Home » News » Konstruksi Sosial di Balik Standar Kecantikan Kulit Harus Putih

Konstruksi Sosial di Balik Standar Kecantikan Kulit Harus Putih

Haifa Chairania

News

Konstruksi Sosial di Balik Standar Kecantikan Kulit Harus Putih

Bincangperempuan.com- Istilah aura maghrib belakangan marak digunakan warganet untuk menjustifikasi perempuan berkulit gelap. Tidak hanya seksis dan mereduksi tubuh perempuan, candaan tersebut juga body shaming, karena tujuannya mengolok-olok mereka yang kulitnya dianggap “tidak cukup putih”.

Sayangnya, kondisi ini kerap dinormalisasi di kalangan masyarakat yang membenarkan relasi bahwa cantik haruslah berkulit putih atau dikenal dengan pale skin di era abad pertengahan.

Normalisasi istilah aura maghrib menjadi contoh paling kentara betapa masyarakat Indonesia masih terpaku pada standar penampilan yang sempit yakni sebatas fisik, sehingga mendiskriminasi kelompok-kelompok tertentu yang dipandang tidak mampu memenuhinya. 

Hingga saat ini, standar kecantikan kulit putih masih diamini publik. Survei dari ZAP Beauty Index 2020 menunjukkan bahwa 73,1% responden mendefinisikan kecantikan fisik dengan memiliki kulit putih atau glowing. Lebih lanjut lagi, survei ini juga memperlihatkan bahwa 23.3% responden pernah mengalami body shaming lantaran kulit mereka yang gelap.

Baca juga: Mengejar Kecantikan Ideal di Media Sosial

Pengaruh budaya barat dan kolonialisme

Standar kecantikan kulit putih memunculkan fenomena pemujaan berlebihan terhadap ras Kaukasia, yakni klasifikasi ras manusia yang digunakan pada orang-orang mayoritas keturunan Eropa. Bahkan, menikah dengan orang asing atau bule sering dianggap sebagai upaya memperbaiki keturunan.

Bila ditelusuri lebih jauh, pemikiran ini cenderung dioengaruhi oleh riwayat penjajahan yang dilakukan bangsa barat, tak terkecuali Indonesia. Bukan tanpa sebab bahwa kolonialisme juga mewariskan stereotipe kecantikan berbasis kacamata white supremacy.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Prof Diah Ariani Arimbi dalam artikel Menyoal Obsesi Blasteran sebagai Cara Instan Perbaikan Keturunan mengatakan anggapan bahwa kulit putih menandakan status sosial yang tinggi disebabkan oleh para penjajah barat yang berkuasa dan mengubah tatanan sosial dengan paham the construction of whiteness, dimana kulit putih memiliki kelas sosial yang lebih superior dari pada ras lainnya.

Hierarki sosial di masa lampau menggunakan dasar rasisme yang erat kaitannya dengan warna kulit dan ras, yakni menempatkan bangsa Eropa kulit putih di tingkat teratas, diikuti Asia Timur, dan pribumi pada strata terbawah.

Hal yang sama terjadi juga pada masa penjajahan Jepang yang menempatkan bangsa Asia Timur di posisi penguasa. Persekusi ini membuat kaum pribumi terjebak pada inferioritas warna kulit yang mendefinisikan identitas mereka, membuat mereka terdehumanisasi dan berujung merasa tak bisa diposisikan setara dengan penjajah. Tidak sebatas penampilan, kulit putih pun direkonstruksi sebagai ‘status’ guna memperoleh penerimaan bahkan penghormatan yang diyakini pribumi.

Meski hierarki tersebut tidak lagi berlaku, pandangan rasisme sudah terinternalisasi dan menjadi warisan turun temurun yang dinaturalisasi secara tersirat oleh masyarakat Indonesia, salah satunya melalui standar kecantikan yang kini lebih berorientasi pada kulit putih sebagai ciri fisik orang barat atau Asia Timur.

