Home » Isu » Kekerasan Gender » 19 Tahun UU PKDRT, Mengapa Angka Pelaporan KDRT Masih Tinggi?

19 Tahun UU PKDRT, Mengapa Angka Pelaporan KDRT Masih Tinggi?

Anisa Sopiah

Kekerasan Gender

Bincangperempuan.com- Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan permasalahan serius yang harus segera dituntaskan di Indonesia. Pasalnya, perlindungan terhadap individu, termasuk perempuan dan anak telah dijamin oleh negara melalui peraturan perundangan di Indonesia, salah satunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT).

Pada September 2023 ini, peraturan tersebut tepat berusia 19 tahun. UU tersebut seharusnya sudah memberikan ruang bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengupayakan akses terhadap keadilan dan pemulihan.  Namun kenyataannya, implementasi aturan tesebut belum dilaksanakan secara maksimal.

Demikian disampaikan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Ibu Eni Widiyanti, S.E., MPP., M.S.E dalam acara Kick Off  Meeting Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) kerja sama KPPPA dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia pada Senin (04/09/2023). 

Baca juga : Kembali Memaknai Body Positivity

“Ada jaminan perlindungan yang terangkum di UUD 45, dan UU lainnya. Perlindungan itu setara untuk perempuan dan anak,” kata Eni. 

“Namun sayangnya jaminan perlindungan ini belum sepenuhnya terlaksana karena masih sering terjadi isu-isu kekerasan terhadap perempuan dan anak dimana perempuan dan anak ini masih menjadi korban dari tindak  kekerasan, dan ini merupakan isu yang sangat besar selama bertahun-tahun hingga saat ini,” lanjutnya. 

Dalam Pasal 1 UU PKDRT tertulis bahwa setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Perempuan Lebih Berisiko Mengalami Kekerasan

Data menunjukkan perempuan memang masih lebih berisiko mengalami kekerasan jika dibandingkan dengan laki-laki. Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SINPHAR) Tahun 2021 yang menunjukkan bahwa 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual maupun kekerasan emosional. 

“Jadi, menjadi anak perempuan lebih berisiko mendapatkan kekerasan,” tuturnya. 

“Kehadiran UU ini didasarkan pada fakta dan data bahwa perempuan lebih banyak menjadi korban,” lanjutnya. 

Kendati demikian, Eni mengatakan hal ini tidak menutup kemungkinan laki-laki menjadi korban KDRT. Namun menurutnya, proses pelaporan dan penanganan kasus tersebut perlu ditelusuri dengan perspektif gender.

“Dalam banyak kasus dimana laki-laki mengaku sebagai korban seringkali ada KDRT tersembunyi yang dialami perempuan korban namun pelaporan perempuan korban atau penanganan kasusnya bisa jadi tidak secepat laju pelaporan atau penanganan pihak pasangannya,” jelas Eni. 

Namun regulasi ini telah berkontribusi pada penurunan angka kekerasan terhadap perempuan. Hasil  Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) menunjukkan penurunan jumlah kekerasan terhadap perempuan, dari 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual pada tahun 2016 menjadi 1 dari 4 perempuan pada survei di tahun 2021. 

Meskipun terjadi penurunan, angka tersebut masih tergolong tinggi, karena artinya masih ada 26,1% perempuan mengalami kekerasan atau sekitar 24 juta perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan. 

Kurun 18 Bulan, Kekerasan Pada Perempuan Tembus 15.921 Kasus

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi saat ini, sepanjang tahun 2022 sampai dengan bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang. 

Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran sejumlah 2.199 kasus. 

Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari-Juni 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 48,04% (7.649 kasus) diikuti di tempat kejadian lainnya kemudian fasilitas umum, tempat kerja, sekolah dan lembaga pendidikan. Sedangkan sebanyak 60% (14.034 Kasus) kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual.

Baca juga: Berantas Stunting pada Anak, Dimulai dari Memastikan Kesejahteraan Ibu

“Sekarang yang paling penting adalah bagaimana korban mau bicara. Sehingga mereka bisa mendapatkan bantuan dan juga pertolongan mengatasi trauma, sekaligus pelaku bisa diberikan efek jera,” kata Eni.

Budaya Patriarki Menjadi Akar Masalah Maraknya Kasus KDRT 

Eni mengatakan penghapusan KDRT kerap mengalami tantangan, salah satu tantangan tersebut adalah masih banyaknya masyarakat yang mewajarkan tindakan KDRT. 

“Upaya yang dilakukan penting sekali supaya tidak menyebar namun sayang sekali masyarakat di Indonesia sering menganggap KDRT adalah hal yang wajar,” ungkapnya. 

Menurut Eni hal ini disebabkan oleh masih eksisnya budaya patriarki di Indonesia. Hal itulah yang membuat sebagian masyarakat masih menormalisasi KDRT di lingkungan keluarga.

“Bahkan perempuan yang korban pun kalau membuat statement ‘memang saya pantas untuk dipukul oleh suami’ sehingga korban ini kemudian tidak melapor bahkan kemudian ujung-ujungnya berdamai dengan pelaku bahkan kadang dipaksa untuk berdamai,” jelasnya. 

Eni mengatakan keadaan terpaksa berdamai tersebut disebabkan oleh sejumlah alasan diantaranya menjaga keharmonisan rumah tangga, mengasihi anak, aib bagi keluarga, perempuan tergantung finansial ekonomi kepada laki-laki yang menyebabkan hal tersebut masih terjadi sampai saat ini. 

