Bincangperempuan.com- Nurhasanah memegang malam dan mencelupkan ke dalam lilin cair di atas tungku. Dia mulai mencanting kain putih yang sudah disiapkan. Tak ada alas untuk menangkap tetesan lilin yang kadang-kadang jatuh dari canting hingga tangan Nurhasanah terkena lilin panas.
“Kita harus teliti dalam mencanting lilin agar motif yang dihasilkan terlihat rapi dan indah,” katanya sambil mengambil malam yang sudah habis dan mencairkan kembali di atas tungku.
Dengan tekun, Nurhasanah terus melanjutkan pekerjaannya. Kain putih yang tadinya kosong mulai berubah jadi indah dengan motif mangrove, kepiting, dan udang yang tergambar dengan jelas.
Nurhasanah, dari Kelompok Batik Taman Sari Dusun Bahagia, Pangkal Babu, Tanjung Jabung Barat, Jambi.
Dia dan delapan perempuan lain pada 2021 memutuskan membentuk kelompok batik ini untuk menggabungkan dua keahlian yang mereka miliki, yaitu batik dan kecintaan terhadap alam pesisir.
Awalnya, mereka terdiri dari sembilan perempuan yang ingin memanfaatkan waktu luang dengan membatik.
Mereka bertekad kuat melestarikan hutan mangrove dan menyelamatkan kekayaan alam yang makin menipis.
Nurhasanah bercerita, awalnya mereka mengumpulkan iuran Rp100.000 dari masing-masing anggota untuk membeli peralatan yang diperlukan.
Cetakan yang mereka gunakan terbuat dari karton bekas susu dan mie yang keras, bukan dari plat besi seperti alat batik umumnya. Meskipun peralatan seadanya, tak mengurangi semangat mereka terus berkarya.
Saat membatik, kelompok ini seringkali menampilkan motif-motif khas pesisir, seperti mangrove, kepiting, dan udang.
Motif-motif ini merupakan apresiasi mereka terhadap keindahan alam pesisir yang menjadi bagian dari lingkungan sekitar.
Motif-motif itu, katanya, merepresentasikan betapa penting hutan mangrove bagi masyarakat pesisir. Mangrove merupakan tempat hidup bagi berbagai jenis hewan, seperti kepiting dan udang, yang jadi sumber kehidupan masyarakat sekitar.
Hutan mangrove, katanya, juga berfungsi sebagai penahan gelombang dan mencegah abrasi pantai.
Melalui kerja keras, Kelompok Batik Taman Sari akhirnya berhasil mengangkat karya-karya mereka berupa batik khas pesisir ke tingkat provinsi dan nasional. Motif-motif batik yang diciptakan oleh para ibu-ibu Pangkal Babu menjadi populer dan diminati para kolektor dan pecinta batik di Jambi.
Tak hanya itu, membatik yang awalnya hanya dilakukan para ibu di halaman rumah, kini berkembang jadi usaha kecil yang mampu memberikan penghasilan tambahan.
Kegiatan membatik ini juga memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar. Salah satunya, penyelamatan mangrove yang makin terancam aktivitas manusia.
Melalui motif-motif batik yang terinspirasi dari keindahan alam pesisir, kelompok ini bisa menyebarluaskan pesan penting menjaga lingkungan dan keanekaragaman hayati pesisir.
Kelompok ini menghadapi beberapa kendala memulai kegiatan batik.
“Peralatan dan bahan terbatas.”
Mereka tinggal di tepian pantai yang jauh dari pusat kota. Meskipun begitu, mereka tidak menyerah dan mencari cara untuk mendapatkan bahan-bahan itu. Akhirnya, kelompok ini bisa mengumpulkan cukup banyak peralatan dan bahan untuk memulai kegiatan batik. Mereka membeli lilin batik, kain putih, dan pewarna dari hasil penjualan batik sebelumnya.
Dalam satu hari, Taman Sari mampu memproduksi sekitar 100 lembar kain batik dengan harga jual per lembar Rp135.000-Rp185.000 untuk batik cap dan Rp250.000-Rp300.000 untuk batik tulis.
Motif dalam batik khas Pangkal Babu ini memiliki beragam jenis dan variasi. Ada sekitar 17 jenis motif dalam batik khas Pangkal Babu, yang diambil dari berbagai unsur kehidupan masyarakat pesisir, seperti kepiting, udang, dan mangrove.
Yang paling populer adalah motif mangrove, digambarkan dalam bentuk daun-daun mangrove pidada, api-api, dan bakau. Selain itu, motif bangau putih juga sering digunakan dalam batik khas Pangkal Babu.
Dengan ada kelompok ini, para perempuan di Pangkal Babu dapat memperoleh penghasilan tambahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah itu. Selain itu, batik khas Pangkal Babu juga satu daya tarik wisata.
Melalui inisiatif Nurhasanah dan kelompok ini, masyarakat Pangkal Babu makin sadar akan penting menjaga hutan mangrove dan merawat kearifan lokal.
Sri Wahyunika, anggota Kelompok Batik Taman Sari mengatakan, sebelum bergabung dengan kelompok batik seringkali mengalami kesulitan mencari penghasilan. Dia biasa bekerja sebagai buruh kasar di kebun kelapa dan hanya dibayar upah Rp100 setiap butir kelapa yang berhasil dia petik.
Setelah bergabung dengan kelompok ini, dia merasa lebih produktif dan bisa membantu menghasilkan uang untuk keluarga.
“Sebelumnya, saya hanya bekerja buruh kasar, tidak ada keterampilan khusus. Setelah bergabung dengan kelompok batik, saya merasa lebih produktif dan bisa membantu keluarga dengan cara yang lebih baik,” ujar Sri.
Salma, juga tergabung dalam Kelompok Batik Taman Sari bilang, selain menghasilkan uang, membatik juga membantu meningkatkan kepercayaan diri. Dia senang dapat menghasilkan batik indah dan bernilai seni, serta dikenal masyarakat.
“Saya senang bisa membuat karya batik indah dan bernilai seni. Saya juga merasa lebih percaya diri karena hasil karya kami dikenal dan diapresiasi oleh masyarakat,” katanya.
Setelah selesai membatik, para ibu-ibu ini berpisah dan pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan lega dan bahagia. Mereka membawa pulang hasil karyanya yang indah dan penuh makna, serta harapan untuk memperoleh pemasukan bagi keluarga mereka.
Saat berjalan pulang, terlihat senyum bahagia di wajah mereka. Beberapa dari mereka membawa keranjang berisi makanan dan minuman untuk santap berbuka puasa, yang lain membawa paket batik siap dijual. (Elviza Diana)
Artikel ini sudah tayang terlebih dahulu di Mongabay dengan judul Batik Khas Pesisir Pangkal Babu, Kisah Para Perempuan Selamatkan Hutan Mangrove