Home » News » 100 Hari Prabowo-Gibran: Pemiskinan Perempuan di Balik Janji Pembangunan

100 Hari Prabowo-Gibran: Pemiskinan Perempuan di Balik Janji Pembangunan

Ais Fahira

News

100 Hari Prabowo-Gibran Pemiskinan Perempuan di Balik Janji Pembangunan

Bincangperempuan.com- Setiap tanggal 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day)—sebuah momentum yang lahir dari perjuangan panjang perempuan melawan penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan. Bukan sekadar seremonial, hari ini menjadi panggilan untuk terus bersuara, mengingat bahwa perempuan masih menjadi korban utama dari kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.

Di Indonesia, dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, Solidaritas Perempuan (SP) menilai bahwa negara justru semakin jauh dari keadilan gender. Alih-alih membawa perubahan, kepemimpinan ini melanjutkan praktik investasi eksploitatif dan kebijakan diskriminatif ala Jokowi, yang memperkuat militerisme dan pembungkaman gerakan sipil. Di balik klaim pembangunan, perempuan justru semakin terpinggirkan: 3.624 perempuan (47,7%) di 57 desa di Indonesia merasakan langsung dampak kebijakan yang mengikis hak mereka atas tanah, sumber daya alam, dan kehidupan yang layak.

UU Cipta Kerja, Payung Hukum yang Memiskinkan Perempuan

Hadirnya UU Cipta Kerja sebagai payung hukum yang diskriminatif, cenderung memiskinkan perempuan, menciptakan antara lain konflik masyarakat dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) di Takalar Sulawesi Selatan dan Kabupaten Ogan Ilir di Palembang, Taman Nasional Lore Lindu di Palu Sulawesi Tengah, Rencana Pembangunan Bendungan Kolhua di Nusa Tenggara Timur, PT. Sawit Jaya Abadi di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah, dan Perusahaan Industri Smelter Nikel di Sulawesi Tenggara. Termasuk adanya perusahaan semen PT. Solusi Bangun Andalas di Aceh yang menggali kawasan karst dan berdampak pada rusaknya lingkungan di Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar. 

Rahmil Izza, Ketua BEK SP Bungoeng Jeumpa Aceh menjelaskan  bahwa PT SBA telah memonopoli sumber cadangan air di mata air Pucok Krueng. Ini tentu berdampak kepada masyarakat desa sekitar yang sangat bergantung dengan mata air tersebut.

“Desa Naga Umbang salah satu lokasi dengan distribusi air bersih yang sangat terbatas, dari total 432 jiwa, setiap orang hanya mendapatkan 13 liter air bersih dalam satu kali pendistribusian, tentu hal ini jauh dari standar kebutuhan minimum sebesar 60 liter per orang per hari, sebagaimana diatur dalam Permendagri nomor 23 Tahun 2006,” jelasnya.

Selain itu rangkaian konflik agraria berkepanjangan juga dialami oleh perempuan di Sumatera Selatan. Mereka menuntut adanya penyelesaian konflik agraria kepada Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir melalui pernyataan Mutia Maharani Ketua BEK SP Palembang, “Tinjau ulang HGU PTPN VII Cinta Manis dan libatkan perempuan di desa yang terdampak konflik dalam penyelesaian konflik,” katanya.

Baca juga: Ratih Kartika, Menembus Batas dengan Menjadi Penulis

Dampak Proyek Strategis Nasional terhadap Perempuan

Proyek Strategis Nasional (PSN), sebagai kebijakan turunan UU Cipta Kerja, tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Di NTB, pembangunan Bendungan Meninting; di Wadas, pertambangan andesit; di Morowali, industri ekstraktif PT IMIP; serta di Kalimantan Tengah, program Food Estate yang kini berganti nama menjadi Cetak Sawah Rakyat.

Di Sulawesi Selatan, Ketua BEK SP Anging Mammiri, Suryani, menyoroti pembangunan pelabuhan New Port di pesisir Makassar yang merampas akses perempuan nelayan terhadap sumber daya laut. “UU Cipta Kerja harus direview dengan mengutamakan kepentingan rakyat, sesuai mandat UUD 1945,” tegasnya.

Sementara itu, di Kalimantan Tengah, Ketua BEK SP Mamut Menteng, Irene Natalia, menuntut pencabutan Perda No. 1 Tahun 2020 tentang pengendalian kebakaran lahan. “Perempuan kehilangan sistem pertanian tradisional akibat aturan ini, sementara PSN Cetak Sawah Rakyat dan ekspansi sawit semakin memperparah keadaan,” katanya.

Di Yogyakarta, Ketua BEK SP Kinasih, Ari Surida, menyatakan bahwa UU Cipta Kerja dan PP No. 42 Tahun 2021 mempermudah PSN yang mengorbankan ruang hidup perempuan. “Pembangunan hotel dan proyek atas nama kepentingan umum mengancam ketersediaan air bersih serta ruang terbuka hijau di desa Ledok Timoho dan Semaki, Umbulharjo,” ujarnya.

