Home » News » #WomenInMaleFields: Menggugat Norma Gender di Media Sosial

#WomenInMaleFields: Menggugat Norma Gender di Media Sosial

Bincang Perempuan

News

#WomenInMaleFields Menggugat Norma Gender di Media Sosial

Bincangperempuan.com- Platform TikTok belakangan diramaikan dengan tagar #WomenInMaleFields. Tagar tersebut pertama kali menjadi populer di X (dulu Twitter, red) pada Mei 2023. Dilansir dari Knowyourmeme salah satu pengguna X @Puff_Iya memposting cerita tentang seorang perempuan yang menghadiri acara baby shower yang berbeda dengan menggunakan gaun yang sama, namun pergi bersama dua laki-laki yang berbeda.

Cuitan tersebut merupakan satire tentang bagaimana “kegagalan” perempuan dalam menjalani banyak hubungan yang sebenarnya adalah kemajuannya nyata dalam hal yang umumnya dilakukan laki-laki. Cerita ini kemudian direpost pengguna lain di X hingga akhirnya menyebar ke TikTok pada November 2024.

Di TikTok, pengguna @kjnny  juga mempopulerkan tren ini dengan video yang menggambarkan bagaimana perempuan mengembalikan energi yang mereka terima dari laki-laki dalam sebuah hubungan. Tren ini semakin viral dengan banyak pengguna lain yang menambahkan konten mereka dengan tagar tersebut, #WomenInMaleFields.

Alhasil, tren tagar #WomenInMaleFields menarik perhatian banyak netizen,  karena menggunakan pendekatan yang unik untuk membahas norma gender di masyarakat. Memanfaatkan humor dan satire, para kreator konten di TikTok menggambarkan bagaimana perempuan bisa mengekspresikan dirinya di bidang atau aktivitas yang secara tradisional diasosiasikan “hanya” untuk laki-laki.

Tren ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga membuka ruang diskusi mengenai konstruksi sosial tentang apa yang dianggap sebagai perilaku “laki-laki” dan “perempuan.”

Baca juga: Humor Seksis Bukan Lelucon, Itu Bentuk Kekerasan Verbal

Mengapa #WomenInMaleFields menjadi viral?

Salah satu alasan utama di balik viralnya #WomenInMaleFields adalah daya tarik visual dan narasi kreatif yang dimanfaatkan oleh para kreator. Video-video dalam tren ini sering kali menggunakan musik dramatis atau suara narasi ala dokumenter, menggambarkan perempuan yang melakukan kegiatan sehari-hari dengan cara “berlebihan” seperti yang sering diasosiasikan dengan stereotip laki-laki.

Misalnya, perempuan yang sedang memasak tetapi digambarkan seolah-olah sedang menyelesaikan misi militer, atau perempuan yang menyapu lantai dengan narasi serius seperti seorang teknisi sedang memperbaiki mesin berat.

Satire ini tidak hanya lucu, tetapi juga menyindir stereotip gender yang telah mengakar dalam masyarakat. Konten-konten ini berhasil menciptakan koneksi emosional dengan audiens, terutama perempuan muda yang sering kali mengalami tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma gender tradisional.

Satire sebagai alat kritik sosial

Satire telah lama digunakan sebagai alat kritik sosial, dan tren ini menjadi contoh modern bagaimana humor dapat membongkar konstruksi sosial yang membatasi. Tagar #WomenInMaleFields, satire digunakan untuk menunjukkan absurditas di balik anggapan bahwa bidang tertentu lebih cocok untuk laki-laki daripada perempuan.

Misalnya, pekerjaan seperti teknik, konstruksi, atau olahraga ekstrem sering kali dianggap sebagai “bidang laki-laki.” Tren ini membalik anggapan tersebut dengan menunjukkan bahwa perempuan juga mampu melakukan hal yang sama bahkan dengan sentuhan humor. Video-video ini menyampaikan pesan bahwa kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh gender, tetapi oleh dedikasi dan kompetensi individu.

