Home » Tokoh » Ashri Rahmatia, Lepas Seragam Kantoran, Pilih Bertani

Ashri Rahmatia, Lepas Seragam Kantoran, Pilih Bertani

Bincang Perempuan

Tokoh

Ashri Rahmatia Kujaga Bumi Segera

Melepaskan kenyamanan bekerja di ruang ber AC di Kota Kembang,  Ashri Rahmatia lulusan Institute Teknologi Bandung (ITB) memilih untuk berpanas-panas di bawah terik matahari dengan bertani bersama keluarga kecilnya di Kota Bengkulu. Ia didampingi suaminya mulai merintis usaha pertanian “Kujaga Bumi Segera”, dengan mengusung konsep pertanian organik, mengolah sampah, dan teknologi tepat guna untuk hidup yang berkelanjutan.

Lahan seluas 600 meter persegi tempat Ashri beraktivitas sehari-hari sejak tahun 2021. Mimpi besarnya menjadikan lahan tersebut sebagai kebun multikultur dan ruang belajar bersama untuk menjaga bumi. Sebagai sumber pangan dan obat-obatan, rumah untuk hewan-hewan ternak dan pondok pengolahan sampah sehingga bisa berkontribusi untuk menjaga bumi.

Ashri Rahmatia
Ashri Rahmatia

“Kujaga Bumi goal utamanya adalah menerapkan pola hidup sirkular, atau sederhananya minim sampah. Jadi kami mengolah sampah organik jadi pupuk, lalu pupuknya dipakai untuk berkebun multikultur ada sayuran, buah, tanaman obat, tanaman superfood dan sebagian pupuk juga kami jual,” jelas Ashri.

Saat disambangi Bincang Perempuan, di lahan “Kujaga Bumi Segera” didapati beberapa jenis tanaman yang dipisahkan dalam petak-petak berbeda. Ada tanaman singkong (Manihot esculenta), kumis kucing (Orthosiphon aristatus), kelor (Moringa oleifera), kangkung (Ipomoea aquatica), jenis tanaman legum kacang hijau (Vigna radiata). Ada pula kolam lele yang dikolaborasikan dengan maggot dan kangkung diatasnya menggunakan media arang dan wadah tudung saji lengkap dengan pelampung botol bekas.

“Kotoran maggot bisa menjadi pupuk organik padat. Limbah air kolam lele menjadi pupuk organik cair. Kebun subur, sayuran berlimpah, tanpa pupuk kimia sintetis. Dengan menambah penghuni kebun baru, sampah organik yang awalnya limbah pun menjadi lebih bermanfaat,” imbuhnya.

Baca juga: Perempuan dan Alam, Kearifan Relasi yang Dilumpuhkan

Awalnya lahan “Kujaga Bumi Segera” merupakan lahan gersang. Namun di tangan Ashri, dalam dua bulan lahan tersebut bisa menjadi kebun tanaman singkong yang rimbun tanpa menggunakan herbisida, pestisida dan pupuk sintetis. Ia memilih menggunakan sampah organik, menimbun dan dan fermentasi urine di sela-sela bedengan tanah sehingga tanaman tidak langsung berinteraksi. Kemudian menutup bedengan dengan mulsa organik dari rumput gulma di sekitar. Serta menerapkan pola tumpang sari dengan tanaman kacang tanah untuk perbaikan nutrisi tanah karena jenis tanaman legum bisa mensuplai kadar nitrogen dalam tanah.

Kebun singkong
Kebun singkong di lahan n “Kujaga Bumi Segera”

“Kami memilih singkong karena singkong adalah tanaman yang tahan banting. Bonusnya, kami jadi punya sumber karbo lain selain beras. Di sela-sela tanaman singkong kami juga menanam kacang ijo yang maka diharapkan mampu membantu suplai nitrogen dalam tanah. Benih memakai sisa bahan bubur kacang ijo. Pemupukan masih menggunakan pupuk organik buatan sendiri, tanpa pestisida sintetik juga tanpa pestisida nabati,” imbuhnya.

Pondok Pengolahan Sampah

“Kujaga Bumi Segera” lanjut Ashri juga memiliki pondok pengolahan sampah. Untuk tahap awal,  ia Bersama suami fokus pada limbah minyak jelantah  atau minyak goreng bekas dan sampah organik.

“Sampah organik akan kami jadikan pupuk dengan bantuan maggot-maggot BSF, karena itu sangat membutuhkan minyak jelantah,” ungkapnya.

Kotoran anjing untuk pupuk organik
Kotoran yang dihasilkan maggot dapat digunakan menjadi pupuk organik

Ke depan, sebagian jelantah yang sudah terkumpul akan diolah menjadi biodisel dengan proses transesterfikasi. Proses yang digunakan masih sederhana dengan menggunakan peralatan yang ada di dapur dan beberapa botol hasil pemilahan sampah.

“Biodisel yang kami hasilkan saat ini penyalaannya sekilas mirip dengan karakter solar minyak bumi, namun kami belum melakukan pengujian terukur di laboratorium. Harapannya ini bisa menjadi solusi bagi nelayan Bengkulu untuk menyalakan mesin kapalnya,” katanya.

Baca juga: Ancaman Bertanam Kopi Monokultur di Kawasan TNKS

Di Kujaga Bumi, per liter minyak jelantah dihargai Rp2.000 bila diantarkan langsung ke lokasi. Bila harus dijemput, minyak itu pun dihargai Rp1.500 per liter. Setiap penukaran boleh langsung diuangkan atau ditabung. Kalau sedang tidak mau uang, pemilik minyak jelantah juga bisa menukarkan minyak mereka dengan sayuran organik yang ada di kebun multikultur Kujaga Bumi. (**)

bengkulu, gerakan perempuan, Lingkungan

Artikel Lainnya

Karina Audia Pitaloka, Perempuan dengan Profesi Kameramen

Potret Tujuh Perempuan yang Berpengaruh di Bidang Hukum

Potret Tujuh Perempuan yang Berpengaruh di Bidang Hukum

Neny Yunita, PNS Disabilitas

Neny Yunita, Disabilitas Inspiratif Sukses Jadi ASN

Leave a Comment