Home » News » Pentingnya Perspektif Korban dalam Kasus Kekerasan Seksual 

Pentingnya Perspektif Korban dalam Kasus Kekerasan Seksual 

Rifaldy Zelan

News

Pentingnya Perspektif Korban dalam Kasus Kekerasan Seksual 

Bincangperempuan.com-  Awal Desember 2024, publik dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas fisik, I Wayan Agus Suartama, atau yang dikenal sebagai Agus. Pria asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelecehan seksual terhadap 17 orang, termasuk anak-anak di bawah umur.

Menurut laporan Antara, kepolisian mengungkap bahwa Agus menggunakan manipulasi emosi dan psikologis untuk memaksa korban mengikuti keinginannya. Ia bahkan mengancam akan membongkar aib korban jika tidak menurutinya.

Kasus ini menjadi sorotan karena menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat: bagaimana seorang tunadaksa dapat melakukan tindak kekerasan seksual? Selain itu, Agus menyebarkan narasi simpati, seperti klaim bahwa ia masih memerlukan bantuan ibunya untuk berpakaian, sehingga dianggap tidak mungkin melakukan tindakan tersebut.

Sayangnya, banyak masyarakat yang memihak Agus daripada mempercayai para korban. Bahkan, sejumlah konten di media sosial memparodikan kasus ini, disertai komentar yang menyudutkan korban. Respons publik ini mencerminkan minimnya pemahaman masyarakat terhadap perspektif korban dan tingginya stigma terhadap penyandang disabilitas.

Anggapan bahwa penyandang disabilitas “tidak berdaya” atau “tidak mampu” secara fisik maupun mental masih kuat di masyarakat. Hal ini membuat banyak orang sulit menerima kenyataan bahwa seorang penyandang disabilitas dapat menjadi pelaku kekerasan seksual.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya edukasi tentang perspektif korban dalam masyarakat. Dengan memahami pengalaman korban, publik diharapkan dapat lebih empati dan tidak mudah terpengaruh narasi simpati dari pelaku. Selain itu, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari kondisi fisik atau latar belakang pelaku.

Baca juga: Menanti Keadilan dalam Kasus Pencabulan Dua Anak di Baubau

Victim Blaming dan The Perfect Victim 

Kasus Agus baru mencuat setelah seorang mahasiswi berinisial MA melaporkan Agus ke Polda NTB. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata bukan hanya MA yang menjadi korban, melainkan terdapat 16 korban lainnya. Melansir Detik, para korban awalnya merasa takut untuk melapor karena khawatir tidak ada pihak yang mempercayai mereka.  

“Ketakutan korban untuk kemudian tidak ada yang mempercayainya itu membuat korban selama ini banyak tidak muncul,” ungkap Ade Latifa, pendamping para korban.  

Ketakutan para korban sangat valid, terutama karena saat kasus ini mulai ramai diperbincangkan, banyak masyarakat yang justru menyalahkan korban melalui tindakan victim blaming. 

Victim blaming adalah perilaku menyalahkan korban atas kekerasan seksual yang mereka alami. Dalam kasus ini, para korban disalahkan karena dianggap tidak melawan, tidak melarikan diri, atau bahkan dituduh menikmati kekerasan seksual yang dilakukan oleh Agus.  

Victim Blaming dan Mitos Pemerkosaan  

Victim blaming kerap terjadi karena adanya mitos pemerkosaan atau rape myths. Menurut penelitian Wulandari dan Krisnani (2020), rape myths adalah prasangka, stereotip, atau kesalahpahaman tentang pemerkosaan, korban pemerkosaan, dan pelaku. Masyarakat yang percaya pada rape myths sering kali menetapkan standar tertentu untuk menentukan apakah seseorang layak dianggap sebagai korban kekerasan seksual atau disebut sebagai “the perfect victim”.  

Mengutip dari The Conversation, kriminolog Nils Christie mendefinisikan “the perfect victim” sebagai individu yang memenuhi karakteristik tertentu sehingga lebih mudah dipercaya sebagai korban. Kriteria tersebut antara lain “suci”, lemah, dan tidak bercela. Dalam kasus ini, korban dianggap tidak memenuhi kriteria tersebut karena pelakunya adalah penyandang disabilitas fisik, yang sering dianggap lemah.  

Masyarakat beranggapan bahwa korban seharusnya mampu melawan atau kabur saat peristiwa terjadi. Padahal, respons seseorang terhadap kekerasan seksual sangat beragam. Salah satu respons yang umum terjadi adalah diam membeku atau tonic immobility, yaitu kelumpuhan akibat trauma.  

Manipulasi dan Relasi Kuasa oleh Pelaku  

Polisi menyebut bahwa Agus menggunakan manipulasi emosional dan psikologis untuk menjebak korban dalam situasi tersebut, sehingga korban kehilangan kemampuan untuk melawan. Selain itu, banyak orang menyangsikan Agus sebagai pelaku kekerasan seksual karena ia merupakan penyandang disabilitas fisik yang tidak memiliki lengan.  

