Bincangperempuan.com- Tokoh agama memiliki peran strategis di masyarakat. Mereka merupakan pihak yang menjadi panutan bagi umat beragama. Tidak jarang, sebelum memutuskan untuk berkeluarga calon pasangan suami istri datang kepada para tokoh agama untuk meminta nasihat dan arahan dalam berumah tangga. Bahkan, saat keluarga tersebut berhadapan dengan masalah, tokoh agama merupakan salah satu pihak yang lebih dulu didatangi untuk dimintai arahan penyelesaian masalah.
Tokoh agama juga menjadi tempat mengadu bagi para korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Oleh karena itu, peran tokoh agama sangat penting dalam mencegah, menangani, dan menghapus KDRT. Demikian disampaikan para pemantik dalam acara Dialog Tokoh Agama Mengenai Penghapusan KDRT kerjasama KPPPA dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia pada Jumat (08/09/2023).
“Untuk mengetahui bagaimana proses dari pelaporan KDRT ini, karena biasanya melapor kepada tokoh agama, lalu bagaimana perjalanannya hingga si korban mendapatkan keadilan dan si pelaku mendapatkan efek jera,” tutur Maria Goretty selaku host dalam acara tersebut.
Pemerintah sejatinya sudah menjamin perlindungan dan pemenuhan hak korban KDRT dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang tahun ini genap berusia 19 tahun. Namun ironinya, kasus KDRT masih saja terjadi, bahkan Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari-Juni 2023 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan menurut tempat kejadian, paling banyak dialami KDRT yakni sebesar 48,04% dari total 15.921 kasus. Lantas, bagaimana peran tokoh agama dalam menangani dan mengurangi KDRT di Indonesia?
Tokoh Agama Mengajak Masyarakat Memandang Perempuan dan Laki-laki Sebagai Manusia Seutuhnya
Perwakilan Tokoh Agama Islam, Nur Rofiah, mewakili jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengatakan bahwa banyaknya tingkat kekerasan terhadap perempuan disebabkan karena manusia menyalahgunakan penafsiran agama untuk menyakiti manusia lainnya. Oleh karena itu, menurutnya Tokoh Agama berperan dalam menyebarkan penafsiran yang lebih responsif gender.
Baca juga: Stop Baper dan Membandingkan Diri dengan Orang Lain!
“Karenanya dalam beragama kita harus menegaskan bahwa perempuan itu adalah manusia, manusia seutuhnya serta subjek seutuhnya bukan objek. Pengalaman hak perempuan karena perempuan itu rentan mengalami stigmatisasi, kekerasan hanya karena jadi perempuan. Karena itu tafsir islam itu tidak boleh mengandung kezaliman atas nama siapapun hanya karena jadi perempuan,” tegas Nur Rofiah.
Dharmika Pranidhi perwakilan tokoh agama Buddha menambahkan bahwa dalam agama Buddha untuk mengubah pemikiran kesetaraan gender mempunyai tantangan internal tersendiri.
“Karena tidak mudah menemukan pemuka agama yang paham seperti yang Bu Nur sampaikan bagaimana perempuan itu bisa menjadi manusia yang utuh. Bahkan dari sesama perempuan pun kita tidak menyadari hal itu jadi seringkali kita berdiskusi,” terangnya.
Selain itu, Dharmika mengatakan pihaknya juga kerap mengalami tantangan dalam mempromosikan kesetaraan gender karena masih banyak umatnya yang merasa apabila mengungkapkan kejadian KDRT dianggap sebagai keluarga yang tidak harmonis.
“Dia akan berpikir keluarga saya tidak harmonis, jadi kalau saya bilang nggak harmonis nanti akan jadi momok bagi semuanya ia akan menjadi aib, ya lebih baik saya bungkam lebih baik saya memperlihatkan kalau keluarga saya baik baik saja,” ungkapnya.
