Bincangperempuan.com– Abrasi pantai dapat menyebabkan hilangnya daratan dengan jumlah yang bervariasi tergantung pada lokasi, kondisi cuaca, dan faktor lingkungan lainnya. Secara umum, dibeberapa daerah, abrasi dapat mengakibatkan hilangnya beberapa meter daratan setiap tahun.
Namun, kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, di lokasi tertentu, angka tersebut bisa jauh lebih tinggi, bahkan mencapai puluhan meter.
Sebagai contoh, dibeberapa pantai di Indonesia, laporan menunjukkan bahwa abrasi dapat menghilangkan sekitar 1 hingga 5 meter daratan per tahun, tetapi di daerah yang lebih parah, angka tersebut bisa mencapai 10 meter atau lebih.
WALHI Bengkulu menyebut, penyebab abrasi di pulau-pulau Bengkulu dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik alami maupun manusia.
Beberapa penyebab utama abrasi di kawasan tersebut. Mulai dari energi dari gelombang laut yang tinggi, terutama selama musim angin kencang atau badai, dapat mengikis pantai dan menyebabkan hilangnya daratan.
Lalu, arus yang kuat dapat menggerus material pantai dan mempercepat proses abrasi. Ini sering terjadi di daerah dengan arus yang sangat dinamis.
Kemudian, kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim dapat meningkatkan risiko abrasi, terutama di daerah pesisir yang rendah. Selanjutnya, penebangan atau kerusakan ekosistem mangrove dapat mengurangi perlindungan alami terhadap gelombang dan arus, sehingga meningkatkan risiko abrasi. Mangrove berfungsi sebagai benteng yang melindungi ekosistem.
Tidak hanya itu, pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, bangunan, dan reklamasi pantai dapat mengubah pola arus dan gelombang, yang dapat mempercepat proses abrasi.
Bahkan, erosi yang terjadi di daerah hulu atau di sekitar sungai menyebabkan sedimentasi yang tidak seimbang juga dapat berkontribusi terhadap abrasi.
Terakhir, perubahan dalam penggunaan lahan di sekitar daerah pesisir. Seperti pembangunan perumahan atau pertanian, dapat mempengaruhi stabilitas tanah dan meningkatkan risiko abrasi.
”Mengatasi masalah abrasi memerlukan pendekatan terpadu yang mencakup konservasi lingkungan, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan,” kata Ibrahim, Kamis (05/12/2024)
Hilangnya Daratan Hingga 20 Meter per Tahun
WALHI Bengkulu memantau beberapa wilayah di Bengkulu mengalami abrasi selama 5 tahun terakhir yang mengakibatkan hilangnya daratan sebesar 5-20 meter per tahun, terutama di daerah kawasan pesisir yang terkena dampak langsung dari gelombang laut yang kuat. Seperti, pesisir pantai Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, Mukomuko dan Kabupaten Seluma.
Jika tidak ada tindakan mitigasi yang dilakukan maka kawasan daratan dapat kehilangan ratusan meter bahkan Tenggelam dalam jangka waktu puluhan tahun ke depan.
”Hilangnya daratan yang diakibatkan abrasi dipercepat oleh penebangan mangrove dan vegetasi pantai lainnya, pembangunan infraktstur, industri ekstraktif dan perubahan iklim,” kata Ibrahim.
Baca juga: Perempuan Sungai Lemau Berjuang Melawan Krisis Iklim
Kenaikan muka air laut semakin cepat
Laporan Sintesis untuk Laporan Penilaian Keenam selama Sesi Panel ke-58 yang diadakan di Interlaken, Swiss dari 13-19 Maret 2023, The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dalam Bab 5 Ringkasan Eksekutif, dituliskan lautan sangat penting bagi semua aspek kesejahteraan dan penghidupan manusia.
Merekonstruksi perubahan permukaan laut global dimasa lalu bukanlah tugas yang mudah. Meskipun pengukuran satelit berkualitas tinggi dengan cakupan global telah tersedia sejak awal 1990-an, sebelumnya para peneliti harus bergantung pada pengukur pasang surut yang tersebar di seluruh dunia.
Pengukur pasang surut ini terutama mencakup wilayah pesisir, sehingga para peneliti harus mencari cara terbaik untuk mengisi kekosongan tersebut. Pengukur pasang surut juga bergantung pada faktor-faktor yang dapat mempersulit penafsiran perubahan permukaan laut setempat. Yaitu penurunan permukaan (tanah tenggelam) atau kenaikan permukaan isostatik (tanah naik karena gletser yang mencair).
