Bincangperempuan.com- Catcalling, bentuk pelecehan verbal yang masih sering terjadi di ruang publik, di mana seseorang, terutama perempuan, menjadi sasaran siulan, komentar seksual, atau panggilan vulgar yang tidak diinginkan. Meskipun terlihat sepele oleh sebagian orang, namun catcalling memiliki dampak yang merusak bagi korban, menciptakan perasaan tidak nyaman, takut, dan bahkan terancam.
Tidak jarang kita menjumpai catcalling terjadi di jalan, tempat umum, atau transportasi umum, di mana korban terjebak dalam situasi yang sulit dihindari. Contohnya saat seorang perempuan berjalan di trotoar dan mendengar seseorang bersiul atau memberikan komentar seperti, “Cantik banget sih,” atau “Mau ke mana, manis?” Meskipun bagi sebagian orang komentar tersebut mungkin terdengar tidak berbahaya, bagi perempuan yang menjadi korban, tindakan tersebut dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dan membuat mereka merasa diobjektifikasi.
Contoh lainnya terjadi di transportasi umum, seperti bus atau kereta, di mana seorang laki-laki secara tiba-tiba berteriak kepada perempuan yang lewat, memberikan komentar seksual yang tidak pantas. Korban sering kali merasa tidak berdaya karena ruang publik yang mereka tempati menjadi tempat pelecehan yang membuat mereka rentan dan terintimidasi.
Sayangnya, catcalling masih sering dianggap sebagai hal biasa atau bahkan pujian, padahal efek psikologis yang ditimbulkan bagi korban bisa sangat merugikan. Padahal menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelaku dapat dikenai hukuman penjara hingga 9 bulan atau denda maksimal Rp10 juta, karena catcalling dikategorikan sebagai kekerasan seksual nonfisik.
Bukan sekadar masalah gender
Catcalling bukan sekadar tindakan verbal biasa, namun mencerminkan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar kasus catcalling melibatkan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku. Ini bukan kebetulan, tetapi merupakan hasil dari budaya patriarki yang telah mendarah daging di masyarakat kita, di mana perempuan sering kali diperlakukan sebagai objek seksual.
Catcalling memperlihatkan bagaimana kekuasaan dan kontrol dipertahankan oleh laki-laki atas tubuh perempuan. Pelecehan verbal ini tidak hanya tentang kata-kata yang diucapkan, tetapi juga tentang pesan tersembunyi bahwa perempuan tidak memiliki kendali penuh atas ruang publik yang mereka tempati. Mereka diperlakukan sebagai objek yang bisa dipanggil, diolok, dan diatur oleh laki-laki.
Sistem sosial patriarki menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, dan budaya. Sistem ini menciptakan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan sering kali menjadi korban eksploitasi dan kekerasan. Budaya patriarki ini melanggengkan gagasan bahwa tubuh perempuan adalah sesuatu yang bisa diakses dan dikomentari oleh laki-laki.
Norma-norma sosial yang tumbuh dalam sistem patriarki secara tidak langsung mendorong perilaku catcalling. Misalnya, dalam beberapa budaya, laki-laki diajarkan bahwa menunjukkan ketertarikan secara verbal kepada perempuan di ruang publik adalah bentuk maskulinitas atau ekspresi dominasi mereka. Di sisi lain, perempuan diajarkan untuk menerima komentar tersebut sebagai sesuatu yang normal, bahkan mungkin sebagai bentuk perhatian atau pujian.
Padahal, norma-norma ini sebenarnya merugikan perempuan dan memperkuat ketidaksetaraan gender. Perempuan menjadi terbiasa dengan gagasan bahwa mereka harus selalu siap menerima pelecehan di ruang publik, sehingga mereka mengembangkan strategi untuk menghindari atau mengurangi pelecehan, seperti berpakaian tertentu atau memilih rute jalan yang lebih aman. Ini menunjukkan bahwa ruang publik masih belum sepenuhnya aman bagi perempuan, dan kebebasan mereka sering kali dibatasi oleh ancaman pelecehan, termasuk catcalling.
Baca juga: Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal
Dampak catcalling bagi perempuan
Dampak catcalling tidak bisa diabaikan begitu saja, terutama dari sisi psikologis. Meskipun mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang, korban catcalling sering kali merasakan dampak jangka panjang yang serius.
