Bincangperempuan.com- Dunia pers Indonesia tengah berduka. Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja (86) meninggal dunia pada hari Kamis (02/01/2025) lalu di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta. Diketahui, Atmakusumah mengalami gagal ginjal dan sempat dirawat di ICU rumah sakit tersebut.
Atmakusumah merupakan Ketua Dewan Pers periode 2000-2003. Ia lahir di Labuan, Kabupaten Pandeglang, pada 20 Oktober 1938. Ia merupakan anak dari Joenoes Astraatmadja, seorang Wedana Kabupaten Lebak, dan pejabat bupati Bekasi. Sang Ibu, Ratu Kartina, adalah pemilik pabrik kecap Tjap Ratu di Rangkasbitung.
Ia menikah dengan Sri Rumiati, dan dikaruniai tiga orang anak, Kresnahutama Astraatmadja atau Tamtam, seorang produser film dan pendiri Pikser Indonesia Production di Jakarta, Rama Ardana Astraatmadja, produser film dan penyunting buku di Yogyakarta, dan Tri Laksmana Astraatmadja, doktor astrofisika partikel di Baltimore, Amerika Serikat.
Sejak muda, Atmakusumah telah menunjukkan minat besar terhadap dunia jurnalistik. Dedikasinya yang mendalam membawa namanya ke tingkat nasional dan internasional. Selama hidup, Atmakusumah dikenal sebagai tokoh yang berani memperjuangkan kebebasan pers dan integritas jurnalistik di Indonesia.
Baca juga: SK Trimurti, Perempuan Pelopor Jurnalisme di Indonesia
Tak Padam di Tengah Ancaman Pembredelan
Minat Atmakusumah di bidang pers telah tumbuh sejak usianya masih sangat belia, yakni ketika berumur 19 tahun. Saat itu, ia bergabung dengan harian Indonesia Raya pada pertengahan 1950-an. Melansir Project Multatuli, di tahun 1958, ia membuat sebuah tulisan mengenai lima wartawan pemenang Magsaysay, salah satunya Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya yang sedang ditahan.
Tulisan Atmakusumah rupanya tidak disenangi oleh beberapa perwira Corps Polisi Militer. Mereka datang ke ruang redaksi Indonesia Raya dan meminta supaya tulisan tersebut tidak dilanjutkan. Tak lama setelah peristiwa tersebut, Indonesia Raya pun dibredel.
Walaupun begitu, semangat Atmakusumah tidak surut. Sembari berkuliah, ia melanjutkan kariernya sebagai penyiar radio di Radio Republik Indonesia. Atmakusumah juga bekerja untuk harian Duta Masyarakat Minggu milik Nahdlatul Ulama. Saat dirinya membuat tulisan tentang film, ia kembali berhadapan dengan sensor militer.
Duta Masyarakat pun diancam akan dibredel. Atmakusumah lantas disarankan oleh editor Duta Masyarakat untuk pergi dari Indonesia. Atas saran itu, pada Desember 1961, di usia 23 tahun, ia pindah ke Melbourne dan bekerja di Radio Australia seksi Indonesia selama tiga tahun. Setelah kontrak kerjanya habis, Atmakusumah pun berkeliling selama setahun di Eropa.
Pada 1965, Atmakusumah kembali ke Jakarta dan bekerja di kantor berita Antara. Namun, kala itu peristiwa Gerakan 30 September 1965 tengah memanas. Kala itu terjadi pembersihan golongan “kiri”, di mana Atmakusumah terpaksa memberhentikan beberapa wartawan Antara yang dianggap berpihak pada Sukarno atau kelompok kiri.
Di tahun 1968, Mochtar Lubis mengajaknya menghidupkan kembali harian Indonesia Raya setelah 10 tahun dibredel. Atmakusumah menjadi redaktur pelaksana, memimpin liputan pengungkapan korupsi di badan-badan usaha milik negara. Surat kabar tersebut juga memberitakan demonstrasi anti pemerintah, puncaknya pemberitaan peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) pada 1974. Pemberitaan kritis itu membuat Indonesia Raya kembali dibredel pada 1974.
Nama Atmakusumah masuk ke dalam daftar hitam pemerintah Indonesia, yang membuatnya tidak dapat bekerja di surat kabar mana pun. Meski demikian, United States Information Service menerimanya untuk bekerja. Selama 18 tahun di Kedutaan Amerika Serikat, ia menulis pidato untuk para duta besar dan mempelajari praktik jurnalisme Amerika Serikat.
