Home » News » Ketika Semua Jadi Konten, Apa Kita Kehilangan Ruang Privasi?

Ketika Semua Jadi Konten, Apa Kita Kehilangan Ruang Privasi?

Ais Fahira

News

Ketika Semua Jadi Konten, Apa Kita Kehilangan Ruang Privasi

Bincangperempuan.com- B’Pers, di media media sosial, kita dapat melihat apa saja. Mulai dari video hewan lucu, momen mengharukan, hingga peristiwa tragis yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik. Tanpa sadar, kita hidup di era di mana apa pun bisa menjadi konten—entah itu kecelakaan, curhatan pribadi, atau bahkan urusan rumah tangga orang lain.

Batas antara ruang pribadi dan ruang digital semakin kabur. Apa yang dulu hanya dibagikan kepada orang-orang terdekat, kini bisa diakses oleh ribuan, bahkan jutaan orang di internet. Tetapi, seberapa jauh kita menyadari konsekuensi dari kebiasaan ini? Apakah kita benar-benar membagikan sesuatu karena ingin berbagi, atau karena kita ingin diterima dan divalidasi oleh orang lain?

Baca juga: Ghea Resort Rilis Koleksi “Purity”, Dukung Pendidikan Anak Perempuan NTT

Ketika Semua Jadi Konten, Apakah Ini Oversharing?

Mengutip The Guardian, oversharing didefinisikan sebagai “kedermawanan berlebihan dalam membagikan informasi pribadi, baik tentang diri sendiri maupun orang lain.” Namun, batasan antara berbagi dan oversharing sering kali subjektif. Apa yang dianggap wajar bagi satu orang bisa terasa berlebihan bagi orang lain, tergantung pada konteks sosial dan budaya yang berlaku.

Sosiolog Ben Agger dalam bukunya Oversharing: Presentations of Self in the Internet Age menjelaskan bahwa seseorang yang oversharing di internet cenderung mengungkapkan perasaan, pendapat, dan bahkan aspek seksual mereka lebih dari yang biasanya dilakukan dalam percakapan langsung. Internet memberi kita ruang tak terbatas untuk berbagi, tetapi juga membuat kita rentan terhadap penilaian publik.

Teori social penetration yang dikembangkan oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor pada 1973 menyebutkan bahwa keterbukaan diri (self-disclosure) adalah kunci dalam membangun hubungan. Namun, terlalu banyak atau terlalu sedikit berbagi bisa menghambat kedekatan. Ketika seseorang berbagi lebih dari yang bisa diterima oleh audiensnya, mereka berisiko dianggap berlebihan, bahkan mengganggu.

Dari Oversharing ke Overscrutiny: Semua Orang Bisa Jadi Target

Media sosial bukan hanya tentang membagikan sesuatu, tetapi juga membuka ruang untuk opini publik. Ketika seseorang mengunggah sesuatu, ia tidak hanya berbagi, tetapi juga membuka diri terhadap respons dari orang lain. Sayangnya, internet sering kali menjadi tempat yang kejam.

Banyak pasangan suami-istri, misalnya, yang membagikan aktivitas sehari-hari mereka di TikTok atau Instagram. Awalnya, mungkin hanya sekadar berbagi rutinitas atau kebahagiaan. Namun, komentar dari warganet bisa dengan cepat berubah menjadi ajang perdebatan moral:

  • “Ih, suaminya nggak bantuin istri di dapur? Kok patriarki banget?”
  • “Ibunya nyuapin anak pakai sendok plastik? Waduh, nggak peduli kesehatan anak, ya?”
  • “Rumahnya berantakan, kok nggak dirapikan dulu sebelum bikin video?”

Dari sekadar konten biasa, tiba-tiba kehidupan seseorang menjadi bahan analisis publik. Akibatnya:

  1. Orang-orang jadi takut berbagi momen pribadi karena takut dikritik.
  2. Sebagian malah menjadi lebih defensif dan semakin sering mengunggah konten untuk “membuktikan” sesuatu ke publik.
  3. Ruang digital yang seharusnya menjadi tempat berbagi berubah menjadi ruang penghakiman massal.

Saat ini, mungkin kita tidak hanya mengalami oversharing, tetapi juga overscrutiny yaiti di mana setiap aspek kehidupan seseorang bisa menjadi sasaran analisis dan kritik yang berlebihan.

Baca juga: Kenapa Perempuan yang Mandiri Secara Finansial Sering Diglorifikasi? 

