Home » News » Mempertanyakan Arti Normal dalam Gadis Minimarket

Mempertanyakan Arti Normal dalam Gadis Minimarket

Ais Fahira

Buku, News

Mempertanyakan arti normal melalui Gadis Minimarket

Bincangperempuan.com– Gadis Minimarket (Convenience Store Woman) adalah novel karya Sayaka Murata yang pertama kali diterbitkan di Jepang pada tahun 2016, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 2020 oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama. Buku ini mengisahkan perjalanan hidup seorang perempuan bernama Keiko Furukura yang selalu merasa dianggap tidak normal oleh lingkungan sekitarnya. Novel ini memenangkan Akutagawa Prize, salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di Jepang, dan menarik perhatian banyak pembaca karena penggambarannya yang tajam tentang ekspektasi sosial dan konsep “kenormalan.”

Baca juga: Kenapa Angka Kelahiran Menurun Belakangan Ini?

Menjadi Normal?

Sejak kecil, Keiko sudah dianggap aneh oleh keluarganya. Salah satu pengalaman yang membekas dalam ingatannya adalah ketika seekor burung menabrak jendela dan mati. Saat semua orang di sekitarnya merasa kasihan dan ingin mengubur burung itu, Keiko justru dengan polos bertanya, “Kenapa tidak kita masak saja?” Reaksinya yang tidak biasa ini membuat orang tuanya khawatir, hingga mereka membawanya ke terapi anak demi membentuknya menjadi anak yang “normal” seperti yang diharapkan masyarakat.

Saat dewasa, Keiko berusaha menyesuaikan diri dengan standar sosial yang ada. Sembari bersekolah, ia bekerja paruh waktu sebagai pegawai di sebuah minimarket. Setelah lulus, alih-alih mencari pekerjaan yang lebih prestisius, Keiko tetap melanjutkan kariernya sebagai pegawai minimarket. Baginya, pekerjaan ini memberikan aturan yang jelas tentang bagaimana ia harus berperilaku agar diterima oleh orang lain. Minimarket menjadi dunianya, tempat di mana ia bisa mengikuti pola kerja yang teratur tanpa perlu mempertanyakan dirinya sendiri.

Namun, keputusan Keiko untuk bertahan sebagai pegawai minimarket kembali dianggap aneh oleh teman-temannya. Dalam pandangan mereka, seorang perempuan dewasa seharusnya mencari pekerjaan yang lebih baik dan lebih bergengsi, bukan bertahan di pekerjaan paruh waktu yang biasanya hanya dijalani sementara. Untuk menghindari pertanyaan yang semakin menekan, Keiko mulai berbohong bahwa kondisi fisiknya membatasi kemampuannya untuk bekerja di tempat lain.

Situasi ini mengingatkan saya pada salah satu adegan dalam The Stranger karya Albert Camus, di mana tokoh utama, Meursault, menghadapi tekanan sosial agar menjadi seseorang yang lebih ambisius. Dalam hati, ia mempertanyakan: “Memangnya kenapa kalau aku puas begini-begini saja?” Keiko, seperti Meursault, mempertanyakan apakah “kesuksesan” hanya bisa diukur dengan standar yang sudah ditetapkan masyarakat.

Baca juga: Benarkah Laki-Laki Hidup Lebih Singkat? Ini Penjelasannya!

Siapa yang Menentukan Normal?

Lewat kisah Keiko, novel ini mengajukan pertanyaan mendasar: apa artinya menjadi normal? Jika melihat dari sudut pandang masyarakat, normal berarti mengikuti arus utama, memenuhi ekspektasi sosial, dan menjalani hidup seperti kebanyakan orang—memiliki pekerjaan tetap yang prestisius, menikah, dan membangun keluarga. Keiko tidak dapat memenuhi standar ini dan justru merasa nyaman dalam dunia minimarket yang serba teratur. Hal ini menimbulkan dilema: apakah kita baru dianggap normal jika kita mematuhi aturan sosial yang ada, ataukah normalitas itu seharusnya lebih fleksibel dan personal?

