AWAN menghitam pekat pada sore hari akhir bulan lalu. Tetesan air hujan yang jatuh perlahan membasahi permukaan bumi. Tiba di rumahnya di Desa Sumber Bening, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Roisa yang baru pulang dari kebun tidak langsung masuk ke rumah. Setelah meletakan barang bawaannya di depan pintu rumah bagian depan, dia menyelinap masuk ke rumah pembibitan di halaman rumahnya.
Bertiang bambu dan berdinding paranet berwarna hitam, rumah pembibitan itu berukuran 6×5 m. Di dalamnya terdapat ribuan polibag yang telah berisi media tanam dan ditanami biji alpukat dan nangka yang tersusun rapi di atas lantai tanah dan dua buah rak bambu bertingkat tiga. Di salah satu dinding rumah pembibitan tertempel spanduk bertuliskan: Rumah Pembibitan Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Sumber Jaya dan KPPL Sejahtera.
“Ini rumah pembibitan nangka dan alpukat kedua yang dikelola secara bersama oleh KPPL Sejahtera Desa Sumber Bening dan KPPL Sumber Jaya Desa Karang Jaya. Bibit yang dihasilkan juga akan dimanfaatkan untuk memulihkan ekosistem kawasan TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat),”
Ketua KPPL Sejahtera Desa Sumber Bening, Roisa
KPPL Sejahtera dan KPPL Sumber Jaya merupakan dua kelompok perempuan desa penyanggah kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di Kabupaten Rejang Lebong. Beranggotakan para perempuan penggarap kawasan TNKS, mereka berproses menjalin kemitraan konservasi skema pemulihan ekosistem dengan Balai Besar TNKS. Mereka mengusulkan untuk memulihkan sekitar 80 Ha dengan menanam nangka, alpukat, bambu dan beragam jenis pohon lainnya.
Sebelumnya mereka telah membangun rumah pembibitan di areal kebun Ketua KPPL Sumber Jaya, Donsri dan membibitkan 1.300 biji alpukat dan 1.700 biji nangka. Namun, sebagian biji nangka dan alpukat yang ditanam dirusak oleh tupai. Sehingga, mereka memutuskan untuk membuat rumah pembibitan kedua di dekat pemukiman. Roisa pun menawarkan agar dibangun di rumahnya.
“Supaya saya bisa membantu untuk memeriksa kondisi bibit setiap hari,” kata Roisa.
Belum mencapai 15 menit, tetesan air hujan semakin deras. Roisa mengajak masuk ke rumah melalui pintu di samping kiri rumahnya menuju ke dapur. Sambil mengerjakan pekerjaan di dapur, Roisa terus bercerita. Menurut Roisa, sudah 1.900 biji alpukat dan 570 biji nangka yang dibibitkan di rumah pembibitan kedua.
“Kami akan terus membuat bibit sampai target dicapai. Bahkan, kami sudah berencana membuat rumah pembibitan ketiga,” kata Roisa.
Bibit yang akan dibuat bukanlah berjumlah sedikit. Khusus nangka dan alpukat saja, KPPL Sejahtera dan KPPL Sumber Jaya menargetkan akan menanam masing-masing berjumlah 11.000 pohon. Selain memperbaiki ekosistem TNKS, hasil dari penanaman nangka dan alpukat diharapkan bisa dikembangkan menjadi tempat rekreasi dan buahnya bisa dimanfaatkan untuk memproduksi kuliner.
“Kualitas dari bibit yang dibuat akan ditingkatkan,” kata Roisa.
Roisa beserta perwakilan KPPL Sejahtera dan KPPL Sumber Jaya sudah menyampaikan aspirasi kepada Kepala Dinas Pertanian Rejang Lebong, Suherman agar bersedia memfasilitasi pelatihan pembuatan bibit teknik sambung dan memberi bantuan enteres nangka dan alpukat dari pohon indukan yang berkualitas. Dalam pertemuan di Kantor Dinas Pertanian Rejang Lebong pada 29 Maret 2021, Suherman menyatakan bersedia untuk membantu.
“Mudah-mudahan saja akan ditepati,” kata Roisa.
Memulihan ekosistem kawasan TNKS, sambung Roisa, sangat penting untuk dilakukan. Manfaat dari pulihnya ekosistem TNKS bukan hanya akan dinikmati oleh perempuan penggarap TNKS, tetapi juga perempuan lainnya. Misalnya terkait sektor pertanian, pulihnya ekosistem kawasan TNKS akan membantu untuk menjaga agar lahan pertanian tidak mengalami kekeringan.
“Banyak perempuan di Desa Sumber Bening dan Karang Jaya adalah petani dan juga mencari upahan dengan bekerja di kebun orang lain,” kata Roisa.
Sebagian masyarakat di Desa Sumber Bening dan Karang Jaya juga memanfaatkan air yang bersumber dari kawasan TNKS untuk kebutuhan rumah tangganya. Bila mengalami permasalahan terkait ketersediaan air, maka akan menyusahkan perempuan. Sebab, tidak sedikit peran perempuan di rumah tangga membutuhkan ketersediaan air.
“Kalau bisa jangan sampai pernah mengalami kekeringan air. Apalagi sampai berhari-hari. Saluran air tidak lancar saja, sudah membuat perempuan menjadi pusing,” kata Roisa.
Manfaat lainnya, sambung Roisa, untuk mencegah hewan liar seperti babi masuk ke pemukiman dan dampak buruk dari cuaca ekstrem.
“Pepohonan bisa menahan angin. Kalau tidak ada pepohonan, angin kencang bisa merusak tanaman dan pondok. Seperti yang terjadi belum lama ini, ada pondok dan tanaman warga yang rusak karena angin kencang. Kalau tanaman di kebun rusak, dampaknya juga akan dirasakan oleh perempuan. Bahkan dampaknya akan dirasakan lebih dibandingkan laki-laki, walaupun sama-sama bertani,” kata Roisa.
Baca juga : Irna Riza Yuliastuty, Berjuang untuk Kesetaraan Disabilitas
Roisa mengakui, upaya membangun pemahaman bersama tentang arti penting memulihkan ekosistem kawasan TNKS bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, sebagaian besar petani di Desa Sumber Bening dan Karang Jaya menganggap kebun kopi dan hortikultura harus bersih dari pepohonan karena pepohonan dianggap perusak tanaman kopi dan hortikultura.
“Membangun pemahaman tentang arti penting memulihkan ekosistem kawasan TNKS adalah tantangan yang terberat,” kata Roisa.
Namun, Roisa tidak patah arang. Berbagai kesempatan dia manfaatkan untuk mendiskusikannya agar sama-sama memahami arti penting memulihkan ekosistem kawasan TNKS. Seperti saat bergotong royong memasak di tempat hajatan, berkumpul di rumah tetangga, bahkan sambil bekerja sebagai upahan di kebun orang.
“Saya juga masih belajar. Dengan mendiskusikannya, saya juga sekalian ikut belajar. Jadi, sama-sama belajar. Makanya, kapan ada kesempatan, saya akan ajak anggota KPPL untuk mendiskusikannya,” kata Roisa. (rikanofrianti)
*) Tulisan ini hasil kolaborasi bincangperempuan.com dan jendelaperempuandesa.wordpress.com, yang didukung Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Kedutaan Belanda sebagai program Media dan Gender : Perempuan dalam Ruang Publik.