Humor dalam tren ini juga efektif karena mampu menarik perhatian tanpa membuat audiens merasa dihakimi. Alih-alih menggunakan pendekatan konfrontatif, para kreator menggunakan humor untuk mengajak audiens berpikir ulang tentang bias mereka sendiri.

Menggugat norma gender dan mengubah narasi

Norma gender adalah aturan atau ekspektasi sosial yang mengatur bagaimana laki-laki dan perempuan “seharusnya” bertindak, berbicara, atau berperan dalam masyarakat. Norma ini sering kali terbentuk dari budaya patriarki yang sudah mengakar selama berabad-abad, menciptakan pembagian peran yang kaku berdasarkan gender. Namun, norma-norma tersebut tidak jarang membatasi potensi individu dan menyebabkan ketidakadilan gender. Tren #WomenInMaleFields hadir sebagai respons untuk menggugat dan mempertanyakan aturan sosial yang tidak lagi relevan ini.

Salah satu cara tren ini menggugat norma gender adalah dengan memparodikan aktivitas yang dianggap maskulin dan menunjukkan absurditas di balik pembagian peran tersebut. Misalnya, dalam video-video yang beredar, perempuan digambarkan sedang melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi dengan pendekatan dramatis yang biasanya diasosiasikan dengan pekerjaan berat seperti konstruksi atau teknik. Humor ini berhasil menunjukkan kontradiksi bahwa pekerjaan rumah tangga, yang sering dilabeli sebagai “ringan” dan “tugas perempuan,” sebenarnya juga membutuhkan tenaga dan keterampilan.

Lebih lanjut, tren ini menyindir bagaimana norma gender dapat menciptakan pembatasan yang tidak masuk akal. Misalnya, pekerjaan seperti teknisi mesin atau sopir truk sering diasosiasikan dengan laki-laki, sementara profesi seperti perawat atau guru lebih sering dikaitkan dengan perempuan. Anggapan ini tidak hanya menghambat perempuan untuk masuk ke bidang yang dianggap maskulin, tetapi juga menekan laki-laki yang ingin menekuni profesi yang dianggap feminin. Norma ini mempersempit ruang gerak bagi semua gender, menciptakan ketimpangan yang merugikan.

Selain itu, norma gender tradisional sering kali membebankan ekspektasi emosional yang tidak adil. Laki-laki diajarkan untuk tidak menunjukkan emosi atau kelemahan, sementara perempuan diharapkan selalu lemah lembut dan penuh empati. Tren #WomenInMaleFields membongkar pola ini dengan cara kreatif, seperti menampilkan perempuan yang bersikap tegas, berani, dan kompeten di bidang yang selama ini diasosiasikan dengan dominasi laki-laki. Pesan yang disampaikan jelas: sifat dan kemampuan tidak ditentukan oleh gender, melainkan oleh individu itu sendiri.

Dampak negatif dari norma gender juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, anggapan bahwa perempuan kurang kompeten di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) menyebabkan minimnya representasi perempuan di sektor tersebut. Hal ini bukan hanya mengurangi peluang perempuan untuk berkembang, tetapi juga menghilangkan potensi kontribusi besar mereka dalam inovasi teknologi. Tren #WomenInMaleFields mengangkat isu ini dengan cara yang ringan tetapi menyentuh, membuat audiens berpikir ulang tentang bias yang mungkin tidak mereka sadari.

Lebih jauh lagi, tren ini juga menggarisbawahi bagaimana norma gender dapat membatasi kebebasan individu untuk mengekspresikan diri. Laki-laki yang menyukai seni, memasak, atau merawat anak sering kali mendapat stigma karena aktivitas tersebut dianggap “perempuan.” Sebaliknya, perempuan yang ambisius dan berkarier di bidang berat kerap dianggap melanggar norma. Tren ini hadir sebagai pengingat bahwa tidak ada aktivitas atau pekerjaan yang secara alami melekat pada satu gender tertentu.

