Bincangperempuan.com- Masa kehamilan hingga melahirkan menjadi masa yang sangat kompleks bagi seorang ibu. Perubahan fisik, mental, dan sosial tak jarang membuat seorang ibu mengalami sindrom baby blues. Untuk itu, memberikan pendampingan, dukungan dan support sistem bagi seorang ibu menjadi penting, tidak hanya bagi diri sendiri namun sekaligus bagi bayi yang dilahirkan.
Baby blues dimaknai sebagai sebuah kemurungan atau kesedihan yang dialami oleh ibu setelah melahirkan. Mereka seringkali jadi merasa cemas tanpa sebab, tiba-tiba menangis, tidak sabar, mudah tersinggung, hingga tak percaya diri atas kemampuannya untuk menjadi seorang ibu. Pada beberapa kasus, ibu bisa merasa ketakutan kala melihat atau menyentuh anaknya.
Sindrom ini bisa terjadi dalam beberapa hari bahkan satu atau dua minggu setelah melahirkan. Merasa stres menjalani pola dan ritme kehidupan baru. Bisa karena jam tidur yang mendadak tidak teratur sebab anak kerap terbangun di malam hari, ataupun perubahan fisik karena kaki dan perut yang membesar. Di Indonesia, setidaknya ada 50-70% ibu yang mengalami sindrom baby blues ini.
Faktor hormonal dan hubungan rumah tangga
Memberikan perhatian pada kesehatan ibu secara menyeluruh akan memberikan dampak yang baik pada perkembangan anak. Sayangnya, perhatian tersebut kerapkali masih terbatas pada kesehatan fisik. Kondisi mental ibu masih kurang mendapat perhatian. Pengaruh kondisi mental ibu terhadap bayinya, salah satunya dapat dilihat pada saat menyusui. Health Collaborative Center pada tahun 2022 menyebutkan bahwa 6 dari 10 ibu di Indonesia yang menyusui tidak bahagia. Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak menyadarinya.
Baca juga: Yayasan PEKKA, Memberdayakan Para Perempuan Kepala Keluarga
Penyebab umum baby blues adalah perubahan hormon. Ketika perempuan hamil, hormon estrogennya akan naik dan turun seketika setelah melahirkan. Penurunan hormon yang diproduksi kelenjar tiroid secara drastis ini menyebabkan perubahan emosi.
Buruknya kualitas hubungan rumah tangga juga jadi penyebab utama. Kerapkali perempuan mesti mengurus buah hati sendirian sehingga mengalami kelelahan berlebihan. Perubahan identitas dan peran memaksa para ibu untuk beradaptasi.
Namun, stigma soal ketidakmampuan mengurus diri, perbedaan pola pengasuhan, hingga tuntutan adat justru semakin memberi tekanan. Beban ini menimbukan perasaan tidak berdaya, kewalahan, dan stres. Minimnya dukungan sosial, bahkan membuat perempuan berpeluang mengalami baby blues secara berulang. Sindrom ini tidak serta-merta ada karena rasa kaget ketika memiliki anak pertama kali.
Risiko gangguan kejiwaan
Sindrom baby blues dapat berlanjut menjadi depresi pasca-persalinan. Mereka yang mengidap sindrom tersebut, memiliki potensi tiga kali lebih besar untuk mengalami depresi pasca-persalinan ini. Perubahan psikologis setelah melahirkan sendiri terdiri dari tiga jenis, meliputi baby blues, depresi pasca-persalinan, hingga psikosis pasca-persalinan.
Depresi memiliki gejala yang lebih parah. Mulai dari menarik diri dari teman atau keluarga, kemarahan yang intens, menangis berlebihan, berpikir menyakiti diri atau bayinya, bahkan memikirkan untuk bunuh diri secara berulang. Depresi ini dapat muncul tiga bulan hingga satu tahun setelah melahirkan. Sayangnya, gejala depresi ini sering disamakan dengan sindrom baby blues yang sebenarnya lebih ringan.
Pravalensi depresi pasca-persalinan di dunia mencapai 10-15%. Dengan kata lain, satu sampai dua dari 1.000 kelahiran mengalaminya. Di Asia angkanya lebih tinggi, yakni, 26-85%. Studi kasus yang dilakukan oleh Intimina menyebutkan bahwa seorang ibu membutuhkan waktu 2,5 bulan untuk pulih secara fisik. Namun, tiga dari lima responden merasa tidak pulih secara emosional hingga lebih dari tiga bulan. Hampir seperempat perempuan menghadapi goncangan suasana hati. Mereka menyebut bahwa mengatasi hal ini lebih sulit dibandingkan proses melahirkan itu sendiri.
Depresi pada ibu meningkatkan risiko keterlambatan pertumbuhan pada bayinya. Baik itu aspek motorik, psikologi, neurologi, hingga kognitif. Buah hati juga akan cenderung lebih rewel sebagai cara untuk menarik perhatian ibunya. Diagnosis pada perubahan emosi berkepanjangan jadi amat penting. Penanganan yang segera diperlukan agar kondisinya tidak semakin parah.
Pentingnya dukungan
Sistem pendukung diperlukan untuk membantu ibu dalam melewati masa baby blues. Dengan begitu, mereka tidak mengembangkannya menjadi depresi berkelanjutan. Terlebih, seiring bertambahnya hormon estrogen pada tubuh, semestinya sindrom baby blues juga akan membaik, bahkan tanpa perlu pengobatan.
Dukungan sosial utama tentu diperlukan dari pasangan. Suami sudah semestinya menjadi ruang aman bagi ibu berkeluh-kesah, membantu pekerjaan domestik, hingga memberi hiburan. Aspek sosial ini bisa pula didapatkan melalui kelompok dukungan ibu hamil, seperti Posyandu. Kelompok semacam ini juga dapat meningkatkan pengetahuan selama masa hamil dan melahirkan. Dengan demikian, jadi penjembatan untuk menghindari mitos-mitos seputar kehamilan yang kerap kali memberatkan.
Apabila diperlukan, ibu juga dapat melakukan intervensi melalui konseling dari ahli jiwa. Edukasi psikologis yang didapat adalah faktor krusial untuk mengetahui cara mengelola penyebab stres. Ilmu sesederhana soal latihan relaksasi dengan latihan pernapasan dan meditasi telah terbukti dapat membantu. Di sisi lain, pemerintah dapat membantu dengan memberikan bantuan asupan makanan dan gizi. Kedua hal tersebut bermanfaat untuk menjaga kebugaran tubuh dan membuat ibu tetap energik.
Baca juga: Perceraian dan Stigma Negatif tentang Status Janda
Sindrom baby blues perlu ditangani dengan baik dan tepat. Meski begitu, kondisi ini masih dianggap biasa dan belum banyak dipahami. Perempuan mesti didorong untuk lantang berbicara soal pengalaman khas yang dialaminya. Di samping itu, peran lingkungan, keluarga, dan negara amat dibutuhkan ketika ibu mengalami kelelahan dalam rangkaian proses biologis tubuhnya. (**)