Anak-Anak di Era Oversharing

Salah satu bentuk oversharing di media sosial yang semakin marak adalah sharenting—gabungan dari kata parenting dan sharing. Banyak orang tua tanpa pikir panjang mengunggah momen anak-anak mereka di internet. Awalnya, mungkin hanya sekadar berbagi kebahagiaan: video anak yang lucu, pencapaian pertama mereka, atau reaksi polos yang menggemaskan. Namun, seiring waktu, batas antara berbagi dan mengeksploitasi menjadi kabur.

Tanpa disadari, banyak orang tua yang membagikan momen anaknya tanpa mempertimbangkan hak privasi mereka. Ada yang mengunggah video tantrum anak, pertengkaran dalam keluarga, hingga momen-momen yang seharusnya bersifat privat. Padahal, dampaknya besar:

  • Hak Privasi Anak Hilang – Sejak kecil, mereka sudah terekspos ke publik tanpa memiliki kendali atas narasi tentang diri mereka sendiri.
  • Jejak Digital yang Bisa Jadi Bumerang – Foto atau video yang diunggah hari ini bisa muncul kembali bertahun-tahun kemudian, bahkan berpotensi menjadi bahan perundungan.
  • Eksploitasi Anak – Beberapa orang tua menggunakan anak mereka untuk mendapatkan keuntungan finansial dari monetisasi konten, tanpa mempertimbangkan kesejahteraan anak itu sendiri.

Jika hari ini kita bisa melihat ribuan video anak-anak di internet, bagaimana nanti saat mereka tumbuh dewasa dan menyadari bahwa sebagian hidup mereka telah terdokumentasi secara permanen tanpa persetujuan mereka?

Privasi vs Validasi: Kenapa Kita Tetap Ngotot Posting?

Di era digital, ada dorongan kuat untuk selalu eksis. Fear of Missing Out (FOMO) membuat kita merasa harus terus memperbarui status, mengikuti tren, dan membagikan momen agar tidak ketinggalan. Namun, ada pertanyaan besar: apakah kita masih memiliki ruang untuk menikmati momen tanpa merasa perlu mengabadikannya di internet?

Pernahkah kita merasa bahwa momen yang seharusnya spesial justru terasa “kurang” jika tidak diunggah ke media sosial? Seolah-olah validasi dari orang lain lebih penting daripada pengalaman itu sendiri.

Namun, oversharing bisa menjadi bumerang:

  • Informasi pribadi yang kita bagikan bisa disalahgunakan.
  • Apa yang kita anggap biasa saja bisa menjadi kontroversi di mata orang lain.
  • Ketergantungan pada validasi digital bisa mengganggu kesehatan mental.

Sebuah penelitian yang terbit di Pubmed, menemukan bahwa remaja yang sering membagikan pemikiran, emosi, dan peristiwa pribadi mereka secara online cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dan kecenderungan mencari perhatian. Temuan ini menyoroti potensi dampak negatif dari berbagi informasi pribadi secara berlebihan di media sosial.

Jadi, apakah kita benar-benar menikmati sesuatu, atau hanya sibuk mendokumentasikannya untuk konsumsi publik?

Perlukah Kita Berhenti Mengabadikan Segalanya?

Berbagi informasi dapat memperkuat hubungan sosial dan membangun koneksi. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara berbagi yang sehat dan menjaga privasi pribadi.

Bukan berarti kita harus berhenti total berbagi di media sosial. Namun, mungkin kita bisa mulai bertanya sebelum menekan tombol “unggah”:

  • Apakah ini perlu dibagikan, atau cukup disimpan untuk diri sendiri?
  • Jika ini menyangkut orang lain (anak, pasangan, teman), apakah mereka setuju?
  • Apa dampaknya jika ini tersebar luas di internet dalam jangka panjang?

Ada banyak hal yang lebih berharga jika hanya dinikmati secara pribadi. Pada akhirnya, tidak semua momen harus menjadi konsumsi publik. Jadi, apakah kita benar-benar menikmati hidup, atau hanya sibuk mendokumentasikannya?

Referensi:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Artikel Lainnya

Perempuan Generasi Z: Antara Dorongan dan Beban Ganda

Kenapa Laki-laki Bangga Punya Banyak Pasangan, Tapi Perempuan Tidak

Kenapa Laki-laki Bangga Punya Banyak Pasangan, Tapi Perempuan Tidak?

Bumi & Anak Ciptakan Harmoni dan Gali Potensi dalam Perjalanan Tumbuh Kembang Anak

Bumi & Anak: Ciptakan Harmoni dan Gali Potensi dalam Perjalanan Tumbuh Kembang Anak

Leave a Comment