Home » Tokoh » Siti Syawaliyah, Wasit Perempuan Pertama di Aceh

Siti Syawaliyah, Wasit Perempuan Pertama di Aceh

Nurul Hasanah

Tokoh

Siti Syawaliyah bisa dikatakan kembali mencetak sejarah kehebatan perempuan Aceh yang sudah diakui dunia. Pada masa kolonial Belanda, ada Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan Laksamana Malahayati, pahlawan perempuan yang ikut bergerilya, memimpin di barisan terdepan, mengacungkan pedang, dan menumpas kolonial Belanda di Tanah Aceh. Aksi heroik mereka memukul mundur Belanda menjadi sejarah yang tidak terlupakan dalam ingatan banyak orang. 

Begitu pun dengan Siti, kehadirannya menjadi wasit perempuan dan satu-satunya di Aceh pada olahraga sepak bola yang masih dianggap maskulin dan tabu bagi perempuan menyegarkan ingatan kita kembali akan ketangguhan perempuan Aceh. 

Bincangperempuan.com– Ketertarikan Siti pada dunia olahraga dimulai sejak dara kelahiran Langsa, 30 Desember 2000 ini duduk dibangku Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di kota setempat. Bermula saat guru di sekolahnya itu menawari Siti ikut seleksi Pekan Olahraga Seni (Porseni) tahun 2016. Ia diajak untuk mewakili sekolahnya mengikuti kejuaraan olahraga tingkat daerah cabang atletik. 

Saat itu, Siti berhasil meraih juara 1 tingkat daerah se-MAN Kota Langsa dan berhasil melanjutkan ke babak provinsi. Namun sayangnya, ia gagal melanjutkan ke tingkat nasional karena tersingkirkan pada Porseni babak tingkat provinsi yang pada waktu itu berlangsung di Takengon, Aceh Tengah.

Meski gagal, pengalaman itulah yang mengantar kecintaan Siti pada dunia olahraga. 

Pasalnya, Siti mengaku lebih senang dengan ilmu sains terapan. Mimpinya menjadi peneliti dan berkuliah di Fakultas MIPA. Semasa sekolah, ia sering mewakili sekolahnya ikut olimpiade sains. Walaupun langkahnya selalu terhenti saat hendak mewakili provinsi. 

Dari situ, Siti memutuskan banting stir mencoba peruntungan prestasi di dunia olahraga. “Mana tahu di sinilah yang sebenarnya bakat saya,” kata Siti saat ditemui pada Rabu (16/8/2023).

Semenjak Porseni usai, hari-harinya dipenuhi dengan latihan. Ia pun bergabung dengan Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) Kota Langsa untuk menekuni bakatnya itu. Hasil latihan Siti pun berbuah manis, ia berhasil memenangkan kejuaraan atletik Pra Pekan Olahraga Aceh (PORA) di Jantho tahun 2018 dan mendapat juara III cabang lomba atletik lari jarak jauh 10 km pada PORA 2018.  

Semangat dan ketekunannya saat berlatih PORA ini lah yang kemudian menjadi titik awal Siti berkecimpung dalam dunia perwasitan. Salah seorang Asisten Wasit Liga 1 dari Aceh senang dengan semangat yang dimiliki Siti hingga mengajaknya untuk bergabung menjadi wasit. Tawaran itu awalnya tidak langsung diiyakan karena belum memiliki pengalaman menjadi wasit. Sampai pada akhirnya, ia memutuskan mau mencoba menjadi wasit dan mencari tahu dunia sepak bola khususnya pengetahuan menjadi seorang wasit.

Ia mengawali karirnya sebagai wasit profesional dengan mendapatkan lisensi Perwasitan C-3 Sepak Bola di Langsa tahun 2019, yang kemudian bernaung di Asosiasi Kota (Askot) Langsa. Bermodal lisensi C–3, Siti mulai memimpin sejumlah pertandingan sepak bola di kabupaten/Kota Langsa saat itu.

Kemudian, karirnya di dunia perwasitan terus meroket seiring mendapatkan lisensi C-2 dengan melanjutkan kursus perwasitan pada tahun 2021 di Padang. Tidak puas sampai di situ, tahun berikutnya Siti mengantongi lisensi C-1 yang diadakan Asosiasi PSSI Provinsi Jawa Tengah. Saat itu, ia menjadi satu-satunya peserta perempuan dari total 51 peserta. Dengan lisensi wasit level tiga itu, Siti bisa memimpin permainan sepak bola tingkat nasional khusus Putri. Saat ini, ia juga bernaung sebagai salah satu anggota Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Aceh.