Permukaan laut telah naik antara 0,18 dan 0,2 m (180 hingga 200 mm) sejak tahun 1900. Kumpulan data Hay dan Dangendorf yang lebih baru cenderung menunjukkan kenaikan permukaan laut yang lebih rendah daripada kumpulan data Church, White, dan Jevrejeva sebelumnya. Meskipun estimasi Sea Level Rise (SLR) sebagian besar sama dalam beberapa dekade terakhir, perbedaan yang lebih besar terlihat jelas sebelum tahun 1980.
Laju perubahan permukaan air laut global ditunjukkan sebagai rata-rata jangka panjang 20 tahun, karena setiap tahun sensitif terhadap suhu permukaan global, tahun-tahun El Nino dengan suhu yang sedikit lebih hangat cenderung memiliki kenaikan permukaan air laut yang lebih cepat dibandingkan tahun-tahun La Nina yang lebih dingin.
Kumpulan data Ray dan Douglas menunjukkan, bahwa tingkat kenaikan permukaan laut atau Sea Level Rise (SLR) yang diukur dengan altimeter satelit, saat ini sedikit lebih tinggi daripada tingkat puncaknya pada tahun 1940-an.
Sementara salah satu dari lima kumpulan data tersebut, Jevrejeva menunjukkan, bahwa tingkat kenaikan permukaan laut, saat ini lebih rendah daripada tingkat kenaikan permukaan laut pada tahun 1940-an.
Ada pula bukti percepatan kenaikan permukaan laut selama periode pasca-1993 ketika data altimetri satelit berkualitas tinggi tersedia.
Menurut laporan terbaru BAMS State of the Climate tahun 2018, percepatan kenaikan permukaan laut selama periode pasca-1993 adalah sekitar 0,1 mm setiap tahun; ini berarti bahwa laju kenaikan permukaan laut meningkat sebesar 1 mm per tahun setiap dekade.
Sudah dua pulau tenggelam
WALHI Bengkulu melihat, kondisi pulau-pulau di Bengkulu ke depannya terancam tenggelam yang dipengaruhi oleh kenaikan permukaan laut dan perubahan iklim yang dapat mengancam pulau-pulau kecil di Bengkulu.
Sebanyak 2 pulau di Bengkulu sudah tenggelam yaitu Pulau Bangkai dan Pulau Satu yang diakibatkan oleh abrasi dan pembalakan liar. Saat ini yang tersisa yaitu Pulau Enggano, Pulau Dua, Pulau Marbau dan Pulau Tikus.
”Dari hasil studi Pulau Tikus yang awalnya 2 ha sekarang menjadi 0,4 ha. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan risiko abrasi dan kerusakan ekosistem pesisir,” jelas Ibrahim.
Untuk mengurangi laju abrasi di pulau-pulau di Bengkulu memerlukan pendekatan multifaset yang melibatkan konservasi lingkungan, rekayasa teknik, dan partisipasi masyarakat.
Beberapa solusi terbaik yang dapat diterapkan misalnya program reboisasi mangrove harus didorong dengan melibatkan masyarakat. Mangrove berfungsi sebagai pelindung alami yang dapat mengurangi kekuatan gelombang dan memperlambat laju abrasi.
Lalu, Pembuatan terumbu buatan dapat membantu mengurangi energi gelombang yang mencapai pantai. Struktur ini juga dapat menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan dan organisme laut, meningkatkan keanekaragaman hayati.
Kemudian, penggunaan geotextile dan batu penahan, menggunakan breakwater atau pemecah gelombang di area yang terancam abrasi dapat membantu menstabilkan tanah dan mengurangi erosi pantai. Ini bisa menjadi solusi sementara sambil menunggu pemulihan ekosistem alami.
Selanjutnya, memulihkan ekosistem pesisir seperti padang lamun dan terumbu karang dapat membantu memperkuat ketahanan pantai. Ekosistem ini berfungsi sebagai penghalang alami terhadap gelombang dan arus laut.
Selain itu, bisa menerapkan praktik pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, seperti pengendalian penangkapan ikan dan perlindungan terhadap habitat kritis, dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
Cara lainnya dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dan dampak abrasi dapat mendorong partisipasi aktif dalam program konservasi.