Oleh karena itu, upaya pengarusutamaan gender dilakukan dengan mengajak perempuan dan laki-laki berperan setara dan di dalam berumah tangga. “Harus seimbang, tugas pengasuhan biasanya balik lagi kepada perempuan dan perempuan ingin mengaktualisasikan dirinya dan terjadilah KDRT jadi tidak bisa mencari nafkah dan lain sebagainya,” jelasnya.
Pemuka Agama Aktif Mengkampanyekan Penghapusan KDRT
Perwakilan Agama Katolik, Sr. Stefani Rengkuan mengatakan bahwa Gereja Katolik sudah sejak lama mempromosikan UU PKDRT yang diupayakan oleh para tokoh agama dengan menjalankan perintah yang tertuang dalam Al-Kitab.
“Di dalam Kitab sendiri mengatakan bahwa manusia itu adalah memiliki harkat dan martabat yang sama. Apabila seseorang menyadari bahwa tugas dan perannya sebagai perempuan dan laki-laki sudah pasti kekerasan tidak akan terjadi dalam rumah tangga,” terangnya.
Sr. Stefani mengatakan bahwa beberapa Gereja Katolik di Indonesia memiliki komisi-komisi di dalamnya dan membentuk jejaring di tingkat-tingkat Keuskupan yang totalnya sebanyak 37 Keuskupan di Indonesia.
“Apabila ada pelaporan KDRT, dibantu oleh tim khusus yang dibuat di setiap Keuskupan. Entah itu komisi keluarga yang membantu hingga sampai pada akhirnya si korban membutuhkan penanganan khusus,” terangnya.
Praktik yang sama juga dijalankan oleh Gereja Kristen di Indonesia. Pdt. Sifra Glorianthy perwakilan dari Agama Kristen mengatakan bahwa pihaknya juga membekali para pendeta melalui sejumlah pelatihan untuk dapat mendampingi kasus KDRT.
“Para pendeta dibekali untuk sama-sama melihat bahwa ciptaan Allah itu sama baik dari laki-laki maupun perempuan itu sederajat dan sama kastanya. Kita sebagai umat tidak melihat konteks yang kadang kala kita keliru untuk memaknai. Oleh karena itu kami para pendeta dibekali dan kami belajar bahwa issue tentang kekerasan ini harus hidup dalam keadilan,” tutur Pendeta Sifra.
Baca juga: Dari Tiara Komala, Berjuang Untuk Hak Penyandang Disabilitas di Sekitarnya
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa para pendeta dibekali untuk mendampingi pasangan suami istri dimana sebelum mereka masuk ke bahtera pernikahan suami dan istri memiliki hubungan yang setara supaya setelah menikah akan membangun kehidupan dalam rumah tangga yang harmonis.
Mendorong Umatnya Menghapus KDRT
Perwakilan tokoh Agama Hindu Kadek Nur Mantik mengatakan bahwa pihaknya berupaya terus memberikan sosialisasi terhadap UU PKDRT utamanya kepada para perempuan. Namun, mereka masih menemui tantangan dari internal perempuannya sendiri, untuk itu mereka melakukan upaya konseling pranikah agar kesadaran akan pentingnya melindungi diri sendiri tumbuh di dalam internal perempuan.
“UU PKDRT diciptakan dan dilahirkan, merasa dapat pengayoman dan dilindungi oleh pemerintah. Namun, tidak semua perempuan terbuka terhadap apa yang dia rasakan karena mereka memikirkan nama baiknya serta nama baik keluarganya serta lingkungan hidupnya karena mereka sudah memiliki pilihan sendiri,” terangnya.
“Yang sudah dilakukan tokoh-tokoh agama baik itu pemuka agama para tokoh Agama Hindu mengadakan konseling pra nikah yang mungkin sangat ditekankan yang mana kami mengingatkan kepada setiap insan yang akan memasuki kehidupan berumah tangga yaitu tujuan berumah tangga itu Moksartam Jagathita Ya Ca Iti Dharma, mencapai kebahagiaan lahir batin dunia akhirat,” tambahnya.
Pembekalan serupa juga dilakukan oleh Agama Konghucu yang disampaikan oleh Perwakilan tokoh agama Konghucu Ponnie Wijaya.
