Home » News » Hilangnya Daratan Hutan Keramat di Wilayah Rentan Bencana

Hilangnya Daratan Hutan Keramat di Wilayah Rentan Bencana

Demon Fajri

News

Hilangnya Daratan Hutan Keramat di Wilayah Rentan Bencana

Bincangperempuan.com– “Tahun 1980, desa kami berjarak 1 kilometer dari bibir pantai. Sekarang jarak desa kami hanya 400 meter dari bibir pantai. Dulu masih ada tempat pemakaman umum (TPU) masyarakat. Sekarang lenyap dilumat air pantai dan sudah menjadi lautan,” kata Salikin (50) Kepala Desa Penago Baru, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, beberapa waktu lalu.

Pria kelahiran 1974 itu masih ingat betul daratan di wilayah tanah kelahirannya. Sebab di daerah mereka dulunya masih banyak hutan penyanggah desa atau benteng desa pencegah abrasi. Bahkan pendahulu masyarakat setempat telah mengajarkan sejak dini untuk menanam pohon guna menjaga kawasan pantai dan hutan penyanggah desa.

Desa yang dihuni 308 Kepala Keluarga itu memiliki Hutan Keramat atau Hutan Larangan seluas 487 Hektare (Ha). Saat ini masuk dalam kawasan Cagar Alam Pasar Talo. Peninggalan nenek moyang masyarakat desa ini secara turun-temurun telah mengingatkan ”Hutan jangan dibuka. Kalau dibuka habis mata pencarian sebagai nelayan”.

“Kami tetap mempertahankan kawasan hutan tersebut sebagai lokasi pencarian remis, bagi masyarakat setempat dan desa tetangga. Desa kami memiliki kawasan pantai Cemara Indah. Ini merupakan kawasan hutan penyanggah desa atau benteng desa pencegah abrasi dan menahan laju gelombang tsunami,” kata Ketua Forum Kades Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, Salikin.

Vegetasi cemara sebagai wind barrier

Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mengindikasikan, Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim.

Kerusakan kawasan hutan pantai di pesisir barat sumatera disebabkan degradasi hutan pantai, abrasi dan longsor, pertambangan-galian C, alih fungsi hutan pantai, pemukiman, kerusakan muara sungai, pendulang emas tradisional, galian tanah untuk industri batu bata, pertambakan, sedimentasi/akresi, intrusi air laut dan alur pelabuhan.

Upaya masyarakat di Desa Penago Baru, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, dalam menahan laju abrasi sabuk hijau dalam perubahan iklim. Aksi itu sudah berlangsung sejak tahun 2012 hingga 2024. Setidaknya 5.000 pohon ditanam di kawasan Pantai Cemara Indah, seluas 3 Hektare (Ha). Cemara pantai, ketaping, kelapa, dan bakau adalah pohon yang ditanam di daerah tersebut.

Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Yansen mengatakan, cemara pantai dapat beradaptasi tumbuh baik pada lingkungan pantai yang berpasir dan dipengaruhi air laut. Tidak banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan pantai.

“Cemara pantai memiliki fungsi penting dalam penyerapan karbon, sehingga penting dalam mitigasi perubahan iklim,” alumni James Cook University.

Vegetasi cemara pantai, jelas Yansen, menjadi sabuk hijau di ekosistem pantai. Cemara pantai dapat menjadi pelindung dari angin (wind barrier). Namun dalam konteks pencegahan abrasi, vegetasi cemara pantai tidak begitu efektif, karena jika terjadi abrasi, perakaran cemara pantai tidak kuat menahan dan akan roboh.

”Untuk menahan abrasi di pantai, vegetasi pantai dengan sistem perakaran yang lebih kuat bisa lebih efektif. Misalnya jenis nyamplung. Untuk daerah sekitar pantai dengan endapan, vegetasi mangrove sangat efektif mencegah abrasi,” jelas Yansen.

