Home » Isu » Buruh » Larangan Hijab di Industri Perhotelan, Kapan Akan Berakhir?

Larangan Hijab di Industri Perhotelan, Kapan Akan Berakhir?

Yuni Camelia Putri

Buruh

Larangan Hijab di Industri Perhotelan. Kapan Akan Berakhir

Bincangperempuan.com-  Perempuan berhijab menghadapi banyak tantangan untuk mencari pekerjaan. Mereka yang ingin bekerja di industri perhotelan harus menghadapi realita larangan berhijab. Hingga saat ini, larangan berhijab yang diterapkan di industri perhotelan menjadi perdebatan dan kontroversi global. Muncul pertanyaan besar terkait “Apakah industri perhotelan Islamophobia?”

Entahlah! Berbagai kalangan menganggap jika larangan ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap kebebasan beragama dan berekspresi yang seakan jarang diperdebatkan. Nyatanya, industri perhotelan dikenal karena menekankan citra merek dan konsistensi dalam pelayanan kepada pelanggan. Beberapa manajemen hotel menganggap penampilan yang seragam dari para karyawan menjadi tujuan yang harus dicapai.  Tujuan ini bertentangan dengan hak-hak individu untuk mengekspresikan keyakinan agamanya.

Meskipun demikian, larangan berhijab di industri perhotelan telah menciptakan lingkungan yang tidak inklusif bagi para pekerja yang beragama islam. Larangan ini seakan membuat identitas karyawan yang beragam muslim tidak diakui dan dipaksa untuk menentang keyakinannya untuk mendapatkan kesempatan kerja. Dalam konteks ini, kita akan mengkaji lebih jauh tentang alasan di balik larangan berhijab di industri hotel dan dampak terhadap para pekerja.

Baca juga: Aksaraya Semesta Bergerak Bangkitkan Minat Literasi di Bengkulu

Islamophobia atau mempertahankan citra?

Larangan berhijab di industri perhotelan menghasilkan dua kubu pendukung dan kubu penentang aturan ini. Para pendukung larangan berhijab di industri perhotelan menilai jika penampilan karyawan yang seragam merupakan bagian integran dari citra dan kualitas pelayanan yang ditawarkan. Pendapat ini muncul dengan latar belakang profesionalitas dan menjaga keseragaman penampilan selama bekerja.

Berbeda dengan kubu pendukung, kubu penentang aturan ini mengkritik secara keras tentang larangan berhijab di industri perhotelan. Larangan ini dinilai sebagai bentuk diksriminasi dan pembatasan hak individu untuk kebebasan beragama dan mengekspresikan dirinya. Jadi, siapa yang benar?

Sebuah penelitian yang berjudul “Can I get a job if I wear Hijab? An exploratory study of the perceptions of South Asian Muslim Women in the US and the UAE” (2013), menemukan bahwa perempuan berhijab mengalami hambatan dalam mendapatkan pekerjaan terutama di sektor manufaktur, penjualan, dan layanan.  Diskriminasi ini semakin diperparah dalam proses seleksi yang bias terhadap perempuan berhijab di Amerika Serikat atau Uni Emirat Arab. Mereka yang mengenakan hijab kerap dipandang negated oleh pemberi kerja secara interpersonal karena stereotip yang berkembang.  

Dalam penelitian serupa berjudul “Employment discrimination faced by Muslim women wearing the hijab: exploratory meta-analysis” (2021), memaparkan bahwa beberapa perekrut tenaga kerja menyatakan ketakutan terhadap muslim dan mengaitkan hijab dengan fundamentalisme islam dan terorisme. Stigma ini melekat pasca peristiwa 9/11 yang meningkatkan islamophobia. Hal inilah yang menyebabkan perempuan berhijab mengalami penolakan pekerjaan.  

Disisi lainnya, “Creamy and seductive: Gender Surveillance in flight attendant work” (2023) menemukan bahwa industri pariwisata sangat lekat dengan kebijakan yang mengatur tubuh dan penampilan. Untuk itu, mereka yang berhijab dinilai tidak sesuai dengan industri pariwisata yang menuntut penampilan creamy and seductive (menggoda). Penilaian ini juga berkaitan erat dengan kultur patriarki yang masih kental di industri ini.