Proyek investasi terus bertumbuh, termasuk proyek transisi energi yang diklaim sebagai solusi iklim, seperti Geothermal Rajabasa di Lampung dan Geothermal Poco Leok di NTT, serta PLTA Poso Energy yang terbukti gagal mengatasi krisis iklim. Ketua BEK SP Sintuwu Raya Poso, Kurnia Widyawati, menekankan pentingnya evaluasi kebijakan transisi energi. “Dampaknya berlapis, terutama bagi perempuan,” katanya.

Program swasembada pangan dan energi Prabowo-Gibran berisiko menghancurkan kedaulatan perempuan atas ruang hidup. Ketua BEK SP Sebay Lampung, Reni Yuliana Meutia, menyoroti proyek Geothermal Rajabasa dan Bendungan Margatiga yang dilakukan tanpa pelibatan masyarakat adat, menyebabkan kehilangan lahan, pengeringan mata air, dan bencana ekologi.

Di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, perempuan menghadapi ancaman dari Bank Tanah (BT) yang menguasai 3.213,05 ha lahan produktif untuk program Minum Susu Presiden Prabowo. Ketua BEK SP Palu, Fitriani Ketua BEK SP Palu, menyoroti hilangnya lahan pangan akibat proyek ini. “Padang Lambara, tempat perempuan beternak dan bercocok tanam, kini menjadi hak kuasa BT,” ujarnya.

Baca juga: Fatmayana, Perempuan Pelopor Pendidikan di Bengkulu Utara

Feminisasi Migrasi dan Ketidakadilan terhadap Buruh Migran Perempuan

Pola pembangunan ekstraktif dan eksploitatif yang memiskinkan perempuan telah menciptakan berbagai situasi sistemik seperti feminisasi migrasi. Namun pemerintah belum optimal dalam melakukan kebijakan perlindungan buruh migran, malah melakukan revisi secara tertutup UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). 

Di Nusa Tenggara Timur, Linda Tagie Ketua BEK Flobamoratas menegaskan bahwa NTT sudah menjadi kantong buruh migran dan kantong jenazah di Indonesia. 

“Padahal belum terimplementasi UU PPMI dan Perda No.14 tentang Pencegahan dan Penanganan Korban TPPO dengan optimal, ditambah efisiensi anggaran memperparah situasi buruh migran karena memulangkan jenazah buruh migran yang meninggal di luar negeri memerlukan biaya yang besar sedangkan Prabowo-Gibran lebih berorientasi pada penggemukan kabinet dan munculnya Danantara yang tidak transparan,” ujarnya.

Selain itu, Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah merupakan kebijakan diskriminatif terhadap perempuan karena justru membatasi ruang perempuan untuk bekerja disaat negara abai memenuhi kewajiban penyediaan lapangan pekerjaan. Solidaritas Perempuan mencatat pada 2024, 54.5% kasus perempuan yang menjadi korban perdagangan orang berasal dari Timur Tengah dan Arab Saudi.

Di Nusa Tenggara Barat, Hadiatul Ketua BEK SP Sumbawa menyampaikan bahwa perempuan  buruh migran rentan mengalami kekerasan dan pelanggaran hak, eksploitasi bahkan trafficking masih sulit untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan. 

“Salah satunya korban (SR) asal Sumbawa yang berdasarkan informasi diberangkatkan ke Arab Saudi pasca Kepmenaker 260/2015,” katanya.

Represi Negara dan Militerisme terhadap Perempuan Pejuang

Sementara itu, negara seringkali menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Dalam pola perampasan ruang hidup, berbagai upaya dilakukan negara dalam membungkan perlawanan masyarakat. Negara melibatkan militer dan aparat kepolisian melakukan berbagai bentuk represifitas hingga menggunakan instrumen hukum untuk mengkriminalisasi perempuan pejuang. Ida Hidayati Ketua BEK SP Mataram mengatakan bahwa Rancangan  Revisi UU TNI, membuat peluang menghidupkan kembali masa orde Baru Artinya, akan semakin besar pula peluang TNI untuk mengintervensi keterlibatan perempuan pada proses pembangunan di daerah.

Tuntutan Solidaritas Perempuan

Berbagai situasi tersebut semakin menempatkan perempuan pada situasi yang buruk. Menyikapi hal tersebut, Armayanti Sanusi, Ketua BEN Solidaritas Perempuan menyatakan bahwa 100 hari pemerintah Prabowo-Gibran, telah mengeluarkan berbagai kebijakan patriarki serta ambisi militerisme yang mulai ditanam di ruang-ruang sipil. Kebijakan pembangunan Nasional seperti PSN dan kebijakan diskriminatif lainnya telah berdampak terhadap 7.000 perempuan akar rumput di 105 desa pada 12 Komunitas Solidaritas Perempuan. 

“Untuk itu, Solidaritas Perempuan bersama perempuan akar rumput menuntut negara untuk mengevaluasi dan mencabut semua kebijakan pro investasi dan anti demokrasi termasuk UU Cipta Kerja yang justru menguatkan pemiskinan perempuan,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Bagaimana KArisis Iklim Mempengaruhi Perempuan (1)

Bagaimana Krisis Iklim Mempengaruhi Perempuan?

Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini

Sempat Menjadi Sorotan, Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual di Unsri Saat Ini?

Anggrek Merah Yuni Daud, Hadir dalam Rima Rupa

Leave a Comment