Baca juga: Pengaling Cemara Laut, Mitigasi Perempuan Adat Menghadapi Perubahan Iklim

Abrasi pantai mencapai 2,5 meter/tahun

Pengamatan perubahan muka air laut, dalam Jurnal Fisika FLUX, Vol.11 No.2, Agustus 2014 (197–203). Laju Perubahan Muka Air Laut di Wilayah Perairan Pantai Bengkulu dengan menggunakan satelit altimetry. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Bengkulu, Rida Samdara menulis, pada akhir-akhir ini di sepanjang pantai barat Provinsi Bengkulu mengalami abrasi pantai dengan kecepatan sampai 2,5 meter/tahun.

Masalah ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi, menggangu sumber daya di wilayah pesisir. Seperti agribisis, rekreasi, pariwisata. Merusak sistem transportasi serta kawasan pemukiman terutama para nelayan.

Penelitian tentang tingkat kerusakan pantai abibat abrasi telah dilakukan, akan tetapi apa yang menjadi penyebab abrasi pantai belum diketahui secara jelas, apakah disebabkan oleh perubahan iklim (naiknya permukaan laut) atau disebabkan oleh faktor tektonik (perubahan relief permukaan tanah).

Yansen menyebut, pesisir barat Bengkulu rentan terhadap abrasi. Hal ini karena pantai Bengkulu menghadap langsung ke samudera hindia dengan gelombang yang besar dan energi tekan yang kuat.

“Karena itu ancaman berupa abrasi, angin kencang cukup besar di wilayah Bengkulu, termasuk daerah Seluma,” ujar Yansen.

Selain abrasi pantai juga terjadi peningkatan signifikan trend suhu rata rata di semua UPT yang berada di Bengkulu, untuk Stasiun Klimatogi Bengkulu terjadi peningkatan suhu tertinggi dengan peningkatan sebesar 0.0297/tahun. Sehingga dari data awal pengamatan 1984 ke tahun 2023 (39 tahun) terjadi peningkatan sebesar 1.158 Celcius/ periode tersebut.

Pergeseran musim, dampak perubahan iklim

Perubahan pola hujan telah terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir, seperti awal musim hujan yang mundur pada beberapa lokasi dan maju di lokasi lain. Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) menunjukkan, jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim cenderung meningkat dalam 50 tahun terakhir, terutama di kawasan pantai.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas I Pulau Baai, Bengkulu, Klaus Johannes Apoh Damanik mengatakan, dampak pemanasan global mulai dirasakan, begitu juga dengan kondisi pergeseran musim dan peningkatan suhu.

“Pergeseran musim untuk beberapa lokasi di Provinsi Bengkulu, sudah terasa terutama daerah tipe munsional 2 atau sepanjang tahun memiliki 2 musim (kemarau dan hujan),” kata Damanik, Selasa 12 November 2024.

Kenaikan suhu rata Minimum dan maximun untuk Provinsi Bengkulu. Kenaikan Suhu udara sepanjang tahun 1984–2023 (Data Stasiun Klimatologi Bengkulu)

Secara rata-rata hujan tahun 1991-2020, kata Damanik, wilayah Bengkulu memiliki 2 tipe zona hujan. Yakni tipe hujan equatorial 1 hujan sepanjang tahun (HST) meliputi 8 zona dan tipe hujan munsunal 2 (hujan dan kemarau) meliputi 10 zona.

Adapun rata-rata awal musim kemarau pada Juni dan panjang kemarau berkisar 2 bulan, sedangkan awal rata musim hujan pada akhir Agustus. Pergeseran musim terlihat pada daerah Kabupaten Kepahiang.

Dari 1981-2010, terang Damanik, awal musim kemarau Juni dengan panjang musim 11 dasarian, sedangkan rata-rata di 1991-2020 menjadi awal musim kemarau Juni, dengan panjang musim 12 dasarian.

“Jika disimpulkan musim kemarau 1981-2010 dan 1991-2020 menjadi lebih lama 1 dasarian dan maju 1 dasarian,” sampai Damanik.