Keiko adalah sosok yang hidup dalam aturan minimarket, mengikuti prosedur operasionalnya, dan mengadopsi budaya kerja di sana sebagai bagian dari identitasnya. Minimarket bukan hanya tempat kerja baginya, tetapi juga pedoman bagaimana ia bisa diterima oleh dunia luar. Meskipun bagi orang lain pekerjaannya terlihat stagnan, bagi Keiko, inilah kehidupan yang paling masuk akal baginya.

Perempuan dan Tekanan Sosial

Selain mempertanyakan konsep “normal,” Gadis Minimarket juga mengangkat isu tentang ekspektasi terhadap perempuan dalam masyarakat patriarkal. Di Jepang, seperti di banyak negara Asia lainnya, perempuan masih sering diharapkan untuk menikah dan memiliki anak di usia tertentu. Keiko, yang sudah menginjak usia 30-an dan masih lajang, mulai menghadapi tekanan sosial yang semakin besar. Teman-temannya merasa kasihan karena ia belum menikah, padahal Keiko sendiri tidak merasa ada yang salah dengan keadaannya.

Saat dihujani tuntutan untuk menikah dan melahirkan Keiko bergumam “Aku harus membawa DNA-ku sampai ke liang lahat dan berhati-hati agar jangan sampai tertinggal di dunia ini.” Ini  mencerminkan keputusannya untuk tidak mengikuti standar sosial yang mengharuskan perempuan untuk menikah dan memiliki anak. Keiko memilih jalannya sendiri, meskipun itu berarti terus dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya.

Sebagai kontras, novel ini juga menghadirkan karakter Shiraha, seorang pria yang gagal memenuhi ekspektasi sosialnya sebagai laki-laki. Shiraha menyadari bahwa ia tidak dapat mencapai standar “kesuksesan” yang ditetapkan oleh masyarakat, namun alih-alih menerima dirinya sendiri seperti Keiko, ia justru mencoba menyesuaikan diri dengan cara yang manipulatif. Ia berusaha mencari istri agar bisa diterima secara sosial dan menghindari tekanan hidup. Shiraha adalah contoh bagaimana ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi sosial dapat berujung pada tindakan yang penuh kepura-puraan dan keputusasaan.

Pada akhirnya, Gadis Minimarket adalah cerminan dari kenyataan bahwa kita tidak selalu bisa—atau harus—menyesuaikan diri dengan standar masyarakat. Novel ini mengajak kita untuk berpikir ulang tentang apa itu “normal” dan apakah kita benar-benar perlu mencapainya agar bisa merasa bahagia. Lewat sosok Keiko, Sayaka Murata mempertanyakan apakah ada satu definisi tunggal tentang kehidupan yang seharusnya dijalani oleh semua orang.

Buku ini bukan hanya sekadar cerita tentang seorang perempuan yang bekerja di minimarket, tetapi juga sebuah kritik sosial terhadap tekanan masyarakat yang menuntut semua orang untuk berjalan di jalur yang sama. Dengan gaya penulisan yang lugas dan sedikit satir, Murata menyuguhkan potret dunia yang sering kali tidak memberikan ruang bagi individu-individu yang berbeda.

Apakah menjadi berbeda berarti salah? Ataukah masyarakat yang terlalu kaku dalam mendefinisikan “kehidupan yang benar”? Keiko, dengan segala “ketidak-normalannya,” mungkin justru lebih jujur dalam menjalani hidup dibandingkan kebanyakan orang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Tren Tube Girl

Pro dan Kontra, Fenomena Tube Girl 

IWD 2025 Accelerate Action

IWD 2025: Accelerate Action

Kasus Gisèle Pelicot Membuka Fakta Bahwa Tidak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan

Kasus Gisèle Pelicot Membuka Fakta, Tak Ada Ruang Aman Bagi Perempuan

Leave a Comment