Teori Butler dalam “Performative acts and gender constitution: An essay in phenomemology and feminist theory” (1988) menjelaskan bahwa gender kerap meniru ideologi gender yang dominan di sekitarnya. Dominasi ini merujuk pada nilai-nilai patriarki yang memengaruhi budaya, kebijakan, atau simbol suatu organisasi. Faktor inilah yang memegang kendali dalam industri pariwisata sehingga penampilan dalam pekerjaan menjadi penting.

Baca juga: Lima Mahasiswi Bengkulu Raih Medali Emas di Kompetisi Inovasi Sedunia

Dampak larangan berhijab

Dalam industri perhotelan, kebijakan larangan berhijab bagi pekerja menghasilkan dampak yang signifikan bagi individu atau industri perhotelan secara keseluruhan. Dampak ini telah menciptakan kerugian secara individu atau industri secara keseluruhan. Larangan berhijab di industri perhotelan menjadi isu kompleks yang melibatkan pertimbangan seputar kebebasan beragama, hak asasi manusia, serta tuntutan bisnis dan budaya industri perhotelan. Beberapa dampak dari larangan berhijab terhadap pekerja muslim di industri perhotelan, diantaranya:

  • Keterbatasan kesempatan kerja. Larangan berhijab di industri perhotelan menyebabkan perempuan muslim kesulitan dalam mencari pekerjaan atau mendapatkan promosi di industri perhotelan. Hal ini telah membatasi mereka untuk mengembangkan karir yang lebih baik.
  • Kurangnya karyawan yang berkualitas. Hal yang tidak dipertimbang lebih jauh tentang larangan berhijab di industri perhotelan adalah kualitas dari karyawan yang dimiliki. Mereka yang merasa tidak nyaman dengan aturan ini akan memilih keluar untuk mencari pekerjaan yang lebih inklusif dan menghargai kepercayaan mereka.
  • Merusak reputasi perhotelan. Larangan berhijab dalam industri perhotelan meninggalkan citra buruk dalam industri perhotelan. Perlakuan diskriminatif terhadap pekerja berhijab dianggap tidak mendukung nilai-nilai keberagaman dan kebebasan berekspresi yang berdampak negatif pada citra perhotelan.

    Pada akhirnya, dampak yang disebabkan oleh larangan berhijab ini harus dipertimbangan oleh industri perhotelan. Larangan berhijab yang diterapkan oleh industri perhotelan dinilai sebagai kurangnya penghargaan terhadap keputusan yang diinginkan untuk dirinya sendiri. Industri perhotelan harus mendukung hak perempuan untuk mengenakan hijab sebagai identitas pribadi dan budaya untuk mempromosikan lingkungan pariwisata yang ramah dan beragam.

    Sumber:

    • Ahmed, S., & Gorey, K. M. (2023). Employment discrimination faced by Muslim women wearing the hijab: Exploratory meta-analysis. Journal of Ethnic & Cultural Diversity in Social Work, 32(3), 115-123.
    • Butler, J. (2020). Performative acts and gender constitution: An essay in phenomenology and feminist theory. In Feminist theory reader (pp. 353-361). Routledge.
    • Pasha-Zaidi, N., Masson, T., & Pennington, M. N. (2013). Can I get a job if I wear Hijab? An exploratory study of the perceptions of South Asian Muslim Women in the US and the UAE. International Journal of Research Studies in Psychology, 3(1).
    • Smith, W. E., de Jong, A., Cohen, S., & Kimbu, A. N. (2023). ‘Creamy and seductive’: Gender surveillance in flight attendant work. Annals of Tourism Research, 98, 103507.

    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

    Artikel Lainnya

    Care Worker atau PRT

    Dunia Hargai Care Worker, DPR RI Abaikan PRT sebagai Pekerja

    May Day, Jungkir Balik Nasib Buruh Perempuan di Indonesia

    Jungkir Balik Nasib Buruh Perempuan di Indonesia

    Siasat Parkir, Agar Pendapatan Tak Terjungkir

    Leave a Comment