Hal lainnya dengan cara melakukan penelitian dan pemantauan secara berkala untuk memahami pola abrasi dan dampak perubahan iklim akan membantu dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif.
Lalu mengembangkan regulasi yang ketat terkait pembangunan di kawasan pesisir untuk mencegah aktivitas yang dapat memperburuk abrasi, seperti pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan.
Bahkan bisa dengan bekerja sama dengan lembaga penelitian dan universitas untuk mengembangkan teknologi dan strategi baru dalam penanggulangan abrasi.
Terakhir, merancang infrastruktur yang mempertimbangkan dampak lingkungan, seperti penggunaan material ramah lingkungan dan desain yang meminimalkan gangguan terhadap ekosistem pesisir.
”Dengan mengimplementasikan solusi-solusi ini secara terpadu, diharapkan laju abrasi di pulau-pulau di Bengkulu dapat dikurangi, sehingga ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal dapat terlindungi dan berkelanjutan,” papar Baim.
Pendorong kenaikan muka air laut
Laporan Sintesis untuk Laporan Penilaian Keenam selama Sesi Panel ke-58 yang diadakan di Interlaken, Swiss dari 13-19 Maret 2023, The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dalam Bab 5 Ringkasan Eksekutif, dituliskan lautan sangat penting bagi semua aspek kesejahteraan dan penghidupan manusia.
Meskipun ada hubungan yang jelas antara meningkatnya suhu global dan permukaan laut, mekanisme spesifik yang menyebabkan pemanasan mengakibatkan kenaikan permukaan laut lebih kompleks.
Salah satu pendorong utama kenaikan permukaan laut yang dialami dunia dalam beberapa dekade terakhir bukanlah dari mencairnya gletser atau lapisan es. Melainkan, hal itu disebabkan oleh pemuaian termal air. Saat lautan menghangat, air laut menjadi kurang padat dan mengembang, sehingga permukaan air laut naik.
Peningkatan pesat kandungan panas lautan telah menyebabkan kenaikan permukaan laut sekitar 19 mm hanya akibat ekspansi termal antara tahun 1993 dan 2010, sekitar sepertiga dari total kenaikan sebesar 54 mm.
Perubahan permukaan laut
Perubahan iklim secara general diprediksi terjadi karena kenaikan temperatur. Hal ini disebabkan peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO₂.
Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfir menyebabkan variasi dalam temperatur, baik di darat maupun di laut secara tidak normal. Bahkan tren waktu musim yang abnormal, pola hujan dan lainnya.
Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Yansen menjelaskan, peningkatan GRK akibat aktivitas manusia atau dikenal Anthroppgenic GRK di atmosfir yang dapat menyebabkan abnormalitas iklim tersebut.
Di samping aktivitas manusia, jelas Yansen, juga mengubah landskap penggunaan lahan. Seperti berkurangnya tutupan hutan (vegetasi) yang dapat berkontribusi pada perubahan cuaca pada level lokal atau mempengaruhi siklus hidrologi.
Secara scientific, kata Yansen, perubahan iklim dapat meningkatkan probabilitas peningkatan bencana alam, serta dapat meningkatkan temperatur jika terjadi peningkatan pencairan es di kutub.
“Perubahan permukaan laut akan mengancam wilayah pesisir, termasuk hilangnya wilayah pesisir dan semakin meningkatnya instrusi air laut,” jelas Yansen.
Lalu abnormalitas variasi temperatur mungkin meningkatkan perubahan pola pengaturan iklim oleh laut, yang dapat menyebabkan perubahan pola hujan. Kemudian perubahan iklim dapat meningkatkan kejadian cuaca ekstrim.
Skala yang lebih mikro, sampai Yansen, perubahan tutupan landskap. Dengan semakin berkurangnya vegetasi juga mengubah siklus hidrologi. Tentunya menyebabkan pola hidrologi berubah.
“Misalnya peningkatan hujan dengan intensitas tinggi dan ketidakmampuan tutupan lahan menahan air dan lain-lain,” papar Yansen.
Secara teoritis pemanasan global yang meningkatkan probabilitas kejadian cuaca ekstrim. Hal ini terjadi karena kemungkinan abnormalitas variasi suhu. Contohnya, mengubah pola hujan. Sehingga ada daerah kelebihan hujan atau perpanjangan musim hujan.