Pada 1992, Atmakusumah menjadi instruktur Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta untuk melatih wartawan Indonesia. Ia mengabdikan diri di lembaga tersebut. Hingga akhir hayatnya, ia tetap aktif mengelola kanal “Atma Menjawab” di situs resmi LPDS, membahas berbagai isu seputar jurnalistik.
Baca juga: Roehana Koeddoes, Google Doodle Hari Ini
Membangun Iklim Pers yang Independen
Pada Juni 1994, rezim Orde Baru membredel tiga media mingguan: Detik, Editor, dan Tempo. Atmakusumah mengecam langkah ini sebagai tindakan yang salah dan tidak adil, karena media seharusnya memiliki mekanisme untuk membela diri. Peristiwa ini mendorongnya kembali berjuang melawan sensor pers di Indonesia.
Ia menciptakan perlawanan dari kalangan wartawan dan masyarakat sipil, termasuk pendirian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994, meski tindakan ini dianggap melanggar aturan wadah tunggal. Pada Januari 1995, tiga anggota AJI—Ahmad Taufik, Eko Maryadi, dan Danang K. Wardoyo—ditangkap karena menerbitkan surat kabar tanpa izin, bernama Independen. Atmakusumah membantu mereka dengan rutin mengirimkan makanan, hadir di persidangan, dan menjadi saksi, meski ketiganya tetap dijatuhi hukuman penjara.
Setelah Reformasi 1998, Atmakusumah aktif dalam pembaruan hukum pers. Ia ikut menyusun Undang-Undang Pers 1999 dan Kode Etik Wartawan Indonesia, serta mendirikan Dewan Pers. Sebagai Ketua Dewan Pers 2000–2003, ia memimpin lembaga yang kini independen, lepas dari kontrol pemerintah, menandai perubahan besar dari masa sebelumnya ketika Dewan Pers dipimpin oleh Menteri Penerangan.
Namanya Harum di Kancah Nasional dan Internasional
Melansir Antara, pada 31 Agustus 2000, Atmakusumah dianugerahi Ramon Magsaysay Award dalam kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif oleh Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, Filipina.
Dikutip dari Project Multatuli, Ramon Magsaysay Award Foundation menyatakan, “… era Soeharto selesai Mei 1998, Atmakusumah bekerja keras di balik layar untuk memastikan bahwa rancangan undang-undang pers tidak mengandung pembatasan. Hasilnya adalah tonggak sejarah. Disahkan pada September 1999, undang-undang pers menolak kewenangan pemerintah untuk membredel, menyensor, atau memberi izin kepada pers atau menahan informasi yang relevan. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan pembentukan Dewan Pers yang independen.”
Saat menerima penghargaan di Manila, Atmakusumah menyampaikan pidatonya.
“Saya merasa bangga bisa bekerja sama dengan … gerakan jurnalis dan mahasiswa, yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi, serta pendukung hak asasi manusia di seluruh negeri. Kepedulian mereka yang mendalam terhadap kebebasan dan demokrasi mendorong saya untuk bepergian, sering kali ditemani oleh istri atau anak-anak saya, ke sekitar 30 kota selama 30 tahun terakhir untuk diskusi, dalam pertemuan terbuka atau tertutup, tentang makna pers yang bebas dalam masyarakat yang demokratis.”
Selain itu, ia menerima sejumlah penghargaan bergengsi lainnya, termasuk Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One/PCNO) dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) pada 2010, Medali Emas Kemerdekaan Pers HPN 2011, serta Anugerah Pengabdian Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) dari Dewan Pers pada 2023.
Warisan Abadi Atmakusumah
Kepergian Atmakusumah Astraatmadja meninggalkan jejak yang mendalam bagi sejarah pers Indonesia. Semangatnya memperjuangkan kebebasan pers, dedikasinya dalam mendidik wartawan Indonesia, serta keberaniannya melawan ketidakadilan menjadi warisan berharga bagi dunia jurnalistik Indonesia. Melalui Hidupnya, Atmakusumah menunjukkan bahwa semangat kebebasan dan kebenaran harus terus diperjuangkan, bahkan dalam keadaan tersulit sekali pun.
Referensi :
- Atmakusumah Astraatmadja, Pejuang Kebebasan Pers dan Jurnalisme Bermutu https://projectmultatuli.org/atmakusumah-astraatmadja-pejuang-kebebasan-pers-dan-jurnalisme-bermutu/
- Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja tutup usia , https://www.antaranews.com/berita/4560298/tokoh-pers-atmakusumah-astraatmadja-tutup-usia?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=related_news