Home » News » Implementasikan Prinsip Non-Punishment bagi Korban TPPO

Implementasikan Prinsip Non-Punishment bagi Korban TPPO

Bincang Perempuan

News

Bincangperempuan.co- Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan pentingnya prinsip non-punishment diterapkan bagi korban perdagangan orang, sehingga tidak ada lagi korban perdagangan orang yang justru dikorbankan meski atas agenda War on Drugs (Perang Terhadap Narkotika). Prinsip ini mengandung ketentuan bahwa korban perdagangan orang tidak dipidana ketika yang bersangkutan melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku perdagangan orang.

Di Indonesia terdapat masalah dalam penerapan prinsip tersebut terutama dalam tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan narkotika. Oleh karenanya Komnas Perempuan mendorong agar pemerintah memberikan perhatian penuh untuk dapat memenuhi hak keadilan bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang selama ini dikriminalkan bahkan diberi hukuman mati.

Baca juga: Perempuan Rentan Menjadi Korban Perdagangan Manusia

TPPO, Kejahatan Luar Biasa

Pada tingkat Global, persoalan perdagangan orang menjadi perhatian yang tiap tahunnya diperingati pada tanggal 30 Juli sebagai Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia. Moment ini menjadi krusial mengingat TPPO merupakan Extraordinary Crime (Kejahatan Luar Biasa). Korban TPPO terus bertambah dan modus operasinya semakin canggih dan wilayah operasinya semakin luas, serta semakin terstuktur dan tersistematis.

Di level ASEAN, terdapat Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak (2015), menetapkan bahwa Negara negara Pihak (kesepuluh negara anggota ASEAN) harus mempertimbangkan untuk tidak meminta pertanggungjawaban korban secara pidana atau administratif atas tindakan yang melanggar hukum yang berkaitan langsung dengan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 14 (7)).

Prinsip tersebut juga diberlakukan oleh Rencana Aksi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak; Komisi ASEAN untuk Kemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (ACWC); Pedoman Sensitif Gender untuk Penanganan Perempuan Korban Perdagangan Orang; dan Pedoman Praktisi ASEAN tentang Respons Peradilan Pidana terhadap Perdagangan Orang (2007).

Prinsip ini tidak menawarkan kekebalan menyeluruh, tetapi merupakan alat penting untuk perlindungan korban dan proses peradilan pidana yang berbasis hak asasi manusia dalam penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang.

“Sejauh ini dalam pengamatan Komnas Perempuan, Indonesia sebagai negara ASEAN yang terikat atas prinsip tersebut belum mengimplementasikannya dengan baik. Hal ini terindikasi masih ada kasus kriminalisasi bahkan menghukum mati Warga negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang menjadi korban TPPO terutama terkait kejahatan narkotika,“ kata Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan.

Lebih jauh Tiasri Wiandani menyatakan bahwa harapannya adalah dapat menggunakan prinsip tersebut untuk melakukan upaya penyelamatan maksimal terhadap korban TPPO WNI yang dikriminalisasikan di luar negeri.

Indonesia merupakan salah satu negara yang belum memiliki prosedur operasi standar nasional untuk mengidentifikasi korban perdagangan orang sehingga menjadi salah satu kendala terbesar untuk mengimplementasikan prinsip non-punishment bagi korban perdagangan orang.

Implementasi prinsip non-punishment berdasarkan pada Pasal 18 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dimana keberlakuannya memiliki keterkaitan dengan ‘daya paksa’ dan dasar penghapus pidana.

Prinsip dan pendekatan ini dapat menempatkan seseorang tidak dianggap korban perdagangan orang atau bahkan korban dapat dikiriminalisasikan jika tidak terbukti unsur paksaan atau ancaman dari pelaku perdagangan orang.

“Sehingga dalam ketentuannya Indonesia mengabaikan kemungkinan kondisi adanya manipulasi psikis yang sangat halus yang rentan terjadi pada perempuan dan anak yang sangat banyak terjadi dalam kasus perdagangan orang,” terang Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan.

Tak hanya UU PTPPO, komitmen lain Pemerintah Indonesia adalah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (RAN PTPPO) diserta sejumlah kebijakan dan perangkat berupa Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO).

Baca juga: Mengungkap Kekerasan Seksual: Definisi, Jenis, dan Contohnya

Ada 864 laporan TPPO

Rentang waktu 5 Juni-21 September 2023 satgas TPPO telah menerima 864 laporan terkait perdagangan orang. Sementara Komnas Perempuan mencatat sepanjang Tahun 2023 telah menerima pengaduan 8 perempuan PMI yang menjadi korban perdagangan orang dan mengalami berbagai kekerasan ketika bekerja di Saudi Arabia. Meskipun pada awalnya kasusnya dilaporkan sebagai kasus perekrutan unprocedural mengingat wilayah tersebut masih berlaku kebijakan pelarangan PMI sektor kerja domestik di wilayah Timur Tengah melalui Permenaker Nomor 206 Tahun 2015.

Selain pekerja migran yang selama ini sangat rentan menjadi korban perdagangan orang, kerentanan perdagangan orang paling buruk dapat dialami oleh kelompok pengungsi yang berada di Indonesia dikarenakan Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi.

Di samping itu, pekerja rumah tangga juga selama ini mengalami kerentanan menjadi korban perdagangan orang. Seperti kasus PRT yang melakukan aksi bunuh diri melompat dari lantai atas rumah majikan, disinyalir ternyata merupakan pekerja anak yang identitasnya dipalsukan oleh penyalur dan merupakan korban TPPO.

“Oleh karenanya, tidak disahkannya Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) justru akan menghambat pelindungan terhadap PRT yang selama ini sangat rentan menjadi korban TPPO,” pungkas Olivia Chadidjah Salampessy, Wakil Ketua Komnas Perempuan.(rls)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Mengapa Perempuan Menjadi Korban Terbanyak Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Google menyambut dua jurnalis asal Indonesia ke dalam program AAJA Executive Leadership Program

Pentingnya Digital Mindset dan Ruang Digital Aman bagi Anak Muda

Leave a Comment