Sebaliknya area lain mengalami kekeringan lebih panjang. Dampaknya? Hal ini tentu berbicara tingkat kerentanan. Setiap level masyarakat pasti akan merasakan dampak. Namun kerentanan bagi masyarakat dengan karakteristik berbeda akan berbeda.
“Karena itu masyarakat dengan kondisi ekonomi sosial rendah, tingkat kerentanan akan paling tinggi. Anak-anak juga merupakan kelompok paling rentan terdampak, dengan dampak yang kemungkinan lebih parah (severe),” sampai Yansen.
Kenaikan muka air laut atau Sea Level Rise (SLR) merupakan salah satu dampak paling parah dari perubahan iklim, dengan naiknya permukaan air laut yang mengancam akan membanjiri negara-negara kepulauan kecil dan wilayah pesisir pada akhir abad ini.
Peningkatan permukaan laut merupakan salah satu dampak yang memiliki ketidakpastian terbesar, dengan berbagai penelitian memproyeksikan rentang yang sangat berbeda sepanjang abad ke-21.
Lautan Bumi telah naik sekitar 0,2 m sejak akhir 1800-an, dengan laju kenaikan permukaan laut yang semakin cepat dalam beberapa dekade terakhir. Dalam laporan penilaian kelima tahun 2013 (AR5), The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan bahwa kenaikan permukaan laut “tidak mungkin” melebihi 1 m pada abad ini, bahkan jika emisinya sangat tinggi.
Namun, sejumlah studi yang diterbitkan pada tahun-tahun setelahnya menunjukkan, bahwa proyeksi terburuk untuk kenaikan permukaan laut, bisa jauh lebih tinggi hingga 2 juta atau lebih pada abad ini.
Baca juga: #WomenInMaleFields: Menggugat Norma Gender di Media Sosial
Luas lahan basah global menurun
Ekosistem pesisir diamati mengalami tekanan akibat pemanasan laut dan peningkatan permukaan laut yang diperburuk oleh tekanan non-iklim dari aktivitas manusia di laut dan daratan.
Luas lahan basah global telah menurun hampir 50% dibandingkan dengan tingkat pra-industri akibat pemanasan, kenaikan permukaan tanah, peristiwa iklim ekstrem, dan dampak manusia lainnya.
Perambahan hutan bakau ke rawa-rawa garam subtropis akibat pemanasan global telah diamati dalam 50 tahun terakhir. Distribusi padang lamun dan hutan rumput laut semakin menyempit di daerah lintang rendah yang disebabkan oleh pemanasan global, dan dibeberapa daerah kehilangan 36–43% akibat gelombang panas.
Banjir, erosi garis pantai dan salinitas menyebabkan pergeseran distribusi spesies tanaman ke daratan, yang telah semakin cepat terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Pemanasan global telah meningkatkan frekuensi peristiwa pemutihan karang dalam skala besar, yang menyebabkan degradasi terumbu karang di seluruh dunia sejak tahun 1997–1998 dengan kasus peralihan ke terumbu karang yang didominasi alga.
Organisme berkapur yang tidak bergerak (misalnya, teritip dan kerang) di pantai berbatu pasang surut sangat sensitif terhadap peristiwa suhu ekstrem dan pengasaman, penurunan keanekaragaman hayati dan kelimpahannya telah diamati di ekosistem terumbu karang berbatu yang diasamkan secara alami.
Peningkatan beban nutrisi dan bahan organik di muara sejak tahun 1970-an, telah memperburuk dampak pemanasan terhadap respirasi bakteri dan eutrofikasi, yang menyebabkan perluasan daerah hipoksia.
Ekosistem pesisir dan dekat pantai termasuk rawa asin, hutan bakau, dan bukit pasir yang ditumbuhi vegetasi di pantai berpasir memiliki kapasitas, yang bervariasi untuk membangun secara vertikal dan berkembang secara lateral, sebagai respons terhadap peningkatan permukaan laut.
Ekosistem ini menyediakan layanan penting termasuk perlindungan pesisir, penyerapan karbon, dan habitat bagi beragam biota. Emisi karbon yang terkait dengan hilangnya ekosistem pesisir bervegetasi diperkirakan sebesar 0,04–1,46 Gt C tahun -1.