“Peran tokoh agama di sini kita sebagai tokoh agama Konghucu kita sering menyampaikan bahwa pada saat pernikahan pasti akan disampaikan pembekalan-pembekalan supaya di dalam rumah tangganya itu selalu harmonis,” terangnya.
“Ada satu ayat yang selalu ditekankan terdapat pada kitab Cung Yung yaitu “keselarasan hidup bersama anak istri itu laksana yang ditabuh harmonis. Kerukunan antara suami dan istri membangun damai dan bahagia. Maka demikianlah engkau hendaknya di dalam rumah tangga bahagiakanlah istri dan anak-anakmu. Maka dengan demikian ayah bundamu tentramlah hatinya. Dengan ayat ini kita pada saat pra-nikah selalu kita bongkar dan ayat ini harus disampaikan karena ayat di dalam ini mengandung makna yang begitu besar dalam berumah tangga,” tambahnya.
Melalui ayat ini, Ponnie menuturkan bahwa pihaknya terus berusaha mensosialisasikan kepada umat melalui Changtai di tempat-tempat kebaktian, mengadakan seminar-seminar baik via online maupun offline dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten, serta bekerjasama dengan Wahana Visi dan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak untuk menyampaikan kepada umat Konghuchu bahwa hidup harmonis itu sangat diutamakan meskipun hidup tidak terlepas dari permasalahan yang ada.
“Dengan adanya UU PKDRT tersebut kita sosialisasikan, umat berani untuk menyampaikan kepada kami untuk masalahnya tersebut sehingga kita bisa memberi solusi” katanya.
Perwakilan dari penghayat kepercayaan Is Werdiningsih mengatakan memang tidak mudah untuk menggali informasi dari korban KDRT. Oleh karena itu, pihaknya memiliki lembaga penguatan yang bertugas untuk mendampingi korban KDRT, memberikan konseling serta membantu korban menagmbil langkah selanjutnya dalam kasus tersebut.
“Memang tidak mudah untuk menggali korban itu mau berbicara ya bu. Jadi di penghayat itu tidak menunjuk satgas khusus, namun ada lembaga perempuan hayati dengan lembaga untuk penguatan. Korban ini tentunya kan mencari orang yang apa nyaman untuk diajak bicara, jadi kita menciptakan ruang ruang konseling pada saat ada pertemuan ruang konseling di mana dia bisa menyampaikan dengan bebas dengan tanpa ada penghakiman,” jelasnya.
“Yang paling penting adalah pada saat pasca perpisahan penguatan terhadap perempuannya ada perempuan yang memang sudah bekerja, ada perempuan yang belum bekerja nah kita kembalikan lagi konsekuensi itu akan ada konsekuensinya itu meminimalisir konsekuensi pilihannya mana yang sesuai dengan si korban tersebut. Itu yang selalu kami dampingi jangan sampai nanti kekerasannya berulang lagi,” tambahnya.
Dari dialog tokoh agama tersebut, Maria Gorrety mengambil kesimpulan bahwa rata-rata semua agama sudah memberikan pembekalan di awal pra pernikahan. Dengan begitu, harapannya baik laki-laki maupun perempuan sudah memahami dan tidak lagi melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
“Tetapi hal inilah yang menjadi catatan kita bersama, sudah dilakukan secara maksimal tetapi masih saja terjadi kekerasan dan setiap tahunnya terus meningkat. Banyak perempuan yang takut dan berpikir tidak ada jaminan dan membuat mereka tidak mau berkata,” jelasnya.
Oleh karena itu, komitmen yang kuat dari kedua pasangan, baik laki-laki maupun perempuan untuk saling mengasihi dan tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga menjadi kunci keberhasilan penghapusan terhadap KDRT. Apabila terjadi kekerasan, segara ditindaklanjuti sesuai prosedur yang sudah dilakukan oleh masing-masing agama karena kekerasan bukan warisan dan harus diselesaikan. (**)