Baca juga: Cerita Twineester Melawan Stigma Penari Hip Hop di Aceh

Diperkirakan sudah lebih dari 100 pertandingan sepak bola yang telah dipimpin Siti sepanjang karirnya menjadi wasit, baik menjadi asisten, wasit cadangan, maupun wasit tengah. Beberapa turnamen yang telah dipimpin yakni pertandingan sepak bola PSSI tingkat remaja bahkan pernah juga menjadi wasit di Turnamen Sepak Bola Antar Kampong (TARKAM).

Kecintaannya terhadap olahraga pun lambat laun semakin besar, Siti menunda kuliah selama setahun dan giat berlatih selama itu sampai akhirnya tahun 2019 ia resmi tercatat sebagai mahasiswa Penjaskesrek Universitas Syiah Kuala (USK). Ia daftar melalui jalur prestasi dan juga mendapat beasiswa selama menyelesaikan masa studi sarjananya.

Stigma dan Terbentur Aturan Syariat

Perjalananan Siti memilih berkarir menjadi wasit kerap mendapatkan banyak stigma negatif karena dianggap melanggar aturan syariat terutama dari segi pakaian dan perilaku. Lagi-lagi, sepak bola dianggap merupakan olahraga maskulin yang hanya dapat dimainkan laki-laki saja. 

“Kalau dibilang sepak bola ini bajunya ketat, olahraga lain seperti itu juga. Tujuan kita berkiprah di olahraga ini untuk berprestasi bukan untuk menampakkan body diri,” kesal Siti mengingat stigma negatif itu. 

Padahal, saat bergabung menjadi wasit ia menargetkan bisa tampil di Pekan Olahraga Nasional (PON) 2024) untuk membuka mata masyarakat bahwa perempuan Aceh juga bisa berprestasi terutama dalam bidang olahraga maupun bidang apapun. Lebih jauh, ia juga berharap  menjadi wasit sampai turnamen sepak bola internasional FIFA. 

Sayangnya, tidak semua masyarakat mendukung, acap kali ia mendapati kolom komentar Instagramnya dipenuhi penolakan terhadap wasit perempuan. Mereka mencemooh mimpi Siti dan mengatakan kehadiran wasit perempuan di Aceh bakal menimbulkan malapetaka, musibah, hingga merupakan tanda-tanda kiamat. 

“Kalau di Instagram komentarnya itu ‘Ka hanco donya (sudah hancur dunia), ‘Ka jahee donya (kembali lagi ke zaman sahil/bodoh), kebanyakan komentar itu justru datang dari kalangan laki-laki. Padahal, mereka kalau dari pakaian juga sering melanggar aturan syariat,” katanya. 

Ketidaksetujuan wasit perempuan juga pernah diterima saat memimpin pertandingan di lapangan. Namun, kritikan itu tidak langsung disampaikan kepadanya. “Yang tidak suka biasa datang ke panitia bertanya mengapa wasitnya perempuan, bukan sama saya langsung,” katanya.

Tidak hanya kritikan, Siti sebagai wasit perempuan pernah mendapat komentar seksis beberapa kali seperti kalimat “wasitnya cantik kali, jadi tidak bisa main bola lagi kita”, begitulah bunyi kalimat yang dilontarkan pemain sepak bola laki-laki. 

Namun, komentar itu tidak terlalu mengganggu performanya menjadi wasit perempuan. Sebab, keseringannya selama ini keputusannya menjadi wasih dihargai oleh pemain. “Candaan laki-laki di lapangan  seperti itu pasti ada, bahkan sering kita terima kata-kata kotor, tapi itu sudah biasa,” katanya. 

Mengenai aturan syariat, ia mengatakan memang aturan daerah membuat perempuan sulit bergerak dan berkembang meskipun dalam hal positif ke depannya. “Saya memilih menjadi wasit dari 2018 mula berkarier itu ingin 2024 harus bisa tampil di PON Aceh. Tetapi, pada saat saya lalui, banyak kendala mulai dari ocehan orang dan yang mengatai-ngatai saya,” katanya. 