Kapasitas alami ekosistem untuk beradaptasi terhadap dampak iklim mungkin dibatasi oleh aktivitas manusia, yang memecah habitat lahan basah dan membatasi migrasi ke daratan.
Sejak awal tahun 1980-an, terjadinya ledakan alga berbahaya (HABs) dan organisme patogen (misalnya, Bakteri Vibrio) meningkat di wilayah pesisir, sebagai respon terhadap pemanasan, deoksigenasi dan eutrofikasi, dengan dampak negatif pada penyediaan pangan, pariwisata, ekonomi dan kesehatan manusia.
Dampak-dampak ini bergantung pada respons spesifik spesies terhadap dampak interaktif perubahan iklim dan faktor-faktor pendorong manusia lainnya (misalnya, polusi). Komunitas manusia di wilayah-wilayah yang kurang termonitor merupakan kelompok yang paling rentan terhadap bahaya-bahaya biologis ini.
Pemerintah harus cepat bertindak
WALHI Bengkulu mendesak agar Pemerintah segera mengatasi masalah abrasi pantai melalui berbagai upaya dan kebijakan. Beberapa langkah yang biasanya diambil oleh pemerintah untuk menangani abrasi.
Mulai dari membangun infrastruktur untuk melindungi pantai dari kekuatan gelombang yang merusak seperti pemecah gelombang, tanggul, dan dinding penahan. Infrastruktur ini dirancang untuk mengurangi dampak abrasi.
Lalu, pemerintah melaksanakan program reboisasi dengan melibatkan masyarakat lokal, khususnya penanaman mangrove dan vegetasi pesisir lainnya, untuk memperkuat garis pantai dan mengurangi erosi.
Kemudian, segera memulihkan habitat alami seperti terumbu karang dan padang lamun yang berfungsi sebagai pelindung alami terhadap abrasi.
Selanjutnya, pemerintah memperkuat regulasi yang membatasi pembangunan di kawasan pesisir atau mengatur penggunaan lahan, untuk mencegah aktivitas yang dapat memperburuk abrasi. Kebijakan ini juga mencakup perlindungan terhadap ekosistem pesisir.
”Pelibatan dan partisipasi masyarakat, pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan melalui perencanaan dan pelaksanaan program perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir,” tegas Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga.
Respons terhadap peningkatan permukaan laut
Laporan Sintesis untuk Laporan Penilaian Keenam selama Sesi Panel ke-58 yang diadakan di Interlaken, Swiss dari 13-19 Maret 2023, The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Dalam Bab 5 Ringkasan Eksekutif, dituliskan lautan sangat penting bagi semua aspek kesejahteraan dan penghidupan manusia.
Lautan menyediakan berbagai layanan utama seperti pengaturan iklim, melalui anggaran energi, siklus karbon, dan siklus nutrisi. Lautan merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati mulai dari mikroba hingga mamalia laut yang membentuk berbagai macam ekosistem di perairan terbuka dan pesisir.
Emisi karbon dari aktivitas manusia menyebabkan pemanasan laut, pengasaman, dan hilangnya oksigen dengan beberapa bukti perubahan dalam siklus nutrisi dan produksi primer.
Pemanasan laut memengaruhi organisme laut di berbagai tingkat trofik, berdampak pada perikanan dengan implikasi pada produksi pangan dan komunitas manusia. Kekhawatiran mengenai efektivitas tata kelola kelautan dan perikanan yang ada telah dilaporkan, yang menyoroti perlunya respons mitigasi dan adaptasi yang tepat waktu.
Lautan telah menghangat tanpa henti sejak tahun 2005, melanjutkan tren pemanasan laut multi-dekade yang jelas yang didokumentasikan dalam Laporan Penilaian Kelima IPCC (AR5).
Tren pemanasan lebih lanjut dikonfirmasi oleh pengukuran suhu laut yang lebih baik selama dekade terakhir. Lapisan laut 0-700 m dan 700-2000 m telah menghangat pada tingkat 5,31 ± 0,48 dan 4,02 ± 0,97 ZJ tahun -1 dari tahun 2005 hingga 2017.
