Home » Budaya » Film » Lewat Unnatural Series, Bingkai Forensik Menjadi Dekat dan Humanis

Lewat Unnatural Series, Bingkai Forensik Menjadi Dekat dan Humanis

Hania Latifa

Film

Bincangperempuan.comForensik. Mungkin kalau series terakhir yang kita tonton adalah Partners for Justice (2018), bisa jadi kita sebagai orang awam sepakat bahwa forensik bukanlah hal yang mudah kita perbincangkan saat minum teh anget bersama teman sehabis hujan. Secara definisi, forensik nyatanya memang jauh dari kita. Apabila bersinggungan dengan forensik, kita sudah pasti akan bersangkutan pula dengan sistem peradilan pidana dan hukum

Jika melihat formula Partners for Justice, kegiatan forensik jelas terasa eksklusif dan menegangkan. Kita sebagai penonton pun juga sepakat dengan itu. Namun, bagaimana jika forensik ternyata lebih dekat dan bersahabat dari yang kita bayangkan? Dan, inilah yang ditawarkan oleh Unnatural, series Jepang bertemakan patologi forensik yang tayang 2018 sebanyak 10 episode tersebut.

UDI: Forensik yang humanis dan tidak eksklusif

Premis Unnatural sebetulnya tidak terlalu spesial, sama seperti series kriminal pada umumnya, yaitu tentang lika-liku Mikoto Misumi (Satomi Ishihara) sebagai ahli patologi forensik dan timnya dalam menangani kasus kematian yang tak wajar di bawah laboratorium UDI (Unnatural Death Investigation). 

Patologi forensik sendiri adalah salah satu cabang ilmu forensik yang tujuan akhirnya ialah menentukan penyebab serta cara kematian berdasarkan pemeriksaan pada mayat. Titik humanis dan dekat ini sudah mulai dibuka dengan pengenalan UDI sebagai lembaga independen dan netral, seolah mengobarkan bahwa forensik bisa diakses dengan mudah oleh publik.

Biasanya, hanya orang dengan profesi peradilan atau harus melewati pihak berwenang terlebih dahulu supaya dapat membuat permintaan otopsi mayat. Namun, di UDI, semua orang tanpa terkecuali, bisa menggunakan jasa UDI. Meskipun tentu saja tidak gratis dan mesti membayar sekitar 350,000 Yen atau setara dengan Rp38.2 juta.

Pun, dalam episode pertamanya, kita juga ditampilkan huru-hara para anggota UDI, seperti kisah cinta Mikoto yang ternyata tidak berjalan lancar karena ia masih terlalu memprioritaskan pekerjaannya. Lalu, ada juga anak magang yang bertugas sebagai dokumentator, Kube Rokuro (Masataka Kubota), yang terkadang masih suka mual jika otopsi sedang berlangsung.

Ada pula, Shoji Yuko (Mikako Ichikawa) yang sering galau karena masih belum menemukan pacar, padahal ia sendiri sudah sering sekali ikut kencan buta. Menariknya lagi, series ini terang-terangan menyatakan bahwa, selain pekerjaannya yang bau dan berbahaya, ahli forensik di UDI juga memiliki upah yang rendah, yang di satu sisi ini cukup dimaklumi karena UDI sendiri adalah lembaga yang baru berdiri.

Huru-hara yang ditampilkan dengan signifikan itulah yang membuat Unnatural terasa lebih dekat dengan kita. Oh, ternyata ahli forensik ada juga yang tidak kuat dengan bau mayat. Ternyata, mereka juga patah hatinya sama sedihnya dengan yang lain. Mereka ternyata juga galau-galau dan kepingin punya pacar seperti yang lainnya. Mereka sama, ternyata.

Dengan mengikis tone mencekam, ciri khas yang sering ada dalam drama misteri, Unnatural menyambut kita dengan sisi lain kehidupan bahwa, manusia, bahkan setelah akhir hidupnya, tidak akan pernah kehabisan cerita. Ini ditekankan oleh Mikoto pada episode kedua kepada atasannya, Kamikura Yasuo (Yutaka Matsushige), yang meminta untuk tidak memperpanjang suatu kasus karena lebih cepat menutupnya sebagai kasus bunuh diri ketimbang menyelidiki lebih lanjut. Mikoto menekankan bahwa ia sebagai ahli forensik tidak akan mengabaikan permintaan tolong siapa pun, apalagi dari orang yang telah meninggal sekalipun.