Narasi kapitalisme industri kecantikan

Upaya memutihkan kulit kian santer lantaran industri kecantikan yang menggaungkan promosi “kulit putih” sebagai benefit dari produk mereka. Tak sedikit promosi yang menggunakan perbandingan kulit putih dan gelap, memberikan kesan bahwa kulit gelap adalah ‘kekurangan’ yang harus diperbaiki sehingga justru mengesampingkan kenyatanyaan bahwa ini juga merupakan warna kulit asli sebagian orang. Dominasi ini semakin terlihat dengan keselarasan pemilihan model promosi yang homogen, menunjukkan minimnya representasi terhadap keberagaman warna kulit.

Melansir dari data Compas.co.id, terdapat penjualan yang cukup tinggi pada dua produk andalan Scarlett Whitening yang merupakan produk pemutih, yaitu Scarlett Whitening Brightly Ever After Serum (151.492 transaksi) dan Scarlett Whitening Acne Serum (80.106 transaksi). Data ini memberi sedikit gambaran bagaimana tujuan‘memutihkan kulit’ menjadi sesuatu yang dianggap penting oleh konsumen.

Narasi kecantikan yang terstandarisasi bisa menciptakan insekuritas bagi kelompok yang merasa tidak memenuhi standar tersebut, bahkan memicu urgensi ‘sesat’ hingga perilaku konsumstif yang membuat mereka tertuntut membeli produk-produk kecantikan bersangkutan. Ketidakpuasan yang tercermin pada obsesi untuk memperoleh kulit putih pada aahirnya dimanfaatkan sebagai komoditas bagi indusrtri kecantikan kapitalis guna mengeruk keuntungan serta memperkuat norma-norma diskriminatif.

Belum lagi “mitos” kulit putih dipelintir untuk menjustifikasi obsesi ‘mencerahkan kulit’, melanggengkan bentuk stigma yang membagi penampilan fisik secara timpang, bahkan dimanfaatkan sebagai modal kapitalisme guna mengeksploitasi tubuh yang dianggap tak sesuai standar publik. Lebih dari sebuah idealisme kecantikan, terdapat konstruksi sosial kompleks di balik glorifikasi kulit putih ini.

Baca juga: Kenapa Stretch Mark di Tubuh Perempuan Dianggap “Dosa Sosial”

Representasi Media dan Pop Culture

Media berperan penting membentuk realita tentang apa yang dianggap penting dan ‘benar’ oleh publik. Representasi pada televisi, film, hingga iklan, terutama pada ranah global menunjukkan ketimpangan antara partisipasi individu kulit putih dan kulit gelap.

Dalam industri media hiburan, kesenjangan tampak dari hegemoni kelompok kulit putih yang kerap tampil sebagai ‘bintang’ utama, sementara orang berkulit gelap, demikian pula dengan yang dianggap tidak memenuhi standar kecantikan, acap kali mendapat peran terbatas, bahkan masih dinaungi dengan stereotip atau konotasi yang sifatnya negatif. 

Merupakan pengetahuan umum bahwasanya media masih menjunjung visual yang sesuai akan ekspektasi publik. Pada konteks ini, kulit putih merupakan daya tarik fisik bagi mayoritas orang, sehingga dirasa lebih potensial untuk memancing perhatian audiens.

Professor L. Ayu Saraswati dari Departemen Kajian Perempuan, Gender, dan Seksualitas Universitas Hawaii, mengatakan Indonesia pasca-kolonial, khususnya selama pemerintahan Soeharto yang pro Amerika, membawa masuk budaya populer negeri Paman Sam secara gencar, seperti film, musik, dan tren fashion. Penyebaran ini pun menjadi salah satu pengaruh terkuat yang mebentuk konsep ideal kecantikan kulit putih di Indonesia.

Pasca reformasi, iklan-iklan krim pemutih kulit yang menampilkan bintang internasional menjadi pemandangan lumrah, seperti aktris Korea Selatan Choi Ji Woo yang mempromosikan produk pemutih dari Prancis, dan selebriti Hong Kong Sammi Cheng menjadi model untuk produk pemutih dari Jepang.

Terlepas dari kolonialisme bangsa barat dan Jepang, pada jaman Kerajaan Jawa, metafora kecantikan perempuan sudah lebih diperkenalkan pada jaman Kerajaan Jawa. Puisi Kakawin seperti Ramayana menggambarkan kecantikan wajah putih dan berseri seperti bulan. Sementara itu, kegelapan digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan dan bahkan perlu dihindari.