Tren jangka panjang untuk lapisan 0-700 m dan 700-2000 m telah menghangat 4,35 ± 0,8 dan 2,25 ± 0,64 ZJ tahun -1 dari antara rata-rata tahun 1971-1990 dan 1998-2017 dan dikaitkan dengan pengaruh antropogenik. Pemanasan laut terus berlanjut di Samudra Abisal dan Samudra dalam di bawah 2000 m (belahan bumi selatan dan Samudra Selatan).
Laju pemanasan laut telah meningkat sejak tahun 1993. Lapisan laut 0−700 m dan 700–2000 m telah menghangat sebesar 3,22 ± 1,61 ZJ dan 0,97 ± 0,64 ZJ dari tahun 1969 hingga 1993, dan 6,28 ± 0,48 ZJ dan 3,86 ± 2,09 ZJ dari tahun 1993 hingga 2017. Hal ini menunjukkan setidaknya terjadi peningkatan dua kali lipat dalam penyerapan panas.
Laut bagian atas adalah sangat mungkin mengalami stratifikasi sejak tahun 1970. Pemanasan yang diamati dan penyegaran di daerah lintang tinggi, membuat permukaan laut menjadi kurang padat.
Seiring berjalannya waktu dibandingkan dengan laut yang lebih dalam dan menghambat pertukaran antara perairan permukaan dan perairan dalam. Peningkatan stratifikasi 200 m bagian atas berada disangat mungkin kisaran antara 2,18−2,42% dari tahun 1970 hingga 2017.
Berbagai kumpulan data dan model menunjukkan, laju penyerapan CO₂ atmosfer oleh laut terus meningkat dalam dua dekade terakhir sebagai respons terhadap peningkatan konsentrasi CO₂ di atmosfer. Kisaran serapan laut adalah antara 20–30% dari total emisi antropogenik dalam dua dekade terakhir.
Bukti semakin berkembang bahwa serapan karbon laut bersifat dinamis pada skala waktu dekade, terutama di Samudra Selatan, yang telah memengaruhi total serapan karbon laut global.
Lautan terus mengalami pengasaman sebagai respons terhadap penyerapan karbon laut yang terus berlangsung. pH air permukaan laut terbuka diamati mengalami penurunan, kisaran 0,017−0,027 unit pH per dekade sejak akhir tahun 1980-an di seluruh pengamatan deret waktu individual yang lebih dari 15 tahun.
Sinyal pH antropogenik adalah sangat mungkin muncul ditiga perempat wilayah laut terbuka dekat permukaan sebelum tahun 1950, dan itu adalah sangat mungkin bahwa lebih dari 95% lautan terbuka di dekat permukaan telah terpengaruh.
Perubahan pH ini telah mengurangi stabilitas bentuk mineral kalsium karbonat karena penurunan konsentrasi ion karbonat, terutama di wilayah upwelling dan lintang tinggi lautan.
Terdapat konsensus yang berkembang bahwa lautan terbuka kehilangan oksigen secara keseluruhan sangat mungkin kehilangan 0,5−3,3% antara tahun 1970–2010 dari permukaan laut hingga kedalaman 1000 m.
Secara global, hilangnya oksigen akibat pemanasan diperkuat oleh proses lain yang terkait dengan fisika laut dan biogeokimia, yang menyebabkan sebagian besar penurunan oksigen yang diamati.
Zona minimum oksigen (OMZ) meluas sebesar sangat mungkin kisaran 3–8%, terutama di lautan tropis, namun terdapat variabilitas dekade yang cukup besar yang mempengaruhi atribusi penurunan oksigen secara keseluruhan terhadap aktivitas manusia di wilayah tropis.
Sebagai respon terhadap pemanasan laut dan peningkatan stratifikasi, siklus nutrisi laut terbuka terganggu dan terjadi kepercayaan diri yang tinggi, bahwa hal ini memiliki dampak yang bervariasi secara regional terhadap produsen primer.
Saat ini ada kepercayaan diri rendah dalam menilai tren produktivitas laut lepas di masa lalu, termasuk yang ditentukan oleh satelit, karena faktor pendorong pertumbuhan mikroba yang baru diidentifikasi di suatu wilayah dan kurangnya bukti yang mendukung.di tempat kumpulan data deret waktu.
Pemanasan laut telah berkontribusi terhadap perubahan yang diamati dalam biogeografi organisme mulai dari fitoplankton hingga mamalia laut, sehingga mengubah komposisi komunitas, dan dalam beberapa kasus, mengubah interaksi antar organisme.