Senada dengan Eni, Direktur Eksekutif JalaStoria Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. mengatakan akses untuk menyelesaikan dengan jalur hukum juga belum banyak diketahui masyarakat. Belum lagi KDRT dianggap tabu dan biasa di budaya patriarki. Adanya delik aduan dalam UU PKDRT di beberapa pasal menyebabkan kasus KDRT diselesaikan secara damai, meskipun sebenarnya aturan tersebut sudah diperbaharui melalui UU Nomor 12 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa kekerasan seksual itu tidak lagi delik aduan. 

“Karena masih adanya Pasal 44 45 seringkali penegakan hukumnya kemudian diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat baik itu belum dilaporkan ke penegak hukum atau misalnya mereka menyelesaikan dengan para tokoh agama, didamaikan atau keluarga orangtua dan lainnya atau dilaporkan ke institusi aparat keamanan,” jelas Ninik. 

Oleh karena itu agar kasus ini tidak meningkat, diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2004 dimana tertuang pada Pasal 44 dan 45 yang mana menjelaskan bahwa setiap tindakan kekerasan terhadap rumah tangga akan terkena pidana selama 5 tahun penjara atau denda sebesar Rp15 juta sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku. 

Kampanye Penghapusan KDRT Sebagai Upaya Mendorong Kolaborasi Semua Pihak

Eni mengatakan upaya penghapusan KDRT dapat dilakukan melalui 2 dimensi, yakni dimensi pencegahan dan dimensi penanganan. Dimensi pencegahan dilakukan untuk mencegah supaya KDRT tidak terjadi dan mencegah keberulangan sedangkan dimensi penanganan dilakukan dengan upaya penegakan hukum dan perlindungan serta pemulihan korban. 

Eni menekankan bahwa upaya penanganan memerlukan kolaborasi antar pihak. Upaya penanganan ini mengerahkan segenap sumber daya yang tersedia untuk menindak pelaku, memberikan perlindungan dan pemulihan kepada korban. Dimana unsur negara yang berperan adalah aparatur negara misalnya unit PPA di kepolisian, UPTD PPA yang berperan mengkoordinasikan dan menyediakan berbagai layanan  yang dibutuhkan oleh korban agar dapat pulih dari kejadian tersebut.

Menurut Ninik masih sulitnya implementasi UU PKDRT ini tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Kurangnya sosialisasi dan juga tantangan dalam memberi keadilan bagi korban menjadi dua hal yang ditengarai sebagai masalah yang harus dicari solusinya.

Banyak hal yang menyebabkan KDRT begitu marak di Indonesia misalnya ketidaksetaraan gender, ketidaksetaraan dalam hubungan rumah tangga, ada masalah ekonomi, ketidakadilan sosial, kekerasan keluarga yang merupakan budaya tersembunyi, dan kurangnya pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak individu.

Padahal KDRT ini memiliki dampak yang merugikan secara fisik, psikis dan sosial. Korban KDRT seringkali mengalami luka fisik, luka berat, trauma emosional, depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. 

Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat menyebabkan perpecahan keluarga, disfungsi keluarga, dan reproduksi siklus kekerasan pada generasi berikutnya.

“Penghapusan kekerasan KDRT ini butuh dukungan karena penegakanannya belum dipahami oleh masyarakat dan penegak hukum, sehingga butuh tetap dikampanyekan,” kata Ninik Rahayu.

Oleh karena itu, untuk mengetahui tantangan implementasi UU PKDRT baik dari pihak penegak hukum, lembaga pengada layanan dan tokoh agama, KPPPA dan JalaStoria melakukan Kampanye Penghapusan KDRT. Kampanye ini akan dilakukan secara berkesinambungan selama bulan September 2023 ini. Diawali dengan Kick off Meeting dengan jurnalis, selanjutnya akan ada tiga dialog yang masing-masing akan dihadiri tokoh agama, lembaga pengada layanan dan aparat penegak hukum.

Kemudian akan ada satu pertemuan besar di ruang publik yang melibatkan masyarakat luas sebagai bagian dari kampanye implementasi UU PKDRT.

“Kita akan mendengarkan tantangan yang dihadapi aparat penegak hukum, lembaga penyedia layanan, dan juga tokoh agama dalam penyelesaian KDRT. Tiga institusi ini yang kerap didatangi korban pertama kali,”  kata Ninik.

Dialog dengan tokoh agama akan dilakukan tanggal 8 September 2023.

“Kami mengundang semua representasi agama yang ada di Indonesia. Kami ingin mendengar seberapa besar mereka memberi pemahaman pada publik soal KDRT juga refleksi bila didatangi korban,” kata Ninik.

Dialog dengan pengada layanan akan dilakukan tanggal 12 September 2023. Dialog dengan aparat penegak hukum akan dilakukan tanggal 19 September 2023. Dan acara puncak akan dilakukan di Pelataran Sarinah Jakarta bersamaan dengan car free day pada 17 September 2023.(**)

*) Riki Ardianda turut berkontribusi dalam penulisan liputan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Hukum, KDRT, UU PKDRT

Artikel Lainnya

Kawin Tangkap, Diskriminasi Gender Atas Nama Tradisi

Kawin Tangkap, Diskriminasi Gender Atas Nama Tradisi 

Apa itu KDRT

Melihat atau Alami KDRT? Ini Cara Melaporkannya!

Kenali Jenis dan Dampak KBGO

Leave a Comment