Baca juga: Cherophobia: Menyelami Kekhawatiran terhadap Kesenangan Berlebihan

Rakus angkat isu sosial

Kehumanisan forensik yang digaungkan Unnatural tidak sampai di situ saja. Unnatural rupanya juga menginginkan kita sebagai penonton untuk ikut makin humanis lewat isu-isu sosial yang diangkat. Mulai dari isu buruh, bullying, sampai keluarga, Unnatural tidak berupaya mengintimidasi moral kita, sebagaimana biasanya disajikan dalam series kriminal lain yang menitikberatkan dramatisasi kekerasan dan kejahatan.

Sebaliknya, Unnatural berusaha untuk mengukuhkan empati kita dan memperkaya moral kita lewat cerita-cerita yang diangkat dalam series ini. Hal tersebut salah satunya ditunjukkan dengan bagaimana Unnatural mengangkat isu bullying secara hati-hati dalam episode 7, yaitu dengan menghindari formula “korban yang juga menjadi pelaku”. Karena itulah, pesan yang dibawakan Unnatural terkait isu bullying terasa lebih manusiawi dan lebih memberikan gambaran bahwa kita memiliki banyak pilihan untuk mencegah terjadinya bullying di sekitar kita.

Selain itu, isu buruh juga merupakan isu yang paling vokal disuarakan dalam Unnatural. Hal ini bisa dilihat dalam episode 4 ketika Mikoto dihadapkan dengan kasus seorang kepala rumah tangga bernama Yuto Sano yang tewas akibat kecelakaan saat berkendara. Sebetulnya, siapakah yang bersalah di sini? Pihak perusahaan yang memaksa para karyawannya lembur hingga 140 jam? Pihak bengkel yang memperbaiki motor korban? Atau, pihak rumah sakit yang sempat memeriksa kesehatan tubuh korban?

Di sini, Mikoto dihadapkan dengan arti sesungguhnya dari pekerjaannya, yaitu bertanggung jawab untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab. Kita pun kemudian menyaksikan bahwa isu buruh yang tidak berkeadilan sejatinya adalah masalah sistemik dan bukan masalah perseorangan. Kita juga diperlihatkan, bahwa bukan hanya satu nyawa saja yang hancur, tetapi juga akan ada banyak kehidupan yang terampas sekalinya suatu perusahaan berbuat zalim kepada pekerjanya.

Senggol keras isu gender secara nanggung

Tepatnya pada 28 Februari 2023, kabar inspiratif datang dari Yoneda Ayu yang terpilih sebagai kandidat astronot perempuan oleh JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency). Yoneda sendiri merupakan salah satu astronot termuda dan juga astronot perempuan ketiga dari Jepang yang akan terbang di luar angkasa. Sebelum terpilih, ia adalah seorang dokter bedah Rumah Sakit Toranomon dari lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Tokyo. 

Meski begitu berprestasi, nyatanya Yoneda tetap tak terbebas dari praktik diskriminatif gender. Oleh seorang wartawan, ia sempat dihujani pertanyaan yang tidak relevan dan hanya ditujukan kepadanya hanya karena ia seorang perempuan, yaitu menanyakan apakah ia sudah memiliki pasangan atau anak. Pertanyaan yang nantinya bisa mengembangkan sudutan diskriminatif lanjutan, seperti mempertanyakan nasib keluarga dan anak atau partnernya saat ditinggal olehnya. Yoneda juga ditanyai apa kontribusinya sebagai perempuan muda terhadap pengembangan teknologi luar angkasa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, mirisnya, tidak turut ditanyakan kepada kandidat astronot laki-laki, yaitu Suwa Makoto.