Tingkat pergeseran rentang yang diamati sejak tahun 1950-an. Kemungkinan besar jangkauannya diperkirakan sebesar 51,5 ± 33,3 km per dekade dan 29,0 ± 15,5 km per dekade, untuk organisme di ekosistem epipelagik dan dasar laut. Arah mayoritas pergeseran organisme epipelagik konsisten, dengan respons terhadap pemanasan.
Perluasan jangkauan spesies tropis ke daerah lintang tinggi akibat pemanasan global, telah menyebabkan peningkatan penggembalaan dibeberapa terumbu karang, terumbu karang berbatu, padang lamun, dan ekosistem epipelagik, yang mengakibatkan perubahan struktur ekosistem.
Pemanasan, kenaikan muka air laut dan peningkatan beban nutrisi dan sedimen di delta telah berkontribusi terhadap salinisasi dan deoksigenasi di muara, dan telah menyebabkan redistribusi spesies bentik dan pelagis di hulu sesuai dengan batas toleransinya.
Mengurangi risiko dan dampak
Ada bukti yang jelas tentang dampak perubahan iklim yang diamati di seluruh lautan, dengan konsekuensi bagi masyarakat manusia dan memerlukan pilihan untuk mengurangi risiko dan dampak. Karbon biru pesisir dapat berkontribusi terhadap mitigasi, bagi banyak negara tetapi cakupan globalnya sederhana (pengimbangan <2% dari emisi saat ini).
Beberapa indeks laut diperkirakan muncul lebih awal daripada yang lain (misalnya, pemanasan, pengasaman, dan dampak pada stok ikan), dan karenanya dapat digunakan untuk memprioritaskan perencanaan dan membangun ketahanan. Kelangsungan hidup beberapa ekosistem utama (misalnya, terumbu karang) terancam.
Sementara struktur tata kelola tidak sesuai dengan skala spasial dan temporal dampak perubahan iklim pada sistem laut. Pemulihan ekosistem mungkin dapat mengurangi risiko iklim secara lokal, namun dengan biaya yang relatif tinggi dan efektivitas yang terbatas pada skenario emisi rendah dan sistem yang kurang sensitif.
Ekosistem karbon biru pesisir. Seperti hutan bakau, rawa asin, dan lamun, dapat membantu mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim, dengan berbagai manfaat tambahan.
Sekitar 151 negara di seluruh dunia memiliki setidaknya satu ekosistem karbon biru pesisir ini dan 71 negara memiliki ketiganya. Penyimpanan karbon di bawah tanah di habitat laut yang ditumbuhi tanaman dapat mencapai 1000 tC ha -1, jauh lebih tinggi daripada sebagian besar ekosistem darat.
Implementasi yang berhasil dari langkah-langkah untuk menjaga dan meningkatkan penyimpanan karbon di ekosistem pesisir, dapat membantu beberapa negara mencapai keseimbangan antara emisi dan penyerapan gas rumah kaca.
Konservasi habitat ini juga akan mendukung berbagai layanan ekosistem yang disediakannya dan membantu adaptasi iklim, melalui peningkatan habitat penting bagi keanekaragaman hayati, peningkatan produksi perikanan lokal, dan perlindungan masyarakat pesisir dari kenaikan permukaan laut dan badai.
Efektivitas mitigasi iklim dari proses penghilangan karbon alami lainnya di perairan pesisir. Seperti ekosistem rumput laut dan metode penghilangan CO₂ laut non-biologis yang diusulkan, lebih kecil atau saat ini memiliki ketidakpastian terkait yang lebih tinggi. Akuakultur rumput laut memerlukan perhatian penelitian lebih lanjut.
Manfaat potensial ekosistem karbon biru bagi iklim hanya dapat menjadi tambahan yang sangat kecil, dan bukan pengganti, bagi pengurangan emisi gas rumah kaca yang sangat cepat.
Manfaat mitigasi global maksimum dari restorasi lahan basah pesisir yang hemat biaya, adalah tidak mungkin menjadi lebih dari 2% dari total emisi saat ini dari semua sumber.
Meskipun demikian, perlindungan dan peningkatan karbon biru pesisir dapat menjadi kontribusi penting bagi mitigasi dan adaptasi pada skala nasional. Kelayakan mitigasi iklim dengan pemupukan produktivitas laut terbuka terbatas hingga dapat diabaikan.
