Home » Opini » Rahim Perempuan Bukan Milik Negara

Rahim Perempuan Bukan Milik Negara

Betty Herlina

Opini

Bincangperempuan.com–  Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo sempat melontarkan pernyataan satu perempuan wajib punya anak satu perempuan. Meskipun sempat diklarifikasi, pada Minggu (97/07/2024), usai menjadi pembicara dalam acara “Percepatan Penurunan Stunting untuk Menyongsong Generasi Emas 2045” di Magelang.

Menurut Hasto, pernyataan yang disampaikan adalah rata-rata diharapkan satu perempuan punya anak satu perempuan. Tujuan dari pernyataan tersebut adalah untuk menjaga pertumbuhan penduduk yang seimbang sesuai tugas BKKBN.

Hm, jadi mikir serius nih, sepertinya negara mau jadi CEO rahim kita. Ini serius tapi juga gokil banget sih. Kebayangkan ya dari perspektif gender, pernyataan ini menunjukkan bagaimana kontrol dan tekanan pada tubuh perempuan. Kenapa bukan “rata-rata diharapkan satu laki-laki punya anak satu laki-laki”?

Tentu, ada statistik dan kebijakan populasi yang melatarbelakangi, tapi kita harus hati-hati. Ini bisa berujung pada kontrol yang berlebihan atas pilihan dan hak reproduksi perempuan. Dilansir dari Katadata, kurun tiga dekade angka kelahiran anak atau total fertility rate (TFR) di Indonesia terus menurun.

Bahkan menurut World Population Prospects, pada tahun 1990, Total Fertility Rate (TFR) Indonesia masih di level 3,10. Artinya, setiap perempuan rata-rata melahirkan tiga anak sepanjang masa reproduksinya. Tapi lihat, di tahun-tahun berikutnya TFR turun hingga mencapai 2,15 pada tahun lalu. Ini berarti angka kelahiran Indonesia sudah berkurang 30,64% selama periode 1990-2022.

Angka yang signifikan, tapi jangan sampai jadi alat kontrol, dong ya! 

Bukan hanya soal angka dan statistik, ini tentang bagaimana kita melihat dan menghargai otonomi tubuh perempuan. Apa kita mau jadi masyarakat yang memaksa peran dan ekspektasi?

Pernyataan  “rata-rata diharapkan satu perempuan punya anak satu perempuan untuk menjaga pertumbuhan penduduk yang seimbang” mencerminkan kompleksitas hubungan antara kebijakan keluarga, gender, dan pertumbuhan populasi. Hal ini jelas memberikan dampak terhadap perempuan secara khusus.

Pertama, pernyataan ini mengasumsikan bahwa peran utama perempuan adalah melahirkan dan mengasuh anak. Ini jelas mengabaikan peran penting perempuan dalam berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Membatasi perempuan pada peran reproduktif saja merupakan bentuk diskriminasi gender yang dapat menghambat pemberdayaan perempuan dan pencapaian kesetaraan gender.

Kedua, pernyataan ini tidak mempertimbangkan keragaman pengalaman dan pilihan perempuan. Setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan jumlah anak yang ingin mereka miliki, berdasarkan pertimbangan pribadi, kondisi kesehatan, dan situasi ekonomi mereka. Memaksakan standar “satu anak per perempuan” dapat mengabaikan hak-hak perempuan dan berpotensi membahayakan kesehatan reproduksi mereka. Bisa kebayangkan kalau setelah melahirkan berkali-kali anak yang lahir bukan perempuan. Lantas akan terus melahirkan sampai dapat bayi perempuan?

Ketiga, pernyataan ini mengabaikan faktor-faktor lain yang berkontribusi pada pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat kesuburan perempuan, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti migrasi, kematian, dan pola konsumsi. Memfokuskan hanya pada perempuan dan kesuburan mereka sebagai solusi untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk adalah pendekatan yang terlalu sempit dan tidak efektif.

Keempat, pernyataan ini tidak menawarkan solusi yang konkrit untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan penduduk. Pertanyaan tentang bagaimana mencapai keseimbangan pertumbuhan penduduk adalah pertanyaan yang kompleks dan multidimensi. Diperlukan solusi yang komprehensif yang mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Menjaga kestabilan populasi jadi beban perempuan

Kebijakan seperti ini sering kali menempatkan tanggung jawab besar pada perempuan untuk menjaga kestabilan populasi. Sebaliknya mengabaikan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan kesehatan yang mempengaruhi keputusan individu dalam merencanakan keluarga mereka. Perempuan sering kali menghadapi tekanan yang besar, baik dari struktur sosial maupun kebijakan pemerintah, untuk memenuhi harapan seperti itu.

Di sisi lain,  tanggung jawab ini tidak seharusnya hanya ditujukan kepada perempuan. Keterlibatan aktif dari pihak laki-laki dalam perencanaan keluarga dan dukungan terhadap keputusan perempuan sangat penting dalam mencapai tujuan pertumbuhan populasi yang seimbang. Membebaskan perempuan dari beban tunggal ini akan memungkinkan mereka untuk lebih memiliki kontrol atas hidup mereka sendiri, termasuk dalam hal reproduksi.

Selain itu, pendekatan yang lebih inklusif terhadap kebijakan keluarga harus memperhitungkan variasi individu dan kebutuhan keluarga yang berbeda-beda. Ini termasuk mengakui bahwa setiap individu memiliki hak untuk membuat keputusan tentang tubuh mereka sendiri tanpa terkekang oleh ekspektasi gender yang kaku.

Seharusnya pemerintah mengadopsi pendekatan yang berbasis hak asasi manusia dan menghormati otonomi perempuan dalam mengelola kehidupan mereka sendiri. Kebijakan keluarga yang melibatkan dialog terbuka, pendidikan yang memadai tentang kesehatan reproduksi, serta dukungan yang komprehensif terhadap semua anggota keluarga dapat menciptakan lingkungan yang mendukung keputusan berkeluarga yang sadar dan bertanggung jawab.

Akhirnya, untuk mencapai pertumbuhan populasi yang seimbang dan berkelanjutan, diperlukan pendekatan yang holistik yang tidak hanya memperhatikan jumlah anak perempuan, tetapi juga kualitas hidup mereka serta kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Ini akan membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi semua anggota masyarakat, tanpa membedakan gender.

Sehingga menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk bukanlah hanya tanggung jawab perempuan semata, tetapi adalah tantangan kolektif yang membutuhkan keterlibatan aktif dari semua pihak, dengan menghormati hak-hak dan kebutuhan individu, terlepas dari gender mereka.

Bagaimana kalau kita fokus pada mendukung hak-hak perempuan untuk memilih sendiri? Edukasi, akses kesehatan, dan pemberdayaan lebih penting daripada mengatur rahim mereka.

Jadi, mari kita suarakan: Tubuh perempuan, pilihan perempuan! Jangan biarkan statistik mengubah kita jadi robot populasi. #HakReproduksi #PerempuanBerkarya #JanganAturRahimKami

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Jurnalis perempuan dan UU TPKS

Jurnalis Perempuan dan UU TPKS

Seandainya Aku Menjadi Pemimpin

Kenapa Masih Banyak Perempuan Takut Speak Up Soal KDRT

Kenapa Masih Banyak Perempuan Takut Speak Up Soal KDRT ?

Leave a Comment