Trend suhu rata-rata disemua UPT di Bengkulu, jelas Damanik, terjadi peningkatan signifikan. Untuk stasiun Klimatologi Bengkulu terjadi peningkatan suhu tertinggi dengan peningkatan sebesar 0.0297/tahun.

“Dari data awal pengamatan 1984 ke tahun 2023 selama 39 tahun, terjadi peningkatan sebesar 1.158 celcius/periode tersebut,” jelas Damanik.

Awal musim hujan di Bengkulu, terang Damanik, dengan pola hujan munsunal 2 dengan pemuktahiran data normal 1991-2020 (10 zona), terjadi antara Agustus–September. Jika dibandingkan dengan data normal 1981-2010. Awal musim hujan September.

“Jadi dapat disimpulkan awal musim hujan sama, namun panjang musim hujan berkurang 1 dasarian. BMKG secara konsisten akan melakukan pengamatan, analisis dan menyampaikan informasi yang sebenarnya ke masyarakat,” ungkap Damanik.

Anomali suhu rata-rata global tahunan (relatif terhadap tahun 1850–1900) dari tahun 1850 hingga 2024 dari enam kumpulan data. Rata-rata tahun 2024 didasarkan pada data Januari-September. Sumber : The World Meteorological Organization (WMO)

Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Bengkulu, kenaikan suhu udara sepanjang tahun 1984–2023, suhu rata-rata terjadi kenaikan 0.097 celcius/tahun atau 1.158 celsius/ periode.

“Suhu rata-rata maximum terjadi kenaikan 0.0059 celsius/tahun atau 0.23 celsius/periode. Suhu rata-rata minimum terjadi kenaikan 0.0389 celsius/tahun atau 1.52 celsius/periode. Secara umum kenaikannya belum significan, meskipun ada,” imbuh Damanik.

Baca juga: Rita Wati, Inspirasi Perempuan yang Memperjuangkan Hak Atas Hutan

Peringatan merah laju perubahan iklim

The World Meteorological Organization (WMO) atau Organisasi Meteorologi Dunia merilis laporan Keadaan Iklim 2024, bahwa tahun 2024 diperkirakan akan menjadi tahun terhangat yang pernah tercatat setelah serangkaian suhu rata-rata global bulanan yang sangat tinggi sempat mencapai batas pemanasan 1,5°C.

Di mana dalam pembaruan keadaan iklim WMO 2024 mengeluarkan Peringatan Merah tentang laju perubahan iklim yang sangat cepat dalam satu generasi, yang diperparah oleh terus meningkatnya kadar gas rumah kaca di atmosfer.

Tahun 2015-2024 akan menjadi sepuluh tahun terhangat yang pernah tercatat hilangnya es dari gletser, kenaikan permukaan laut, pemanasan lautan semakin cepat, cuaca ekstrem mendatangkan malapetaka bagi masyarakat dan perekonomian di seluruh dunia.

Rata-rata suhu permukaan udara global pada bulan Januari- September 2024 adalah 1,54°C (dengan margin ketidakpastian ±0,13°C) di atas rata-rata pra-industri, didorong oleh peristiwa pemanasan El Ninoo, menurut analisis enam set data internasional yang digunakan The World Meteorological Organization (WMO).

Laporan yang diterbitkan pada hari pertama Konferensi Perubahan Iklim PBB, COP29, di Baku, Azerbaijan, Senin 11 November 2024, menyampaikan pesan utama. Seperti pemanasan jangka panjang yang diukur selama beberapa dekade tetap di bawah 1,5°C.

Lalu, 10 tahun terakhir merupakan tahun terhangat yang pernah tercatat dan suhu laut meningkat. Kemudian, Es laut Antartika berada pada titik terendah kedua sepanjang sejarah dan hilangnya gletser semakin cepat serta peristiwa cuaca dan iklim ekstrem menyebabkan kerugian ekonomi dan manusia yang besar.

