LEMEA, penganan khas suku Rejang menjadi salah satu alternatif pendapatan bagi para perempuan di Desa Tebat Tenong Luar Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu. Makanan olahan dari bambu muda yang difermentasi itu bisa meringankan hilangnya pendapatan keluarga di desa yang terdampak pandemi Covid-19.
“Sejak pandemi saya menjual lemea. Memang hasilnya tak terlalu banyak tapi bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,”
Reti, salah satu pembuat lemea, warga Desa Tebat Tenong Luar
Ibu dari Devi ini mengaku sejak pandemi merebak pada bulan Maret lalu. Pendapatan keluarga mereka yang sehari-harinya mengandalkan dari suaminya berprofesi sebagai pekerja harian lepas memang jauh berkurang. Karena itulah ia mencoba mencari alternatif dengan membuat lemea. Apalagi, bahan baku berupa bambu Betung banyak tersedia di kebunnya.
Saat ini, Reti mengaku bisa memproduksi lemea sebanyak tiga kali dalam sebulan untuk takaran berupa 1 baskom berdiameter 26 sentimeter. Dengan harga jual per bungkus Rp 5.000. Reti mengaku sangat senang telah bisa membantu tambahan pendapatan bagi keluarganya.
“Biasanya saya menjual dengan cara menitip di warung-warung di sekitar Desa Tebat Tenong Luar inilah. Tapi, tak jarang ada pembeli yang datang ke rumah,” kata Reti.
Sementara itu, Poniyati (62) perempuan asal Desa Tebat Tenong luar lainnya yang kesehariannya memang menjadi pembuat lemea mengakui jika penjualan lemea saat ini mengalami peningkatan. Khususnya sejak Maret atau selama pandemi mulai mewabah. Dulu, kata perempuan yang
mengaku membuat lemea hampir 20 tahun ini, sepekannya dia cuma bisa menjual satu ember atau setara 36 kilogram dengan pendapatan berkisar Rp60.000. Namun sejak enam bulan terakhir penjualannya dalam sepekan menjadi dua kali lipat. “Bisa sampai Rp500.000 sebulan” ujar pembuat lemea yang mengaku telah menjual hasil buatan tangannya ini hingga ke luar Provinsi Bengkulu. (rika nofrianti)
Penulis adalah salah satu anggota KPPSWD yang ikut serta dalam workshop Peningkatan Kapasitas Jurnalis Warga dalam Melakukan Peliputan Antisipasi Dampak Covid-19 yang diinisiasi PPMN dan Unesco