Home » News » CATAHU 2024: 445.502 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Naik Hampir 10%!

CATAHU 2024: 445.502 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Naik Hampir 10%!

Ais Fahira

Data, News

CATAHU 2024 445.502 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Naik Hampir 10%!

Bincangperempuan.com- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 pada Jumat, 7 Maret 2025, sehari sebelum peringatan Hari Perempuan Internasional. Peluncuran ini telah dilaksanakan di Kantor Komnas Perempuan, dan juga disiarkan secara daring melalui media sosial.

Laporan CATAHU 2024 mencatat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat hampir 10% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 401.975 kasus. Dari jumlah tersebut, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBG) mencapai 330.097 kasus, naik 14,17% dari 289.111 kasus pada tahun sebelumnya.

Meningkatnya Pelaporan: Indikasi Keberanian Korban

Ketua Komnas Perempuan, Andri Yentriyani, menegaskan bahwa peningkatan angka kasus yang dilaporkan bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Justru, hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak korban yang berani melapor serta meningkatnya akses terhadap layanan pengaduan.

“Biasanya, kita khawatir jika angka pelaporan naik. Bahkan ada program yang berupaya menurunkan angka pelaporan sebagai tanda keberhasilan pembangunan. Saya ingatkan, jangan khawatir dengan peningkatan pelaporan. Ini justru menunjukkan keberanian korban dan meningkatnya akses layanan pelaporan yang dapat diandalkan,” ujar Andri dalam sambutannya.

Ia juga mengingatkan bahwa meskipun data mencatat peningkatan 14% dalam kasus KBG, angka tersebut masih bisa jauh lebih tinggi mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan.

Baca juga: Potret Buruk Penanganan Kekerasan Berbasis Gender oleh Kepolisian

Kebaruan dalam Pengumpulan Data CATAHU

Tahun ini, terdapat inovasi dalam penyusunan CATAHU. Jika sebelumnya data lebih banyak dikumpulkan dari organisasi masyarakat sipil, kini Komnas Perempuan semakin memperkuat kemitraannya dengan institusi nasional yang memiliki jangkauan luas di seluruh provinsi. Pada tahun ini, Komnas Perempuan bekerja sama dengan 82 lembaga, yang memungkinkan pengumpulan data lebih akurat dan komprehensif.

Komisioner Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, menjelaskan bahwa metode pengumpulan data dalam CATAHU 2024 mengalami perubahan signifikan. 

“Pada tahun sebelumnya, dari 993 kuesioner yang dikirimkan kepada mitra, hanya 12% yang dikembalikan. Tahun ini, dengan strategi pengiriman ke organisasi induk, dari 160 kuesioner yang dikirim, tingkat respons meningkat menjadi 51,87%,” paparnya. 

Menurutnya, perubahan metode ini memungkinkan cakupan wilayah pendataan yang lebih luas dan penghitungan data yang lebih cepat.

Relasi Kuasa dalam Kekerasan terhadap Perempuan

Komisioner Subkomisi Pendidikan, Alimatul Qibtiyah, memaparkan bahwa mayoritas kekerasan terjadi di ranah personal, di mana korban dan pelaku saling mengenal atau memiliki hubungan dekat. Selain itu, banyak pelaku yang memiliki relasi kuasa lebih tinggi dibanding korban.

“Korban rata-rata berusia lebih muda dan memiliki tingkat pendidikan lebih rendah dibanding pelaku,” jelas Alimatul.

Dari segi status pekerjaan, korban paling banyak berasal dari kalangan pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga, pegawai swasta, serta mereka yang tidak bekerja. Sementara itu, 7% pelaku kekerasan berasal dari kalangan yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, seperti pegawai negeri sipil (PNS), guru, dosen, aparat penegak hukum (APH), tenaga medis, pejabat publik, serta tokoh agama.

“Persentase ini kecil, tetapi dampaknya sangat besar karena mereka adalah orang-orang yang dipercaya oleh publik,”tambahnya.

Baca juga: Sudah Terjadi 13 Kasus: Alarm Kekerasan Seksual di Sekolah

Ranah Personal: Kasus Terbanyak dalam Kekerasan Berbasis Gender

Komisioner Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan, Theresia Iswarini, menyoroti bahwa kekerasan di ranah personal masih mendominasi laporan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

“Komnas Perempuan membagi kekerasan dalam tiga ranah: personal, publik, dan negara. Kekerasan terhadap istri (KTI), yang termasuk dalam ranah personal, masih menjadi yang terbanyak,” ujarnya.