Dalam State of the Climate Update 2024 menimbulkan kekhawatiran besar. Konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat secara stabil, yang mendorong peningkatan suhu jangka panjang lebih lanjut, yang menyoroti perubahan cepat dalam sistem iklim kita dalam rentang satu generasi.

“Kita berada di jalur yang tepat untuk menjadikan tahun 2024 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat, bergabung dengan tahun 2023 sebagai dua tahun terpanas yang pernah tercatat,” tulis Sekretaris Jenderal The World Meteorological Organization (WMO), Celeste Saulo, dalam State of the Climate Update 2024, Senin 11 November 2024.

“Kita harus terus berupaya membatasi pemanasan global semaksimal mungkin, dengan menyadari bahwa mempertahankan suhu di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri dan melakukan upaya untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C tetap penting untuk mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim secara signifikan. Pada saat yang sama, kita perlu meningkatkan dukungan untuk adaptasi perubahan iklim melalui layanan iklim dan peringatan dini,” tambah Celeste Saulo, dalam State of the Climate Update 2024.

Source: ERA 5, Copernicus Climate Change Service/ECMWF • The value for 2024 is provisional and based on data for 10 months (January to October)

Upaya Tangguh terhadap Dampak Perubahan Iklim

The UN Environment Programme (UNEP) atau Program Lingkungan PBB merilis laporan Kesenjangan Adaptasi tahun ini “Datanglah bencana dan air pasang”. Dalam laporan itu menggarisbawahi perlunya meningkatkan upaya untuk membuat ekonomi dan masyarakat lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Laporan ini juga menyoroti konsekuensi dahsyat yang dapat dihadapi dunia pada pemanasan 2,6-3,1°C yang diproyeksikan terjadi pada abad ini tanpa pengurangan emisi gas rumah kaca yang lebih besar.

The European Union’s Copernicus Climate Change Service (C3S) atau Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa merilis data baru. Hasilnya menunjukkan, bahwa tahun 2024 ditetapkan sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat.

Berdasarkan suhu dari Januari hingga Oktober, layanan iklim mengatakan tahun 2024 telah menjadi tahun pertama yang melampaui 1,5°C di atas tingkat pra-industri untuk periode tersebut melampaui tahun 2023 sebanyak 0,16°C.

Berdasarkan Perjanjian Paris, negara-negara sepakat untuk membatasi pemanasan global hingga “jauh di bawah” 2 derajat Celsius dan idealnya hingga 1,5°C. Namun apakah target tersebut telah dilanggar atau tidak tidak dinilai berdasarkan data jangka pendek selama satu tahun karena data tersebut merujuk pada tren suhu jangka panjang.

Anomali suhu permukaan udara global tahunan (°C) relatif terhadap tahun 1850–1900 dari tahun 1940 hingga 2024. Estimasi untuk tahun 2024 bersifat sementara dan berdasarkan data dari bulan Januari hingga Oktober. Sumber data: ERA5. Kredit: Copernicus Climate Change Service /ECMWF.

Rata-rata suhu global selama 12 bulan terakhir (November 2023-Oktober 2024) diperkirakan 1,62°C di atas rata-rata pra-industri tahun 1850-1900. Itu berarti 0,74°C di atas rata-rata tahun 1991-2020.

Laporan tersebut menambahkan bahwa kecuali anomali suhu rata-rata untuk sisa tahun ini turun hingga hampir nol yang sangat tidak mungkin terjadi tahun 2024 hampir pasti akan menjadi tahun terhangat.

Tulisan ini merupakan bagian dari Mother Earth Project yang diproduksi dengan dukungan dari Meedan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Buruan Daftar, Ada Pendanaan untuk 100 Media Lokal Hadiri Local Media Summit 2022

CP WCC, 23 Tahun Berkiprah untuk Perempuan Korban Kekerasan

Redefinisi Keintiman : Mengapa Hubungan Asmara Era Masa Kini Mudah Rapuh?

Leave a Comment