DPR RI akhirnya mengesahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR RI Ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2021-2022, Selasa (12/04). Ini menandai lahirnya keberpihakan negara pada korban kasus kekerasan seksual.
Narahubung Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan & Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Advokasi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Susi Handayani memyambut baik hal tersebut. UU TPKS merupakan contoh baik dari kerja bersama antara Masyarakat sipil, pemerintah dan Parlemen dalam menghasilkan sebuah Undang-Undang. Maka dari itu FPL, JMS dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi Panja RUU TPKS Baleg RI yang menyelenggarakan proses pembahasan RUU TPKS dengan memberi ruang partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan.
“Kami juga mengapresiasi Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi. Tim Sinkronisasi dan Tim Perumus Panja RUU TPKS yang progresif sesuai dengan kepentingan korban kekerasan seksual, termasuk perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual,” kata Susi dalam rilisnya.
Beberapa capaian penting yang dicatat FPL dan JMS, yakni RUU TPKS telah memasukan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Diantaranya yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Termasuk pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual.
“Serta masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban KS, dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu,” imbuhnya.
Selain itu, dikatakan Susi, UU TPKS juga memuat adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan dana kompensasi negara kepada korban tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.
“Adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban. Kemudian ada pula ketentuan yang melarang pelaku KS untuk mendekati Korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban KS agar korban aman dan tidak harus melarikan diri dari pelaku. Adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban,” bebernya.
Pekerjaan Rumah
Meski banyak capaian, lanjut Susi, RUU TPKS tetap menyisakan Pekerjaan Rumah. Tindak pidana perkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi DPR dan Pemerintah agar bisa memasukan tindak pidana perkosaan dalam RUU KUHP.
“Menjadi Pekerjaan Rumah juga bagi FPL dan JMS untuk mengkawal RUU KUHP. Pekerjaan Rumah FPL dan JMS selanjutnya adalah melakukan advokasi peraturan turan dari UU PKS. Hal ini perlu dilakukan agar RUU TPKS setelah disahkan segera bisa dilaksanakan. Pemerintah harus melibatkan FPL dan JMS dalam menyusun Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang dimandatkan UU TPKS agar pelaksanaanya sesuai dengan kondisi lapangan,” terang Susi.
Perjalanan Advokasi
Sejak 2015 FPL dan Komnas Perempuan terus mendorong negera menerbitkan kebijakan untuk melindungi korban kekerasan seksual. Hal ini didasarkan pada pendokumentasian kasus oleh FPL selama 10 tahun yang menunjukan kasus kekerasan seksual sulit diproses hukum.
Pada 2016, FPL sebagai penggagas RUU TPKS mendorong DPR memasukan RUU TPKS (saat itu bernama RUU PKS) ke dalam Prolegnas. Selanjutya FPL tidak lagi sendiri mengawal proses legislasi. Pada 2018 lahirlah JMS (Jaringan Masyarakat Sipil). Dan pada Januari 2022 barulah lahir Jaringan Pembela Korban Kekerasan Seksual yang juga turut melakukan advokasi.
RUU PKS pada 2020 masuk dalam Prolegnas, namun DPR sama sekali tidak melakukan pembahasan, dan kemudian 2021 kembali masuk Prolegnas dan dilakukan pembahasan dan pembahasan lanjutan pada 2022 secara intensif dan selesai pada 6 April 2022.(**)