Peristiwa yang dialami oleh Yoneda Ayu sebetulnya juga telah diangkat dalam series Unnatural lewat tokoh Mikoto. Dalam kasus pembunuhan di episode 3, Mikoto sempat diragukan kredibilitasnya sebagai saksi terdakwa hanya karena ia seorang perempuan. Bukan main, ia bahkan juga sempat direndahkan, lagi-lagi hanya karena ia seorang perempuan, oleh dua laki-laki dari profesi yang berbeda, yaitu jaksa penuntut dan dokter forensik yang memiliki pengalaman membedah mayat lebih banyak daripada dirinya. Puncaknya, terdakwa yang Mikoto perjuangkan keadilannya dengan segenap hati malah turut ikut menyangsikan dirinya hanya karena ia seorang perempuan. 

Tahun terbit drama ini adalah 2018. Sayang sekali, praktik diskriminasi terhadap perempuan karena gendernya nyatanya masih dijalankan dengan khidmat sampai sekarang. Terlebih jika kita melihat laporan Kesenjangan Gender Global tahun 2021 yang disusun Forum Ekonomi Dunia, Jepang rupanya duduk di peringkat ke-120 dari 156 negara dalam hal kesetaraan gender. Sejak 2006, mereka turun 40 peringkat. Dari sini, mudah untuk disimpulkan bahwa praktik diskriminasi gender masih diberikan terlalu banyak ruang di Jepang. Dan, hal yang dialami Mikoto, meskipun bersifat fiksi, rupanya tetap valid dan sayangnya masih terjadi hingga saat ini.

Yoneda Ayu berhasil menepis sudutan-sudutan diskriminatif kepadanya dengan berani dan profesional, banyak pula suara yang mengapresiasinya. Lalu, bagaimana dengan Mikoto? Ternyata, Unnatural ingin mengungkapkan realitas yang lain. Mikoto tidak ditakdirkan bisa lantang lewat suaranya sendiri sampai akhir. Alur Unnatural membuat pembuktian kapabilitas Mikoto harus diwakilkan oleh Nakado Kai, rekan forensik laki-laki, karena publik dan terdakwa sangsi terhadapnya yang seorang perempuan.

Meski tetap terasa miris melihat Mikoto yang sampai akhir tidak dipersilakan membuktikan dirinya sendiri, Unnatural sepertinya ingin menunjukkan bahwa laki-laki juga harus dilibatkan dalam memberantas diskriminasi gender, terutama pada perempuan. Hal ini terlihat dengan jelas dari alasan utama Nakado Kai lebih mau didengarkan oleh publik dan terdakwa adalah karena ia bukan perempuan

Meski begitu keras senggol isu gender, nyatanya Unnatural masih belum mau meniadakan candaan seksis dalam ceritanya. Ini diperlihatkan oleh Kube Rokuro yang berbincang dengan seorang jurnalis laki-laki terkait ukuran dada Mikoto. Kube Rokuro sendiri memang ditunjukkan memiliki ketertarikan secara romantis kepada Mikoto. Padahal, Mikoto sendiri sangat tegas menolak pelecehan seksual dan budaya victim blaming. Tidak jelas apa maksud yang ingin ditonjolkan. Apakah Unnatural ingin menunjukkan bahwa laki-laki selalu ambil kesempatan untuk mengobjektifikasi perempuan bagaikan penyakit? Tidak ada ada yang tahu.

Baca juga: Tren Fast Beauty Beserta Dampaknya

Tokoh Perempuan yang terlalu keren dan female friendship

Unnatural sendiri pada dasarnya memang senang menghadirkan banyak sosok perempuan tangguh dan juga penuh empati. Salah satunya adalah si tokoh utamanya sendiri, yaitu Misumi Mikoto yang diperankan dengan sukses oleh Ishihara Satomi. Ini pun dibuktikan dari penghargaan kategori best actress yang diterima Satomi berkat perannya sebagai Misumi Mikoto.

Berkat penulisan karakter Misumi Mikoto yang apik-lah, isu-isu yang diangkat Unnatural menjadi terasa lebih personal, lebih dekat, dan lebih menyentuh kita sebagai penonton. Mikoto hadir tanpa trope ataupun persona seksis sama sekali. Ia tampil setulus-tulusnya sebagai perempuan yang menyukai pekerjaannya sebagai ahli patologi forensik di UDI. 