Beberapa dampak tersebut diantaranya menimbulkan kecemasan dan ketakutan, perempuan yang sering mengalami catcalling di ruang publik bisa mengalami kecemasan yang berlebihan setiap kali mereka harus keluar rumah atau melewati tempat-tempat yang sebelumnya menjadi lokasi pelecehan. Ketakutan ini membuat mereka merasa tidak aman, bahkan di siang hari.
Karena takut menjadi korban catcalling, perempuan sering kali merasa perlu mengubah perilaku mereka. Mereka mungkin merasa perlu berpakaian dengan cara tertentu untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan atau memilih untuk tidak berjalan sendiri di malam hari. Perubahan perilaku ini mencerminkan betapa terbatasnya kebebasan perempuan di ruang publik.
Pelecehan verbal seperti catcalling dapat membuat perempuan merasa kurang berharga, terutama ketika tubuh mereka diobjektifikasi dan dijadikan bahan komentar yang tidak pantas. Rasa percaya diri mereka bisa menurun karena mereka diperlakukan sebagai objek seksual.
Salah satu masalah besar dalam kasus catcalling adalah budaya victim-blaming atau menyalahkan korban. Dalam banyak kasus, perempuan yang mengalami catcalling justru disalahkan atas pelecehan yang mereka alami. Mereka mungkin dianggap “mengundang” pelecehan karena cara berpakaian atau perilaku mereka di ruang publik. Padahal, pelecehan tidak pernah bisa dibenarkan, apapun kondisi atau situasi korban.
Budaya victim-blaming ini melanggengkan ketidakadilan bagi perempuan, karena mereka dipaksa untuk bertanggung jawab atas tindakan pelaku. Korban perempuan sering kali diminta untuk lebih “berhati-hati” atau “tidak memancing perhatian,” sementara pelaku tidak diberikan tanggung jawab atas perilakunya. Edukasi perspektif gender menjadi sangat penting untuk membongkar pola pikir ini, karena hanya dengan menyadari ketidaksetaraan ini kita bisa menciptakan ruang publik yang lebih aman dan adil bagi semua orang.
Baca juga: Fair Play: Potret Patriarki dan Misogini yang Dihadapi Perempuan
Upaya melawan catcalling
Di seluruh dunia, gerakan untuk melawan catcalling semakin kuat. Beberapa kampanye seperti “Stop Street Harassment” dan “Hollaback!” berfokus pada mengedukasi masyarakat tentang pelecehan di ruang publik dan memberikan dukungan bagi korban. Kampanye-kampanye ini juga mengajak masyarakat untuk tidak hanya menyadari, tetapi juga mengambil tindakan untuk menghentikan pelecehan yang terjadi di sekitar mereka.
Di Indonesia, beberapa gerakan lokal juga telah muncul untuk melawan pelecehan seksual, termasuk catcalling. Misalnya, komunitas feminis dan aktivis gender sering kali menyuarakan pentingnya menciptakan ruang publik yang aman bagi perempuan. Melalui kampanye di media sosial, mereka mengajak orang untuk lebih sadar akan pelecehan verbal dan memberikan dukungan bagi korban untuk melapor.
Meskipun banyak gerakan yang melawan catcalling, namun langkah-langkah hukum masih terbentur. Pasal 5 dalam UU TPKS jelas menyatakan, “Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik.”
Namun praktiknya masih jarang dijumpai masyarakat yang melaporkan kejahatan ini. Salah satunya akibat proses penegakan hukum yang cenderung masih dipertanyakan sejauh mana bisa melindungi korban, merasa lebih aman dan memiliki akses terhadap keadilan.
Catcalling bukanlah tindakan sepele. Sebagai bentuk pelecehan verbal, catcalling mencerminkan ketidaksetaraan gender yang terjadi di masyarakat kita, di mana perempuan sering kali diperlakukan sebagai objek seksual. Dari perspektif gender, catcalling memperlihatkan bagaimana patriarki berperan dalam membatasi kebebasan perempuan di ruang publik dan melanggengkan pelecehan. Penting bagi kita untuk terus mengedukasi masyarakat tentang bahaya catcalling dan menciptakan ruang publik yang lebih aman bagi semua orang, tanpa memandang gender.