Sepak Bola Perempuan Diharamkan

Siti mengaku kalau tidak menjadi wasit, ia ingin menjadi pemain sepak bola. Puncaknya, tahun 2019 ia menjadi pemain sepak bola dan mengikuti turnamen seleksi Piala Menpora U-17 Putri yang dihelat Badan Liga Sepakbola Pelajar Indonesia (BLiSPI) Aceh. Ia mencari anggota tim secara mandiri dan menamakan kelompoknya Seulanga, diambil dari nama bunga khas Aceh. 

Turnamen itu berlangsung di Stadion Perta Arun Gas, Lhokseumawe. Tim U-17 Seulanga besutan Siti berhasil memenangkan pertandingan dan akan bersiap untuk bertanding lagi di Bandung mewakili Aceh. Sebelum sempat melaju ke babak berikutnya, penolakan datang  empat hari setelah seleksi turnamen selesai digelar dari Forum Komunikasi Organisasi Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) Pengawal Syariat Islam.

Mereka meminta BLiSPI membatalkan seleksi turnamen tersebut karena menilai kegiatan sepak bola putri melecehkan martabat, kearifan lokal, dan marwah masyarakat Aceh dengan mengeksploitasi perempuan Aceh. 

“Di situlah ada keributan. Ini merupakan kejadian besar dan sangat kami sayangkan. Karena 2019 itu kami masih dasar dan 2024 kami sudah menargetkan untuk tampil di PON 2024,” sesalnya. 

Tidak hanya itu, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga mengeluarkan fatwa haram terhadap sepak bola perempuan Aceh karena dianggap bukan budaya masyarakat Aceh dan berpotensi menimbulkan reaksi yang yang tidak baik, akan memicu kekacauan di kalangan masyarakat. Alasan lainnya karena tidak adanya fasilitas dan infrastruktur yang mendukung seperti lapangan tertutup. 

“Teman-teman akhirnya putus asa di situ dan kembali lagi ke dunia mereka,” katanya. 

Padahal, mereka yang diajak bergabung ke dalam tim U-17 Seulanga oleh Siti ini merupakan pelajar yang dulu belum mempunyai kegiatan yang positif. Justru, masuknya mereka ke menjadi atlet sepak bola mengubah karakter mereka menjadi lebih baik. 

“Saya salut kali dengan mereka dari awalnya yang tidak mau pakai hijab dan merokok bisa berubah ke arah yang lebih baik saat diajak bergabung menjadi atlet sepak bola. Mereka akhirnya mau pakai hijab mewakili Aceh dan tidak merokok lagi agar bisa bertanding dan menjadi atlet,” ungkapnya. 

Baca juga: Pemenuhan Hak Perempuan dalam Situasi Bencana Masih Belum Ideal

Untuk itu, ia berharap Pemerintah Aceh lebih bijak lagi membuat aturan terutama yang berpihak kepada perempuan agar bisa tampil di lapangan atau tempat umum. 

Akibat diharamkannya sepak bola perempuan, Siti sebagai wasit juga mengaku sulit mengepakkan sayapnya sebab selama ini hanya memimpin pertandingan sepak bola yang dimainkan tim laki-laki sebab tidak ada pemain sepak bola perempuan. Padahal, berdasarkan aturan PSSI, kehadiran wasit perempuan untuk memimpin pertandingan pertandingan sepak bola putri. 

“Kalau di Aceh, saya setiap hari uji coba atau TARKAM yang dipimpin itu adalah tim laki karena tidak ada pemain putri sehingga sulit mengasah atau melihat potensi lebih jauh sebagai wasit,” katanya.

Namun, ironisnya tantangan wasit perempuan juga masih berpolemik di tingkat nasional. Siti mengatakan wasit perempuan di tingkat nasional juga masih belum mendapatkan posisinya. Beberapa kejuaraan sepak bola perempuan malah tetap dipimpin oleh wasit laki-laki. 

“Jadi kapan sih wasit perempuan itu bisa tampil di lapangan?” pungkasnya penuh tanya. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Monika Maritjie Kailey Perempuan Adat Penjaga AruHan Kang, Perempuan Asia Pertama Peraih Nobel Sastra

Monika Maritjie Kailey: Perempuan Adat Penjaga Aru

Joti Mahulfa, Bahagia Melihat Senyum Para Penyitas yang Sudah Pulih

Tiara Komala, Berjuangan Untuk Hak Disabilitas di Sekitarnya

Dari Tiara Komala, Berjuang untuk Hak Penyandang Disabilitas di Sekitarnya 

Leave a Comment