Pesan utama dari #WomenInMaleFields adalah bahwa gender tidak seharusnya menjadi penghalang untuk melakukan apa pun yang diinginkan. Memperlihatkan bahwa perempuan juga mampu “beroperasi” di bidang yang didominasi laki-laki, tren ini membuka ruang bagi diskusi yang lebih luas tentang pentingnya inklusivitas dan penghargaan terhadap kemampuan individu.

Tingginya pengguna media sosial, khususnya TikTok, telah menjadi ruang yang kuat untuk memperjuangkan isu-isu sosial. Algoritma yang mendorong konten kreatif dan relatable, tren seperti #WomenInMaleFields memiliki potensi untuk menjangkau jutaan orang dalam waktu singkat, alias FYP (For Your Page)

Selain itu, platform seperti TikTok memungkinkan perempuan untuk menceritakan pengalaman mereka secara autentik. Dalam tren ini, perempuan dari berbagai latar belakang membagikan pengalaman mereka di bidang yang sering didominasi laki-laki, seperti sains, teknologi, dan olahraga. Lewat cara ini, tren ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjadi bentuk solidaritas dan pemberdayaan.

Baca juga: “Tobrut” dan “Aura Maghrib” Objektifikasi Perempuan di Media Sosial

Kritik dan tantangan terhadap tren

Meskipun tren ini mendapat banyak pujian, tidak sedikit juga yang memberikan kritik. Beberapa orang berpendapat bahwa penggunaan humor dapat meremehkan isu serius terkait diskriminasi gender di tempat kerja. Ada pula yang merasa bahwa tren ini hanya menyentuh permukaan masalah tanpa memberikan solusi konkret.

Namun, penting untuk diingat bahwa tujuan utama dari tren ini adalah untuk memulai percakapan. Menarik perhatian audiens melalui humor, tren ini berhasil membuka ruang diskusi yang mungkin sebelumnya sulit dilakukan.

Humor dan satire saat ini cenderung efektif, karena  dengan cara yang unik dalam menyampaikan pesan sosial. Menurut penelitian, humor dapat membantu mengurangi resistensi terhadap pesan yang sensitif atau kontroversial.  Dalam kasus tagar #WomenInMaleFields, humor digunakan untuk mengurangi ketegangan dan membuat audiens lebih terbuka terhadap gagasan baru.

Satire juga efektif karena memungkinkan orang untuk melihat isu dari sudut pandang yang berbeda. Dalam video-video TikTok, audiens diajak untuk mempertanyakan mengapa mereka mengasosiasikan aktivitas tertentu dengan gender tertentu. Misalnya, mengapa memasak di rumah dianggap “tugas perempuan,” sementara memasak di restoran bintang lima dianggap “pekerjaan laki-laki”?

Tren #WomenInMaleFields tidak hanya relevan untuk diskusi online, tetapi juga memiliki potensi untuk memengaruhi perubahan nyata di dunia nyata. Dengan meningkatnya kesadaran tentang bias gender, perusahaan dan institusi dapat terdorong untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif.

Selain itu, tren ini juga dapat menginspirasi generasi muda untuk menantang norma-norma yang membatasi mereka. Perempuan muda yang melihat video ini mungkin merasa lebih percaya diri untuk mengejar karier di bidang yang didominasi laki-laki, sementara laki-laki mungkin merasa lebih terbuka untuk mengekspresikan diri mereka di bidang yang dianggap “perempuan.”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Artificial Intelligence dan Ancaman Pornografi di Ruang Digital

Han Kang, Perempuan Asia Pertama Peraih Nobel Sastra

Han Kang, Perempuan Asia Pertama Peraih Nobel Sastra

Bukan Hal Biasa, Mereka Telah Membangun Kedaulatan Pangan

Leave a Comment