Ketika kita dihadapkan dengan Mikoto yang tegas menolak mengelabui hasil laporan forensik supaya bisa menjebloskan pembunuh berantai ke penjara, tantangan besar terhadap karakterisasinya pun mulai terlihat. Mikoto yang menolak melanggar etika profesinya ini bisa jadi pas sekali untuk membuat sebagian penonton mencak-mencak. Terlebih lagi, sebelumnya kita sudah diperlihatkan Nakado Kai, rekan kerja laki-laki Mikoto, yang sanggup memprovokasi orang untuk membunuh hingga mendeklarasikan diri bahwa ia akan menghabisi nyawa si pembunuh berantai.

Perbandingan dramatisasi ini tentu saja membuat keluarnya gerutuan, seperti lagi-lagi karakter perempuan kaku, enggak fleksibel. Ini jelas adalah titik paling krusial dari Mikoto, sekaligus juga mengagumkan. Ketegasan Mikoto di sini kembali mengingatkan kita tentang tanggung jawab untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab. 

Saat bukti yang didapatkan tidak cukup untuk memberatkan pelaku, maka tanggung jawab ini seharusnya diberatkan kepada jaksa penuntut dan kepolisian. Dan, idealnya memang harus seperti itu. Mikoto tidak ditampilkan sebagai penggila hukum absolut. Ia juga sempat bimbang apakah keputusannya untuk menolak melanggar etik adalah hal yang tepat. Terlebih, dengan keputusan Mikoto tersebut, besar kemungkinan si pelaku tidak dapat diadili sama sekali. Maka, terasa tepat rasanya ketika Mikoto, yang batas profesinya sebagai ahli forensik, menolak untuk melanggar etiknya. Pun, berkat ini, Mikoto seketika langsung membuat sunyi gerutuan yang menganggapnya, lagi-lagi sebagai karakter perempuan yang kaku.

Satu hal lagi lagi yang membuat Unnatural terasa makin spesial adalah, kepiawaiannya dalam memotret persahabatan perempuan atau female friendship di antara Mikoto dan Shoji Yuko (Ichikawa Mikako). Mikoto dan Shoji memang ditunjukkan sudah saling berteman, tetapi hal itu tak lantas membuat Unnatural menyederhanakan pertemanan mereka berdua. Hal ini pun paling banyak dibuktikan dalam episode 6, yang turut menjadi turning point persahabatan mereka berdua, yaitu ketika Shoji mengatakan bahwa Mikoto hanya rekan kerjanya dan bukan temannya karena kecewa Mikoto tidak terbuka dengannya. Persahabatan perempuan tidak selalu mudah dan bisa memakan waktu yang lama, dan Unnatural turut menyuarakan hal ini sekaligus merayakan proses persahabatan perempuan di antara Mikoto dan Shoji dengan kisah yang sehat dan signifikan. 

Pada akhirnya, yang tersisa dari Unnatural ialah tentang ilmu pengetahuan dan keadilan yang humanis lewat kacamata forensik. Dan, keberhasilan ini pun kemudian dibuktikan dari banyaknya penghargaan yang disabet oleh Unnatural, salah satunya adalah penghargaan untuk Akiko Nogi atas penulisan skenario terbaik dalam 96th Drama Academy Awards serta kategori “Excellent Award” untuk series drama dalam International Drama Festival in Tokyo 2018.

Setelah berpanjang-panjang kata, mungkin dari sini kita dapat merenung, sesungguhnya sampai sejauh mana dramatisasi Unnatural mampu mencerminkan dan mengusik realitas di sekitar kita? Setelah menyaksikan kisah Mikoto dan timnya di UDI, pertanyaan-pertanyaan ini terus menggema.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida

Menanti keadilan bagi hantu-hantu perempuan

Menanti Keadilan Bagi Hantu-Hantu Perempuan

Drakor ‘Queen of Tears’, Kritik Patriarki dan Berbagai Hal Penting bagi Perempuan

Leave a Comment