Bincangperempuan.com- Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) kembali diperingati, Senin (25/11/2024). Rangkaian 16 HAKTP akan berakhir pada 10 Desember setiap tahunnya, bertepatan dengan Desember, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional.
Peringatan 16HAKTP adalah kampanye internasional yang bertujuan menghapuskan kekerasan berbasis gender di seluruh dunia. Kampanye ini pertama kali digagas pada tahun 1991 oleh Women’s Global Leadership Institute, dengan dukungan dari Center for Women’s Global Leadership. Sejak saat itu, kampanye ini diperingati setiap tahun mulai tanggal 25 November yang juga dikenal sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Kampanye 16HAKTP dirancang untuk meningkatkan kesadaran global mengenai pentingnya menghapus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan berbasis gender. Tujuan utamanya adalah menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan di seluruh dunia.
Di Indonesia pelaksanaan kampanye ini telah diinisiasi oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2001. Tahun ini 16HAKTP mengangkat tema Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan, sebagai respons atas situasi darurat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dilansir dari rilisnya, Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menyatakan jumlah pengaduan kasus Kekerasan terhadap Perempuan pada Tahun 2023 menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas sebanyak 289.11. Dari jumlah tersebut 4.347 di antaranya merupakan pengaduan kasus ke Komnas Perempuan, sementara 3.303 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan berbasis gender.
“Dilihat dari jumlah yang ada rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 16 kasus setiap hari,” katanya.
Data pengaduan kasus tersebut merupakan kekerasan berbasis gender (KBG) yang masih didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan di ranah personal / domestik sebanyak 284.741 kasus (98.5%), ranah publik sebanyak 4.182 kasus (1.4%), dan ranah negara 188 kasus (0.1%). Hal ini menunjukan ruang domestik yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi lokasi utama terjadinya kekerasan. Di sisi lain, kekerasan di ranah publik dan negara tetap mencerminkan adanya kegagalan sistemik dalam melindungi perempuan di berbagai ruang.
Baca juga: Sudah Terjadi 13 Kasus: Alarm Kekerasan Seksual di Sekolah
Landasan hukum perlindungan korban kekerasan seksual
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menambahkan dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kemajuan penting, termasuk disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang menjadi landasan hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual beserta aturan turunannya seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Pemerintah Pusat, Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum dan Tenaga Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Ada tiga Perpres dan satu PP yang sudah diundangkan dari tujuh peraturan pelaksana UU TPKS. Kita perlu kawal bersama pembentukan aturan ini demi implementasi UU TPKS yang lebih komprehensif,” tegasnya.
Dari berbagai kemajuan yang ada, Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani mengatakan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, di antaranya stigma sosial dan budaya patriarki yang membuat banyak korban enggan melapor, keterbatasan akses layanan bagi korban, khususnya di daerah terpencil, masih banyak aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif korban, keterbatasan anggaran, serta ketersediaan UPTD PPA yang belum merata di setiap daerah.
“Kami juga menemukan kurangnya integrasi sistem pendataan nasional yang menyulitkan pemantauan dan evaluasi kebijakan. Karenanya Komnas Perempuan berkerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Forum Pengada Layanan (FPL) dalam sinergi database,” ujar Tiasri Wiandani.
Baca juga: Peyek Daun Kopi, Inisiatif Ekonomi Di Tengah Perubahan Iklim
Serukan pemenuhan hak ekosob untuk Perempuan Pembela HAM (PPHAM)
Sementara itu di Bengkulu, pada peringatan 16HAKTP tahun 2024 perhatian difokuskan pada perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) bagi Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM). PPHAM adalah perempuan atau individu lainnya yang memperjuangkan hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan, di tengah berbagai ancaman dan tantangan.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2015-2021 mencatat terdapat 87 kasus kekerasan terhadap PPHAM yang diadukan secara langsung. Kenaikan signifikan terjadi pada dua tahun ke belakang, tahun 2020 terdapat 36 kasus kekerasan, dan pada 2021 tercatat 23 kasus sedangkan pada 2019 terdapat 5 kasus.
Kekerasan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga berbasis gender, seperti: (1) Intimidasi seksual, (2) Stigma sosial terkait peran gender dan stereotip perempuan tak bermoral (3) Eksploitasi identitas gender atas nama moralitas, agama, atau budaya, (4) Penghilangan kredibilitas dengan menyerang status perkawinan atau peran ganda perempuan sebagai ibu dan pembela HAM
“Kondisi ini mencerminkan lemahnya perlindungan hukum bagi PPHAM di Indonesia. Kerentanan mereka juga diperparah oleh budaya patriarkis yang masih kuat, di mana tubuh dan seksualitas perempuan sering menjadi target utama serangan,” kata Koordinator PPHAM Bengkulu, Joti Mahulfa.
Terpisah, Direktur Yayasan PUPA Bengkulu, Susi Handayani mengatakan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kekerasan dan serangan terhadap PPHAM. Pertama, rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran PPHAM. Banyak yang belum memahami bahwa perjuangan PPHAM bukan hanya untuk kepentingan perempuan, tetapi juga untuk keadilan dan kemanusiaan secara luas.
Kedua, minimnya regulasi yang melindungi PPHAM secara khusus. Meskipun Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur tentang hak asasi manusia, tidak ada aturan spesifik yang memberikan perlindungan terhadap PPHAM dari ancaman atau kekerasan berbasis gender.
Ketiga, hubungan erat antara penguasa dan pengusaha sering kali menjadi penghambat perjuangan PPHAM. Banyak kasus di mana PPHAM yang berjuang melawan ketidakadilan justru dihadapkan pada ancaman kriminalisasi atau kekerasan yang didukung oleh pihak-pihak berkuasa.
“Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) sangat penting bagi PPHAM untuk mendukung keberlanjutan perjuangan mereka. Sayangnya, hingga kini, pemenuhan hak ekosob bagi PPHAM belum menjadi prioritas baik di tingkat pemerintah maupun lembaga non-pemerintah, paparnya.
Tanpa pemenuhan hak ekosob, kata Susi, PPHAM akan terus berada dalam posisi yang rentan. Misalnya, banyak PPHAM yang harus menghadapi ancaman terhadap keamanan pribadi mereka tanpa adanya dukungan finansial atau sumber daya yang memadai untuk melindungi diri. Selain itu, serangan berbasis gender seperti pelecehan seksual atau penghilangan kredibilitas atas dasar stereotip perempuan juga menunjukkan bagaimana sistem patriarki memperparah kondisi mereka.
“Peringatan 16HAKTP tahun ini menjadi momen penting untuk menyerukan dukungan bagi pemenuhan hak-hak PPHAM. Dukungan ini tidak hanya berupa pengakuan terhadap kontribusi mereka, tetapi juga tindakan nyata untuk melindungi mereka dari berbagai ancaman dan kekerasan,” pungkasnya.