Bincangperempuan.com- Aspirasi dan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan memiliki dampak signifikan terhadap kualitas pembentukan kebijakan publik. Sudah semestinya perempuan dapat bebas memilih, dipilih, dan duduk di kursi parlemen. Oleh sebab itu, ruang-ruang masyarakat sipil untuk bicara soal pandangannya tentang pemilu harus diperluas. Untuk itulah acara “Open Mic Suara Perempuan untuk Pemilu 2024” digelar.
Acara tersebut merupakan kolaborasi antara Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia, dan AMAN Indonesia. Dengan mengundang puluhan pembicara, acara ini adalah salah satu upaya untuk mempertegas komitmen negara dalam menghadirkan pemilu yang inklusif, setara, dan berkeadilan. Open Mic yang diselenggarakan pada Senin (28/8/2023) secara daring ini terdiri dari tiga sesi dengan selingan pembacaan puisi dan pemutaran video.
Dalam sambutannya, Listyowati selaku Ketua Kalyanamitra menjelaskan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan untuk bisa memenuhi hak-hak perempuan Indonesia. Situasinya tidaklah mudah sehingga upaya dari masyarakat sipil perlu dilakukan demi terciptanya komitmen pemerintah untuk menjalankan kebijakan sesuai mandat undang-undang.
“Semoga acara ini jadi awal gerakan kita. Ini adalah ruang konsolidasi sehingga kita ke depan bisa bergandeng tangan demi mewujudkan kehidupan setara,” ujar Listyowati.
Baca juga: Perempuan Lokal, Tak Surut Merawat Tradisi Seklang Putung
Pemenuhan kuota keterwakilan perempuan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bahwa kuota keterwakilan perempuan minimal sebesar 30%. Sayangnya, hal ini belum pernah terwujud. Pada pemilu 2019 jumlahnya hanya 20,5%. Ketika pemilu 2014 jumlahnya lebih rendah lagi, yakni sebesar 13,3%.
Persoalan tersebut dibahas oleh banyak narasumber. Mereka menyayangkan bahwa kebijakan ini belum pernah bisa terwujud. Salah satunya adalah Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka.
“Keterwakilan perempuan justru semakin mundur komitmennya. Pemilu kurang dari 200 hari, tetapi ruang ekspresi semakin mengecil. Banyak perempuan tengah menghadapi situasi yang tidak bisa membebaskan, bahkan untuk bicara soal kehidupan mereka sendiri,” jelas Mike.
Menurutnya, kemunduran komitmen itu terlihat dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 pada pasal 8 ayat 2. Pasal ini mengatur soal pembulatan desimal ke bawah dalam teknis penghitungan proporsi perempuan di daerah pemilihan.
Dalam pemilu, partai dapat mengajukan sebanyak 4, 7, 8, atau 11 calon. Apabila daerah memberlakukan 8 calon legislatif maka 30% dari jumlah tersebut adalah 2,4. Sesuai dengan PKPU tersebut maka dibulatkan menjadi 2 orang karena angka di belakang koma kurang dari 50. Dengan demikian, partai politik cukup mendaftarkan 2 orang untuk memenuhi kuota minimal. Padahal, 2 dari 8 caleg hanya setara 25% sehingga tidak memenuhi standar minimal 30% kuota keterwakilan perempuan.
Myra Diarsi selaku Pendiri Padepokan Perempuan Gaia dan Kalyanamitra menjelaskan salah satu penyebab dari persoalan tersebut adalah semangat dan kemauan politik yang amat minim dari para pemangku kebijakan penyelenggara pemilu. Hal ini terlihat dari masih banyaknya perempuan marginal ataupun perempuan disabilitas yang masih kesulitan untuk memberikan suaranya.
“Kebijakan yang diterapkan ke bawah itu itu patut dicurigai sebagai kesewenang-wenangan untuk menghindari mandatory spending. Sebuah anggaran yang tepat agar perempuan bisa mengikuti, terlibat, dan memiliki akses masuk ke politik,” tutur Myra.
