme Bebas Bias Gender di Indonesia
“Workshop ini penting, karena tidak semua perempuan jurnalis paham dan mengerti apa itu gender. Perempuan harus paham, sehingga bisa menciptakan newsroom yang adil gender. Dengan meningkatan kapasitas jurnalis perempuan lainnya sehingga dapat menerobos budaya patriarki yang cenderung menilai perempuan itu tidak layak,” pungkasnya. (betty herlina)
*) artikel dengan judul serupa tayang terlebih dahulu di Harian Rakyat Bengkulu.