Pandangan ini mencerminkan stereotip kuat terhadap penyandang disabilitas, yang sering dianggap sebagai individu yang lemah, tidak berbahaya, atau tidak mampu melakukan tindakan kekerasan. 

Namun, meskipun memiliki keterbatasan fisik, Agus memanfaatkan relasi kuasa dan manipulasi untuk mengendalikan korban. Bahkan, ia memanipulasi opini publik agar percaya bahwa dirinya tidak mungkin bersalah karena keterbatasan fisiknya.  

Baca juga: Mengungkap Kekerasan Seksual: Definisi, Jenis, dan Contohnya

Dampak Stereotip terhadap Penyandang Disabilitas  

Stereotip semacam ini tidak hanya menyulitkan korban untuk mendapatkan keadilan, tetapi juga memperburuk stigma terhadap penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas sering kali dipandang sebagai individu yang lemah, padahal mereka memiliki hak dan tanggung jawab yang setara dengan orang lain.  

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa keadilan untuk korban kekerasan seksual tidak boleh dibatasi oleh prasangka atau stereotip. Sebaliknya, masyarakat perlu mendukung korban dan menghapus stigma yang melanggengkan ketidakadilan.  

Langkah Untuk Mendukung Korban

Masih banyak orang Indonesia yang mempercayai mitos pemerkosaan, seperti anggapan bahwa korban kekerasan seksual harus melawan secara fisik agar diakui sebagai korban yang sah, atau bahwa pelaku dengan keterbatasan fisik tidak mungkin melakukan kekerasan seksual. Keyakinan ini hanya akan memperburuk situasi korban dan menghalangi upaya penegakan hukum yang adil.

Melansir Bincang Perempuan, terdapat langkah-langkah yang dapat B’Pers lakukan untuk mendukung korban kekerasan seksual, di antaranya:

Kenali Bias Patriarki

Patriarki adalah sistem sosial di mana laki-laki memegang kendali atas berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan pribadi perempuan. Dalam sistem ini laki-laki dianggap lebih kuat, lebih pintar, dan lebih baik di segala hal, sementara perempuan sering diremehkan. Hal ini membentuk pola relasi yang mendominasi perempuan dan menghasilkan kekeliruan logika terhadap isu perempuan. Misalnya, pemikiran bahwa kekerasan seksual disebabkan oleh tindakan atau pakaian korban, padahal yang seharusnya disalahkan adalah tindakan pelaku. 

Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya pengaruh patriarki dalam membentuk cara berpikir masyarakat yang perlu diperbaiki. Dengan menyadari adanya bias patriarki di dalam diri, B’Pers dapat melihat masalah kekerasan seksual dengan perspektif korban.

Gunakan Perspektif Korban dalam Merespon Kasus Kekerasan Seksual

Setelah mengenali bias patriarki, selanjutnya B’Pers perlu menggunakan perspektif korban, yaitu memposisikan diri sebagai korban agar dapat lebih berempati kepada korban dan menghindari bias patriarki yang sering menyalahkan korban atau victim blaming

Budaya victim blaming, seperti menuduh korban “menikmati” kekerasan karena tidak melawan, hanya akan memperkuat budaya pemerkosaan dan memberikan toleransi terhadap tindakan pelaku.

Terapkan Perspektif Adil Gender

Perspektif adil gender mengakui bahwa kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja, termasuk laki-laki, meskipun mayoritas korban adalah perempuan. Namun, dalam masyarakat patriarki, korban laki-laki sering kehilangan empati karena dianggap lemah atau tidak jantan, memperkuat stigma dan menghambat dukungan bagi mereka.

Dalam merespons kasus kekerasan seksual, B’Pers perlu mengenali bias patriarki, mengedepankan perspektif korban, dan menerapkan perspektif adil gender. Dengan menanamkan ketiga prinsip ini, B’Pers dapat memberikan dukungan yang komprehensif untuk membantu korban pulih dan memperoleh keadilan.

Selain itu, B’Pers juga perlu menanamkan nilai kesetaraan dengan menyadari bahwa penyandang disabilitas tidak boleh dianggap selalu sebagai korban atau, sebaliknya, tidak mampu melakukan kejahatan. Dengan begitu, penyandang disabilitas dapat dipandang setara di masyarakat, dihargai sebagai individu dengan kemampuan dan tanggung jawab yang setara, tanpa lagi distigma sebagai “tidak berdaya.”

Referensi:

  • Wulandari, E. P., dan Krisnani, H. (2020). Kecenderungan Menyalahkan Korban (Victim-Blaming) Dalam Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Dampak Kekeliruan Atribusi. Social Work Jurnal, 10 (2), 191. 
  • Siobhan, Weare. (2014, Juli 2). You shouldn’t have to be perfect to qualify as a rape victim. The Conversation.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Semangat Perempuan Disabilitas, Potret Tangguh di Masa Pandemi Covid-19

Pelatihan Keselamatan & Keamanan Holistik

Perempuan, Ayo Gunakan Hak Suaramu Hari Ini

Leave a Comment