Berdasarkan data pengaduan, kekerasan dalam ranah personal terdiri dari:

  • 5.950 kasus kekerasan terhadap istri (KTI)
  • 5.341 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP)
  • 2.521 kasus kekerasan oleh mantan pacar (KMP)

Selain itu, bentuk kekerasan dalam rumah tangga secara keseluruhan mencapai 7.260 kasus, dengan total kasus kekerasan di ranah personal sebanyak 400.009 kasus.

Theresia menekankan bahwa KTI sering kali merupakan bentuk kekerasan berlapis, yang berkaitan dengan perkawinan anak, perkawinan tidak tercatat, perkawinan campuran, hingga poligami.

“Angka dispensasi kawin menurun, tetapi di sisi lain, jumlah izin poligami meningkat. Tahun ini ada 740 izin poligami, naik dari 713 pada tahun 2023,” ungkapnya.

Meskipun sudah ada UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), banyak kasus yang masih sulit terselesaikan.

“Sering ada problem dalam penyelesaian. Karena secara pidana maupun non-pidana, itu hampir sama,” ujar Theresia.

Kekerasan di ranah personal menunjukkan bahwa rumah, yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi tempat terjadinya kekerasan, baik terhadap istri maupun anak perempuan.

Sementara itu, kekerasan di ranah publik didominasi oleh kekerasan berbasis gender online (KBGO) yaitu sebanyak 981 kasus, ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang pada tahun 2023 sebanyak 442 kasus. Sedangkan di ranah negara, Kasus perempuan berkonflik dengan hukum (PBH) menjadi kategori terbanyak dengan 29 kasus, sementara kasus kekerasan terhadap perempuan pembela hak asasi manusia (PPHAM) meningkat menjadi 9 kasus dibandingkan tahun sebelumnya.

Pentingnya Penguatan Kebijakan Publik

Komisioner Subkomisi Pengembangan Sistem Pemulihan, Satyawanti Mashudi, dalam sesi kesimpulan dan rekomendasi CATAHU 2024, menyoroti tingginya angka kekerasan seksual meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan dua tahun lalu. 

“Kami mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan tiga peraturan pelaksana UU TPKS dan meminta DPR RI serta Presiden RI untuk mendukung Komnas Perempuan dalam pengembangan sinergi database kekerasan terhadap perempuan,” tegasnya. 

Setelah dua tahun berlakunya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pendokumentasian kasus mulai dilakukan berdasarkan kategori kekerasan seksual dalam UU tersebut. Pelecehan seksual, baik fisik maupun nonfisik, tercatat lebih tinggi dibanding kasus perkosaan. Ini menunjukkan meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa pelecehan seksual adalah tindak pidana yang dapat dilaporkan.

Namun, pemenuhan hak korban TPKS masih belum optimal. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain:

  • Baru 4 dari 7 peraturan pelaksana UU TPKS yang disahkan
  • Belum semua provinsi/kabupaten/kota memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak(UPTD PPA)
  • Pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum terkait TPKS belum sistematis

Selain itu, femisida (pembunuhan perempuan karena gendernya) belum diakui sebagai tindak pidana tersendiri dalam hukum Indonesia. Akibatnya, pendataan dan penanganannya masih terbatas.

Banyak kasus femisida terjadi di ranah personal dan publik, sering kali melibatkan pelaku dengan relasi kuasa tinggi, seperti anak pejabat. Hal ini memperlihatkan tantangan dalam mendapatkan keadilan bagi korban, terutama ketika ada dugaan intervensi dalam proses hukum.

Komnas Perempuan juga mendesak percepatan pembahasan sejumlah RUU terkait perlindungan perempuan yang masih tertunda, antara lain:

  • RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA): Masuk dalam daftar prioritas sejak 2020, tetapi belum ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR karena tarik ulur politik.
  • RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT): Meski mendapat dukungan luas, pembahasannya belum mencapai tingkat I di DPR.
  • RUU Narkotika: Sudah melalui pembahasan tingkat I di Komisi III DPR RI dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.

Komnas Perempuan berharap data dalam CATAHU 2024 tidak hanya menjadi angka statistik, tetapi juga menjadi dasar kebijakan dan aksi nyata untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

BPUM Disunat, Jangan Cuma Nyalahin Calo

Berinvestasi pada perempuan: Mempercepat kemajuan

Film Vina, Kekerasan Seksual Berbasis Gender dan Femisida

Leave a Comment