Home » News » Queen Bee Syndrome: Fenomena Sosial di Tengah Dominasi Maskulinitas

Queen Bee Syndrome: Fenomena Sosial di Tengah Dominasi Maskulinitas

Bincang Perempuan

News

Queen bee syndrom

Bincangperempuan.com- Sindrom Ratu Lebah, atau lebih dikenal dengan Queen Bee Syndrome, merupakan fenomena sosial yang dipopuler G.L. Staines, TE Jayaratne, dan C. Tavris pada tahun 1973. Fenomena tersebut berdasarkan riset yang dilakukan ketiganya terhadap pola perilaku tertentu di kalangan perempuan yang sukses mencapai posisi-posisi tinggi di dunia kerja, terutama di organisasi yang didominasi oleh laki-laki.

Ditemukan kondisi beberapa perempuan yang mencapai kesuksesan tersebut menjadi cenderung tidak mendukung perempuan lain untuk meraih kesuksesan serupa. Sebaliknya mengekang atau tidak mendukung perempuan lain yang berusaha maju secara profesional.

Elif Baykal et.al (2020) dalam “Queen Bee Syndrome: A Modern Dilemma of Working Women and Its Effects on Turnover Intentions” penyebab munculnya Syndrome Queen Bee akibat belum adanya peningkatan yang berarti dalam kemajuan karier perempuan setelah memasuki dunia kerja, meskipun secara jumlah partisipasi perempuan di dunia kerja meningkat.

Terlepas dari adanya undang-undang di sejumlah negara maju dan dokumen internasional yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua karyawan di semua bidang kehidupan kerja, perempuan dan laki-laki dihadapkan pada hambatan tak terlihat yang tidak dinyatakan secara jelas dalam dunia kerja. Kondisi ini menggambarkan perempuan yang dapat mengambil bagian dalam dunia kerja yang didominasi laki-laki, cenderung menjauh dari sifat feminin yang merupakan inti dari kepribadian perempuan. Sebaliknya menjadi maskulin, akibat fitur maskulin sebagai prototipe utama dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.

Untuk mengambil peran utama dalam dunia kerja, perempuan membungkam intuisinya, menekan emosinya, dan mengedepankan sarana komunikasi dan rasionalitas. Perempuan secara sadar menjauh dari jenis kelamin mereka dan mempersulit hidup mereka dalam lingkungan kerja. Tidak jarang yang menjadi bawahan memilih untuk berhenti atau pindah tempat kerja.


Karakteristik Sindrom Queen Bee

Sindrom Queen Bee dicirikan oleh beberapa perilaku yang khas. Perempuan yang menderita Sindrom Queen Bee cenderung menjadi pengekang, tidak menyediakan mentorship atau bimbingan kepada junior (baca: perempuan muda) yang berusaha maju dalam karier mereka. Selain itu, penderita Queen Bee Syndrome cenderung berusaha menjaga status quo yang ada sehingga tidak membantu menciptakan peluang baru bagi perempuan lain.

Berikut beberapa karakteristik Syndrom Queen Bee yang dilansir dari peopleHum

1. Haus kekuasaan dan kendali

Perempuan dengan Syndrome Queen Bee menunjukkan keinginan kuat akan kekuasaan dan kendali yang dapat menyebabkan mereka menunjukkan perilaku diskriminasi atau merendahkan perempuan lain untuk mempertahankan posisi dominan mereka.

2. Sangat kompetitif

Beberapa orang mungkin menganggap rekan kerja perempuan sebagai saingan atau rival, sehingga cenderung merasa terancam oleh kesuksesan perempuan lain.

3. Memiliki tingkat empati yang rendah

Perempuan yang menunjukkan Syndrom Queen Bee cenderung tidak bersimpati dengan kondisi malang yang menimpa perempuan lain, sebaliknya berpotensi mengarah pada sikap meremehkan.

4. Seorang perfeksionis

Menerapkan standar yang tinggi untuk kinerja diri sendiri dan perempuan lain, sehingga menjadi kritis jika standar ini tidak tercapai.

5. Takut akan kegagalan

Syndrome Queen Bee  membuat perempuan menjadi takut gagal dan terlihat rentan jika mengalami kegagalan. Individu ini terdorong untuk memvalidasi diri sendiri melalui tugas-tugas dengan menunjukkan otoritas.

6. Preferensi untuk bekerja dengan laki-laki

Perempuan dengan Queen Bee Syndrome memiliki preferensi untuk bekerja dengan laki-laki daripada perempuan lain, karena menganggap laki-laki lebih kompeten atau merasa lebih nyaman di lingkungan yang didominasi laki-laki.


Apa yang harus dilakukan?

Untuk mengatasi Sindrom Queen Bee diperlukan upaya kolektif bersama. Di antaranya menciptakan budaya kerja yang mendukung kesetaraan gender dan kolaborasi. Ini dapat dilakukan dengan menyediakan peluang mentoring, pembinaan, dan pengembangan untuk perempuan di semua tingkatan organisasi.

Selanjutnya, perempuan-perempuan yang telah mencapai kesuksesan dalam karier harus menyadari pengaruh dan tanggung jawab mereka sebagai teladan bagi perempuan lain. Mereka harus dapat memainkan peran yang positif dengan membantu, memberikan saran, dan memberikan kesempatan bagi perempuan muda yang berada di bawah mereka untuk berkembang. Sejatinya perempuan yang berdaya, adalah yang dapat memberdayakan perempuan lain untuk menjadi tangguh dan kuat. (Diandra/eL)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perkuat Bisnis Media, Bincang Perempuan Ikuti Advanced Mentoring for Media Sustainability

Perempuan di Kancah Politik, Beragam Bias yang Dihadapi

Perempuan di Kancah Politik, Beragam Bias yang Dihadapi

Sri Astuti, Perempuan Pelestari Budaya Rejang Umeak Meno’o

Leave a Comment