Perundungan terhadap identitas minoritas
Masih terdapat banyak aturan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan. Hal ini disampaikan oleh Ruby Kholifah selaku Direktur AMAN Indonesia yang membuka ceritanya tentang penggundulan 14 siswa SMP Negeri 1 Sukodadi Lamongan karena tidak memakai ciput. Ia menyayangkan kegagalan sekolah untuk menjadi ruang demokratis, aman, dan sehat bagi para siswanya.
Baca juga: Selaput Dara, Mitos Keperawanan yang Menghantui Perempuan
“Orang lebih menghargai selembar kain daripada jiwa seorang anak sebagai generasi muda Indonesia. Perundungan karena identitas agama maupun ekspresi gender lainnya masih kerap terjadi,” ujar Ruby.
Menurut Ruby, setidaknya ada tiga penyebab persoalan ini. Pertama, ada tafsir tunggal agama yang dipaksakan. Di sisi lain, sebagian tokoh agama sulit menyampaikan posisinya jika dihadapkan dengan politik identitas. Kedua, lingkungan yang lebih mengutamakan kehidupan beragama yang simbolik bukan subtanstif. Ruby menyayangkan karena hal ini terus dikampanyekan oleh banyak intitusi, termasuk pendidikan. Ketiga, penyimpangan dalam pembuatan regulasi yang mendiskriminasi dan mendukung perundungan. Baginya, wakil rakyat selaku pemangku kebijakan justru tidak memiliki cara pandang terbuka dan lebih memilih mencari popularitas dengan mengendarai agama.
Kondisi tersebut sesuai dengan rilis dari Komnas Perempuan yang menyebutkan bahwa masih ada 120 aturan wajib jilbab dan 73 di antaranya masih berlaku. Pelanggarnya akan dikenai sanksi. Baik itu peringatan lisan, nilai rapot dikurangi, dikeluarkan dari sekolah, bahkan dipenjara.
Nasaruddin Umar selaku Imam Besar Masjid Istiqlal menyayangkan kondisi ini. Padahal, menurutnya, sudah ada 12 undang-undang yang lahir untuk memberikan penguatan pada perempuan. “Perlu ada keberpihakan dari sekarang. Jangan sampai karena ayat atau hadis, partisipasi perempuan malah direduksi. Spirit agama sesungguhnya mengandung kebersamaan, toleransi, kesetaraan,” tutur Nasaruddin.
Langkah yang wajib diambil pemerintah
Daniel Awigra selaku Direktur Eksekutif HRWG menyebutkan kondisi politik hari ini hanya disibukkan dengan saling memasang-masangkan satu sama lain. Program-program yang bisa menjawab persoalan justru absen dibicarakan. Baginya, konsolidasi perempuan Indonesia menjadi perlu untuk mengisi kekosongan ini. “Jangan hanya jadi penonton,” kata Daniel.
Sebagai salah satu upaya untuk menghadirkan solusi atas persoalan perempuan dalam pemilu, forum ini menghasilkan enam langkah yang wajib diambil pemerintah dan perlu didukung oleh berbagai pihak. Langkah-langka tersebut, yaitu:
- Mewujudkan pendidikan politik yang inklusif dengan mencakup kesetaraan gender. Dengan demikian, masyarakat dapat memiliki pemahaman yang lebih baik kepada kelompok-kelompok minoritas yang masih terabaikan dalam proses pemilu.
- Memastikan akses yang setara dalam hal sarana dan prasarana. Termasuk lokasi pemungutan suara yang mudah dijangkau bagi perempuan disabilitas.
- Melakukan penguatan kapasitas kepada kader partai untuk mendukung keterwakilan perempuan,
- Mempraktikkan kampanye kesadaran tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam pemilu.
- Melaksanakan mandat konsitusi tentang kuota keterwakilan perempuan minimal sebesar 30%.
- Merevisi PKPU 10 Tahun 2023 pasal 8 ayat 2 tentang mekanisme pembulatan ke bawah.
Suara perempuan adalah bagian penting untuk menunjukan jalannya demokrasi. Perempuan adalah elemen krusial untuk memastikan keberagaman pandangan dalam mengambil keputusan. (**)