Pendambaan putih yang dikaitkan dengan ras menjadi superior ketika kolonialisme masuk, di mana Belanda memperkenalkan definisi kulit putih kaukasian Eropa, sementara Jepang dengan putih Asia. Akan tetapi, melalui wawancaranya, Ayu menemukan bahwa lambat laun, pemaknaan kulit putih ini tidak semata-mata didasarkan pada ras dan etnis. Sebab pada dasarnya, tidak ada satupun ras yang bisa merepresentasikan kulit putih autentik.  

Perubahan zaman menggeser preferensi kulit putih yang kini lebih diidentikkan pada pengalaman istimewa dan gaya hidup yang menaunginya. Ayu menyebut ini sebagai konsep kulit putih kosmopolitan dalam artikelnya yang berjudul “Beauty and Cosmopolitan Whiteness” merujuk pada kulit putih yang direpresentasikan untuk mewujudkan perasaan dan kualitas virtual. Kulit putih menghadirkan pengalaman emosional dan sosial dengan adanya rasa keterikatan untuk bisa diterima pada ranah yang lebih luas. Kulit putih yang diakui sebagai standar kecantikan global menjadi perantara seseorang untuk beradaptasi dan terhubung dengan berbagai tempat, budaya, dan identitas.

Pada akhirnya, kosmopolitanisme kulit putih mewakili gaya hidup global, kemewahan, dan privilege, bahkan sekalipun kulit putih didapatkan dari produk pemutih, yang apabila diibaratkan hanya memanipulasi warna kulit kita. Mengutip sarjana studi visual Nicholas Mirzoeff, Ayu mengatakan bahwa kulit putih bukanlah untuk mengklaim bentuk putih nyata, melainkan “tampil putih” dan mendapat hak-hak istimewa yang melekat padanya.

Bagaimana Keberagaman Mendefinisikan Kecantikan

Meski glorifikasi kulit putih belum bisa sepenuhnya disingkirkan, masyarakat mulai menunjukkan perkembangan dalam memaknai kecantikan yang sifatnya lebih beragam. Artikel ilmiah berjudul “Change of Beauty Standards in Indonesian Society Through Beauty Products” membahas bagaimana inovasi branding berbagai produk kecantikan lokal dapat berperan mengubah pandangan masyarakat terhadap standar kecantikan.

Kemajuan ini bisa dilihat dari produk-produk seperti Mad For Make Up, Raine, dan Somethinc yang telah merangkul model dengan berbagai warna kulit, menunjukkan bahwa produk mereka mewakili kecantikan universal yang tidak terpaku pada satu standar.  Kampanye lokal seperti SASC dan BLP Beauty menekankan kecantikan yang bukan hanya dilihat dari warna kulit, melainkan juga rasa percaya diri dan kesehatan fisik maupun mental dari adanya penerimanaan.

Media dan pop culture yang beberapa dekade lalu masih berorientasi “putih” kini aktif mengangkat tema anti-colorism dan representasi yang lebih luas terhadap kelompok dengan berbagai karakteristik fisik. Sebagai contoh, lagu Brown Skin Girl kolaborasi Beyoncé, Blue Ivy, SAINt JHN, dan WizKid yang merayakan dan kecantikan alami kulit gelap dengan liriknya yang bertajuk, “Your skin is not only dark, it shines and it tells your story”.

Kemajuan-kemajuan ini memantik harapan akan adanya rekonstruksi standar kecantikan yang lebih inklusif di masa mendatang. Di saat bersamaan, upaya-upaya kecil yang bersifat internal turut menghimpun langkah perubahan. Kesadaran untuk menerima keunikan diri, merangkul keberagaman, dan memaknai kecantikan sejati sebagai bentuk penghargaan yang tidak dibatasi norma-norma tertentu adalah bentuk perlawanan terhadap ‘mitos kecantikan’ yang selama ini berlaku. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Pemenuhan Hak Kesehatan Jiwa Akibat Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Pemenuhan Hak Kesehatan Jiwa Akibat Kekerasan Seksual di Tempat Kerja

Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini

Sempat Menjadi Sorotan, Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini?

Slut Shaming Kekerasan Verbal yang Merendahkan Perempuan

Slut Shaming: Kekerasan Verbal yang Merendahkan Perempuan

Leave a Comment