Kemungkinan pengembalian skala dekade ke atmosfer dari hampir semua karbon ekstra yang dihilangkan, kesulitan terkait dalam penghitungan karbon, risiko efek samping yang tidak diinginkan, dan penerimaan yang rendah.
Intervensi manusia lainnya untuk meningkatkan penyerapan karbon laut. Misalnya, alkalinisasi laut (peningkatan pelapukan), juga akan memiliki tantangan tata kelola, dengan peningkatan risiko konsekuensi ekologis yang tidak diinginkan.
Respons adaptasi sosioinstitusional lebih sering dilaporkan dalam literatur dibandingkan pendekatan berbasis ekosistem dan infrastruktur yang dibangun.
Respons rekayasa keras lebih efektif bila didukung oleh pendekatan adaptasi berbasis ekosistem, dan kedua pendekatan tersebut ditingkatkan dengan menggabungkan pendekatan sosioinstitusional untuk adaptasi.
Adaptasi berbasis ekosistem merupakan alat perlindungan pesisir yang hemat biaya dan dapat memberikan banyak manfaat tambahan, termasuk mendukung mata pencaharian, berkontribusi terhadap penyerapan karbon dan penyediaan berbagai layanan ekosistem berharga lainnya.
Namun, adaptasi semacam itu mengasumsikan bahwa iklim dapat distabilkan. Dalam kondisi iklim yang berubah, ada batasan terhadap efektivitas adaptasi berbasis ekosistem, dan batasan ini saat ini sulit ditentukan.
Respon adaptasi sosial-institusional, termasuk adaptasi berbasis masyarakat, pengembangan kapasitas, proses partisipatif, dukungan kelembagaan untuk perencanaan adaptasi dan mekanisme dukungan bagi masyarakat merupakan alat penting untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Dalam pengelolaan perikanan, peningkatan koordinasi pengelolaan pesisir terpadu dan kawasan lindung laut (KKL) telah muncul dalam literatur sebagai respons tata kelola adaptasi yang penting (bukti kuat, persetujuan sedang).
Penurunan yang meluas pada karang air hangat telah menyebabkan pertimbangan pendekatan pemulihan alternatif untuk meningkatkan ketahanan iklim. Pendekatan seperti ‘berkebun terumbu karang’ telah diuji, dan rekayasa ekologi serta pendekatan lain seperti evolusi terbantu, kolonisasi, dan chimerisme sedang diteliti untuk pemulihan terumbu karang.
Namun, efektivitas pendekatan ini untuk meningkatkan ketahanan terhadap stresor iklim dan penerapannya dalam skala besar untuk pemulihan terumbu karang akan terbatas kecuali pemanasan dan pengasaman laut dikendalikan dengan cepat.
Struktur tata kelola laut yang ada saat ini menghadapi tantangan multidimensi dan terkait skala akibat perubahan iklim. Tren peningkatan kompleksitas ini akan terus berlanjut.
Mekanisme tata kelola Kawasan Laut di Luar Yurisdiksi Nasional (ABNJ), seperti pengasaman laut, akan mendapat manfaat dari pengembangan lebih lanjut. Terdapat pula peluang untuk meningkatkan efektivitas keseluruhan rezim tata kelola laut internasional dan nasional dengan meningkatkan kerja sama, integrasi, dan memperluas partisipasi.
Berbagai adaptasi tata kelola terkait kelautan tengah dicoba, dan beberapa di antaranya menghasilkan hasil yang menjanjikan. Akan tetapi, evaluasi yang cermat diperlukan untuk menilai efektivitas adaptasi ini dalam mencapai tujuannya.
Terdapat berbagai hambatan dan batasan yang telah diidentifikasi dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim pada ekosistem dan sistem manusia. Keterbatasan tersebut meliputi ruang yang dibutuhkan ekosistem, faktor pendorong non-iklim dan dampak manusia yang perlu ditangani sebagai bagian dari respons adaptasi.
Penurunan kapasitas adaptif ekosistem akibat perubahan iklim, dan tingkat pemulihan ekosistem yang lebih lambat dibandingkan dengan dampak iklim yang berulang, ketersediaan teknologi, pengetahuan dan dukungan finansial serta struktur tata kelola yang ada.
Tulisan ini merupakan bagian dari Mother Earth Project yang diproduksi dengan dukungan dari Meedan